Dulu, saat berusia 27 tahun, bagi banyak orang, hidupku mungkin dapat dikatakan hampir sempurna. Aku dipromosikan menjadi salah satu Regional Manager termuda untuk wilayah Asia dan Timur Tengah di sebuah perusahaan Amerika yang berlokasi di Singapura, memiliki penghasilan besar, project yang aku pegang diliput oleh Forbes dan Bloomberg, memiliki apartemen sendiri yang bagus, bertunangan serta akan menikah, intinya semua hal berjalan dengan sangat baik. Namun, siapa yang dapat mengira apa yang akan terjadi di masa mendatang? Singkat cerita, di usia 29 tahun, karena krisis ekonomi global, aku sangat sulit mendapat pekerjaan sementara perusahaan milikku pun harus tutup karena tidak mendapat pembiayaan. Karena itu, aku harus keluar dari apartemenku dan pindah ke tempat lain dimana aku berbagi dengan dua orang lainnya. Di masa itu pula, aku bercerai. Dan seolah itu semua belum cukup, ayah dan sahabatku meninggal. Hanya dalam waktu singkat, kurang dari dua tahun, ujian datang bertubi-tubi kepadaku, mengubah apa saja yang aku miliki di usia 27 tahun menjadi sebaliknya. Aku langsung depresi karena merasa gagal di semua hal.
Saat depresi, aku benar-benar dipaksa untuk melihat ke dalam diri alih-alih mencari jawaban dari luar. Apa sih yang semua ini ajarkan ke aku? Saat melalui masa berat ini, aku pun melakukan meditasi serta bertukar pikiran dengan banyak orang untuk belajar. Dari sini aku menyadari, saking terobsesinya aku dulu dalam mendapatkan funding untuk perusahaan, gaji yang bagus, dan hal lainnya yang dapat membuatku sukses menurut persepsiku dahulu, aku menjadi egois karena semuanya berpusat tentang diriku.
Ketika hidup kita dalam posisi nyaman, kadangkala kita lupa untuk melihat ke dalam untuk mengenal diri tentang apa saja yang sebenarnya kita miliki, butuhkan, dan inginkan.
Ketika hidup kita dalam posisi nyaman, kadangkala kita lupa untuk melihat ke dalam untuk mengenal diri tentang apa saja yang sebenarnya kita miliki, butuhkan, dan inginkan. Kita terus saja mengejar apa pun yang dianggap dapat membawa kita lebih sukses, kaya, atau mungkin bahagia. Padahal, apalah arti semua gol tersebut? Bila kita sudah mendapatkannya, apakah kita akan puas dan merasa cukup? Dan bila kita tidak mendapatkannya, lantas kita langsung menganggap diri kita gagal? Padahal, bisa saja proses kita menuju apa yang kita inginkan tersebut mengajarkan hal yang sangat bernilai untuk ke depannya. Lagipula, ada kemungkinan target tersebut bukanlah yang terbaik untuk kita. Ada skenario yang sebenarnya lebih baik namun kita belum mengetahuinya saja sehingga kita merasa target yang telah kita tetapkan adalah segalanya. Sebagai tambahan, bila semuanya tentang kita, siapa yang mau menolong saat kita susah? Secara logika orang lain akan malas membantu siapa saja yang tidak mau berbagi atau membantu sesama.
Satu-satunya orang yang dapat membuat diri kita merasa complete atau cukup adalah kita sendiri.
Satu-satunya orang yang dapat membuat diri kita merasa complete atau cukup adalah kita sendiri. Siapa bilang jika kita mendapat sesuatu yang kita inginkan itu artinya kita akan fulfilled? Manusia tidak akan pernah puas.Walaupun bagus untuk memiliki semacam gol, menurutku seharusnya kita tidak terlalu terikat padanya, karena pertama, terikat pada gol tertentu bisa melimitasi diri kita untuk berkembang. Sangat terbuka kemungkinan untuk kita bisa melampaui target yang kita tetapkan. Bila kita sangat terpaku padanya, kita malah membatasi diri untuk potensi mencapai yang lebih tinggi. Kedua, bila kita terlalu terikat pada gol yang spesifik, kita bisa saja menjadi tidak begitu menghargai proses untuk mendapatkannya, atau lebih buruk lagi, menganggap semua yang kita lakukan sia-sia. Menurutku, kita lebih baik bekerja untuk mendapatkan proses yang mengajarkan kita banyak hal, daripada sekadar mengejar tujuan. Pengalaman dan pelajaran jauh lebih bernilai untuk kita di masa mendatang. Oleh karenanya, jangan takut untuk gagal. Be a risk taker.
