Setiap orang memahami kebahagiaan dengan caranya sendiri-sendiri. Sepertinya tak ada seorang pun yang ketika lahir langsung bisa memaknai arti kata bahagia itu sendiri. Pasti butuh pengalaman hidup dan merasa. Butuh perjalanan untuk akhirnya mengangguk dan berbicara pada diri, “Ini arti bahagia yang sebenarnya untukku.” Tak terkecuali aku. Happiness is Homemade tidak sekadar judul buku yang kuterbitkan tapi seolah seperti pedoman hidupku. Dulu aku belum bisa benar-benar mengerti apa itu bahagia. Semua yang membuatku bahagia masih berupa materi atau pencapaian. Suatu hari aku memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan bekerja di rumah. Mungkin karena cukup banyak waktu luang aku akhirnya jadi banyak mengonsumsi media sosial. Aku melihat banyak orang bisa ajak anak-anaknya berlibur ke Disneyland seakan itulah patokan bahagia. Mungkin karena aku baru saja memutuskan pilihan besar dalam hidup dan belum bisa membawa anakku berlibur layaknya mereka yang ada di media sosial aku jadi merasa tertinggal.
Butuh perjalanan untuk akhirnya mengangguk dan berbicara pada diri, 'Ini arti bahagia yang sebenarnya untukku.'
Untungnya setelah perasaan-perasaan tidak nyaman itu aku justru mengkaji kembali pengertian bahagia. Aku mempertanyakan kembali apa yang membuatku bahagia. Setelah melihat rentetan hal-hal baik yang sudah kudapatkan dalam hidup perlahan aku mengerti bahwa bersyukur bisa jadi kunci untuk hidup dalam bahagia yang sederhana. Terkadang kalau kita bisa mensyukuri hal-hal yang buruk ternyata bisa juga membuat kita bahagia. Nyatanya bahagia itu adalah setelah kita mengerti arti kata “rumah” itu sendiri. Ada yang bilang, “Home is where our heart is.” Aku sangat setuju dengan pernyataan ini. Rumah di sini bukanlah hanya kondisi geografis tapi kondisi hati kita bersama orang-orang tertentu. Ketika kita bisa mensyukuri keberadaan kita di manapun bersama siapapun, kita bisa saja bahagia meski tidak semewah orang lain. Percuma kalau kita pergi liburan ke ujung dunia manapun tapi hati kita tidak bahagia. Rasanya kebahagiaan itu tidak akan terasa penuh.
Perubahan makna bahagia dalam hidupku terjadi ketika sudah berkeluarga dan punya satu orang anak. Dulu waktu pertama kali kerja aku merasa bahagia karena bisa beli barang yang tidak bisa aku beli saat kuliah sebab masih dibiayai orangtua. Tapi seperjalanannya, definisi bahagia adalah ketika melihat anakku senang bermain. Pencapaian yang berbeda dengan perasaan yang berbeda pula. Dulu aku tidak mengerti kenapa bisa ada orang yang menyatakan "makan tidak makan asal kumpul." Ternyata sekarang aku mengalami sendiri perasaan bahagia berkumpul bersama keluarga. Kalau tidak bersama anakku rasanya amat lain. Juga melihat orangtuaku yang tinggal dekat dengan kami begitu bahagia karena bisa bermain dengan cucunya setiap hari. Pada satu titik tertentu akhirnya aku sadar kebahagiaan udah bukan materi lagi.
Bersyukur bisa jadi kunci untuk hidup dalam bahagia yang sederhana.
Sejatinya bahagia itu adanya dalam diri kita sendiri. Seperti juga saat aku bisa membuat karya yang bermanfaat bagi orang lain, aku merasa gol hidupku seolah terpenuhi. Selama aku masih bisa berkarya aku merasa itulah yang bisa membuatku terbangun di pagi hari dan menjalani “tugas” sebagai seorang pribadi. Aku selalu punya keinginan untuk beraksi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Tentu saja bentuk bantuanku dengan orang lain bisa beragam sekali. Setiap orang punya potensi yang berbeda-beda. Sampai akhirnya aku menemukan jalan melalui menggambar. Ternyata lewat gambar aku bisa menyebarkan pesan positif. Membantu orang lain berdaya. Terlebih karyaku belakangan banyak fokus pada pemberdayaan wanita.
Aku tahu bahwa wanita adalah role model bagi anaknya. Anak akan mencontoh seorang ibu. Tanpa kita sadari banyak dari kita orangtua kurang sadar akan afirmasi yang diberikan pada anaknya seperti, “Jangan main panas-panasan nanti kulitnya hitam.” Lama-kelamaan bisa saja anak kita memercayai bahwa berkulit hitam adalah sesuatu hal yang salah dan tidak diterima orang lain. Sehingga akhirnya memunculkan kegelisahan dan ketidakamanan pada dirinya sendiri. Mungkin gambar-gambar yang aku bagikan belum banyak berdampak besar. Namun dengan terus menghasilkan karya yang berkaitan dengan perempuan, menyebarkan pemikiran positif, aku merasa ada harapan untuk memutus rantai insecurity tersebut ke depannya. Sungguh sebuah kebahagiaan bagi diriku sendiri jika bisa mendorong para ibu-ibu muda masa kini memiliki kesadaran untuk fokus pada hal yang benar-benar signifikan dalam hidup. Menyebarkan pesan untuk para wanita agar tidak hanya melihat kulit luarnya saja.
Selama aku masih bisa berkarya aku merasa itulah yang bisa membuatku terbangun di pagi hari dan menjalani “tugas” sebagai seorang pribadi.