Banyak orang yang sering bilang berlibur itu adalah untuk melarikan diri dari keseharian dan dari rutinitas sehari-hari. Tapi kalau dipikirkan kembali, kenapa kita butuh pelarian? Kalau begitu berarti ada yang salah dengan hidup kita sampai butuh pelarian? Apakah memang hidup kita begitu tidak menyenangkannya sampai butuh liburan? Menurut saya seharusnya liburan itu menjadi bagian dari proses hidup, sebagai penyeimbang hidup, sebuah kebutuhan dan bukan pelarian. Kalau sampai kita merasa jenuh dengan pekerjaan hingga harus “kabur” dari kehidupan sehari-hari rasanya ada yang salah dengan hidup kita dan harus dicari tahu apa masalahnya. Mungkin karena pekerjaan yang dilakukan sekarang belum sejalan dengan keinginan atau passion.
Apakah memang hidup kita begitu tidak menyenangkannya sampai butuh liburan?
Sebenarnya itu salah satu alasan saya akhirnya bekerja di area yang memang saya senangi: travel. Sehingga pekerjaan pun terasa liburan dan sebaliknya. Malah kadang saya berlibur sekaligus bekerja. Menurut saya memang yang benar itu work smart play hard. Harus bisa bekerja secara pintar untuk bisa menjaga keseimbangan hidup. Di saat pekerjaan dan hasrat hidup sudah searah akhirnya kita bisa merasa kerja layaknya bersenang-senang. Energinya sudah sejalan. Bahkan kita bisa melakukan pekerjaan tersebut lebih dari 100%. Akhirnya kalau keduanya sudah selaras akan ada snowballing effect dalam hidup kita. Bertambah bijak memutuskan sesuatu, meningkatkan pengetahuan, dan tentu saja pendapatan. Semuanya berdampak satu sama lain karena sudah satu energi. Jadi ketika berlibur pun kita bisa lebih sadar menikmatinya tanpa harus merasa bersalah bersenang-senang dan meninggalkan pekerjaan.
Setiap orang memang punya caranya masing-masing untuk berlibur. Saya pribadi adalah tipe orang yang spontan dalam bepergian. Tidak merencanakan dari jauh-jauh hari. Bahkan seringnya hanya dalam waktu dua hari sebelum berangkat atau di hari yang sama. Menurut saya liburan adalah saatnya saya bisa melepaskan diri dari zona nyaman di kehidupan sehari-hari. Waktu untuk saya belajar hal baru dan membuka diri pada hal-hal di luar kebiasaan. Belajar lebih toleran pada apa yang ada di tempat wisata tersebut sehingga melahirkan perspektif yang berbeda pula. Senangnya adalah saya dapat membawa pulang beragam kisah unik dari tempat yang anti mainstream dan dari pengalaman di luar bayangan.
Liburan itu menjadi bagian dari proses hidup, sebagai penyeimbang hidup – sebuah kebutuhan dan bukan pelarian.
Pernah sekali waktu saya pergi ke Sumba. Di tengah perjalanan saya memutuskan untuk berpisah dari rombongan. Selama enam hari saya berpetualang sendiri berbekal Rp. 400.000 (karena dompet ketinggalan) dan tanpa charger telepon genggam. Namun bukannya merasa stres malah pengalaman tersebut menjadi liburan tak terlupakan seumur hidup saya. Seru sekali rasanya saya jadi harus banyak ngobrol dengan orang-orang sekitar. Tanya sana-sini, diajak menginap di salah satu desa oleh sang kepala desa, bahkan kedapatan diajak jalan-jalan gratis oleh beliau, dan menyaksikan ritual potong babi di salah satu pesta adat yang meriah. Rasanya luar biasa sekali kedatangan saya di tengah-tengah mereka disambut meriah dan bisa berinteraksi dengan orang-orang yang hampir tidak pernah saya temui sehari-hari.
Begitu pun saat saya pergi ke Ubud. Saya hanya mencari homestay yang murah meriah. Pergi tanpa peta dan hanya bermodal motor. Lalu spontan saja nantinya bertemu siapa di jalan. Entah teman atau orang baru. Lalu jalan-jalan bersama ke tempat-tempat yang tidak banyak dikunjungi. Atau ketika saya pergi ke gunung. Saya biasanya sengaja pergi ke gunung untuk bisa me time. Punya waktu untuk diri sendiri. Jadi selama mendaki gunung saya suka sekali berdiskusi dengan diri sendiri. Jarang sekali saya mendaki sambil ngobrol dengan teman pendaki. Saya mencari gunung untuk bisa diam, refleksi diri, melakukan evaluasi diri, atau bahkan merencanakan masa depan. Akhirnya jadi sadar seperti apa diri kita di saat ini. Sudah sejauh apa melangkah dan berkembang. Sudah memenuhi misi hidup atau belum. Banyak pertanyaan reflektif yang berguna untuk pengembangan diri akhirnya. Liburan seperti itulah yang untuk saya lebih bermakna. Mencari sesuatu di luar zona nyaman. Kalau tetap merencanakan sedemikian rupa, melakukan aktivitas yang sama seperti kehidupan sehari-hari apa maknanya? Wawasannya itu-itu lagi. Buat saya liburan justru harus sebaliknya dari keseharian.
Liburan adalah saatnya lepas dari zona nyaman di kehidupan sehari-hari. Waktu untuk belajar hal baru dan membuka diri pada hal-hal di luar kebiasaan