Walaupun bagus untuk memiliki semacam gol, menurutku seharusnya kita tidak terlalu terikat padanya.
Hal terburuk yang bisa terjadi adalah kegagalan. Itu sudah pasti karena semuanya pasti ada resiko gagalnya. Kalau semua hal bisa gagal, ada baiknya kita melakukan kalkulasi terlebih dahulu rasio kegagalan dan keuntungan yang dapat kita peroleh, dan lakukan saja. Kalau gagal, tidak apa-apa, kita bisa selalu belajar sesuatu. Aku sendiri merasa heran, mengapa ya di Indonesia, orang cenderung risih untuk bercerita bila mereka gagal dalam bisnis atau finansial? Berbicara keuangan seolah dianggap tabu. Padahal kalau berbicara bisnis tapi tidak pernah ada kesulitan keuangan, artinya hidup kita gampang-gampang saja. Bila seorang entrepreneur tidak pernah gagal, artinya pengalaman atau wisdom yang ia miliki belum sebanyak itu. Bagaimana ia bisa berkembang lebih jauh lagi?
Bila kita takut mencoba karena orang lain pernah gagal saat mencoba hal yang sama, ingat saja, pengalaman setiap orang belum tentu sama. Saat seseorang berkata ia tidak berhasil melakukan suatu hal, itu lebih mengenai persepsi dan kehidupan mereka, bukan kita. Pasti akan ada saja yang kurang setuju dengan kita. But we can’t always please everyone. Kita tidak perlu bertanggung jawab pula akan pendapat orang akan diri kita sendiri. Percaya diri saja.
Saat seseorang berkata ia tidak berhasil melakukan suatu hal, itu lebih mengenai persepsi dan kehidupan mereka, bukan kita.
Percaya diri didapat data kita merasa secure pada diri sendiri. Bagaimana cara untuk lebih memiliki rasa kepercayaan diri? Dengan selalu banyak belajar. Dengan belajar, kita memiliki back up atas kepercayaan diri yang kita miliki. Misalnya, aku menyampaikan sesuatu namun aku tidak mengetahui data atau alasan di balik apa yang aku sampaikan. Tentu aku akan merasa gamang. Lain ceritanya bila aku telah menguasai suatu hal. Saat diminta menjelaskan tentang hal tersebut, pasti aku akan dengan mudah dan percaya diri melakukannya.
Kini, dengan semakin sering aku jatuh, semakin sering aku berpikir untuk bagaimana saat aku harus naik lagi, aku dapat ikut mengajak orang lain untuk sama-sama memanjat ke atas.
Singkat cerita, jujur saja hingga usia ku saat ini, aku banyak sekali mengalami kegagalan. Tapi kini, dengan semakin sering aku jatuh, semakin sering aku berpikir untuk bagaimana saat aku harus naik lagi, aku dapat ikut mengajak orang lain untuk sama-sama memanjat ke atas. Pasti ada orang lain yang berada di lembah yang sama dengan kita, yang bisa kita bantu untuk kembali bangkit. Ini akan menjadikan kita tidak egois. Selain itu, beban kita pun akan menjadi berkurang karena memiliki support system yang mengiringi. Bila saat ini seseorang berkata, “Gita, hebat sekali kamu sekarang, bisa mencapai sejauh ini”, bagiku, aku sudah merasa memperolehnya sejak lama karena aku telah merasa cukup dengan apa yang aku miliki sebelumnya. Mengukur kesuksesan itu susah. Lagipula, kalau dalam dunia pengusaha, apalah arti perusahaan (PT) melainkan selembar kertas belaka saja. Lebih penting orang-orang ada yang ada di dalamnya, dan lebih penting lagi rasa syukur atas apa saja yang telah kita miliki. Karena untuk merasakan sukses, terlebih dahulu kita harus merasa cukup.
Karena untuk merasakan sukses, terlebih dahulu kita harus merasa cukup.