Dahulu saya pernah menjadi orang yang cukup (unmindfully) ambisius, saya paling tidak betah untuk berhenti sejenak dan tidak melakukan apa-apa. Setiap detik harus “produktif” dan mengejar return on investment dari setiap aktivitas. Saya cenderung tergesa-gesa dan ingin sekali mencapai hal-hal hebat yang orang lain tidak bisa capai.
Di masa-masa itu, saya justru bingung ketika berhadapan dengan seseorang yang tidak ambisius. Seseorang yang hidupnya santai dan hanya menerima apa yang terjadi dalam hidupnya. Saya sering bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya ada orang yang tidak ambisius? Kenapa ia tidak ingin mencapai hal-hal besar dan prestasi yang hebat?
Selain itu saya juga kerap mempertanyakan, meskipun saya terbilang ambisius dan sulit memberikan jeda dalam hidup, di saat yang bersamaan saya juga sadar dengan adanya orang-orang bijaksana dan guru-guru kehidupan seperti para biksu & bikkhu, Gautama The Buddha, dan para orang-orang suci lainnya yang penuh kedamaian. Sosok yang di sepanjang hidupnya telah mencerahkan banyak orang. Kemudian muncul pertanyaan lain, mengapa orang-orang bijaksana tersebut justru lebih banyak menghabiskan waktunya jauh dari kehidupan duniawi?
Mengapa malah tinggal di gunung, kuil, hutan, tempat pertapaan, pedesaan, dan sebagainya? Mengapa mereka tidak mengambil partisipasi dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjadi menteri, presiden atau sekjen PBB? Bukankah kita kekurangan orang-orang bijaksana untuk menjalankan negara dan dunia?
Lalu kini saya mulai paham. Ternyata memang hakikat Sang Hidup, Sang Sumber, dan Pencipta Kehidupan ini mengekspresikan semesta kreasinya melalui dua inti sifat-NYA, yaitu being and doing. Atau Shiva & Shakti, atau Purusha & Prakrti, atau juga Adam & Hawa.
Kita, manusia adalah alam semesta itu sendiri yang sadar akan dirinya yang hidup dan mewarisi sifat tumbuh kembang alam semesta. Kita hadir untuk mengekspresikan diri melalui ragam penciptaan kreasi dan bentuk kehidupan yang tak terbatas.
Semesta ini ingin terus berekspresi dalam proses penciptaan, this is the "doing" aspect of the universe (Prakṛti atau Shakti). Tapi di satu sisi ia juga ingin cukup menjadi dirinya saja, mengenali siapa dirinya, to realize the true nature of who he really is, this is the "being" aspect of the universe (Purusha atau Shiva).
Kalau kita hayati makna Adam dan Hawa-pun begitu. Adam sendiri maknanya adalah "yang berasal dari tanah atau bumi”, awal mula. Sementara Hawa maknanya adalah "desire" atau "passion". Adam is to provide the seed of life, while Hawa is to actively culminate the creation. Just like The Father and Mother, or, The Sun and The Moon. Sama seperti diri kita.
Di saat bersamaan, kita juga tentu ingin aktif terus melakukan banyak hal di dunia (doing), dengan segala cita yang kita harapkan. Mungkin hadir dalam bentuk keinginan untuk menjadi dokter, astronot, pengusaha, atau beragam cita-cita lainnya. Kendati begitu, pasti kita juga lelah bermain peran, bukan?
Selalu ada kerinduan untuk "pulang". Pulang kembali menjadi diri kita sendiri, just "being" who we are. Diri kita yang cukup, yang kita terima sempurna sebagaimana adanya tanpa perlu ditambah label ini dan itu. Segala keinginan yang kita usahakan agar dapat terwujud inilah yang tak jarang menghadirkan keriuhan dalam hidup.
Kembali ke keresahan saya tentang guru-guru kehidupan yang arif, damai, serta bijaksana. Kenapa para orang bijaksana malah menyepi dari hiruk pikuk dunia ya? Ternyata justru ini adalah orang-orang yang sangat penting, mereka hadir untuk menjaga ritme dalam kehidupan kita atau akar dari stabilitas dunia ini.
Kenapa para orang bijaksana malah menyepi dari hiruk pikuk dunia, ya? Ternyata justru ini adalah orang-orang yang sangat penting, mereka hadir untuk menjaga ritme dalam kehidupan kita atau akar dari stabilitas dunia ini.
Bayangkan saja kalau semua orang sangat ambisius seperti Elon Musk atau Donald Trump, pasti akan banyak sekali kompetisi yang tidak sehat, saling menjatuhkan dan berimbas pada aspek-aspek lain di dunia ini. Lihat saja keadaan lingkungan sekitar kita yang kian memprihatinkan dari hari ke hari karena ego kita untuk mewujudkan target “doing” kita, because it seems like we cannot stop doing, sedikit-sedikit kita harus membuang emisi dan sampah dari aktivitas kita.
Oleh karena itu orang-orang arif, bijaksana, serta guru-guru kehidupan seperti Buddha misalnya memang memilih untuk tidak menjadi presiden, CEO atau raja. Justru raja-raja akan meminta arahan kehidupan kepada para guru-guru tersebut. Karena kita yang aktif "doing" ini acapkali kehilangan diri kita sendiri, we tend to lose ourselves in the pursuit of “doing”-ness, menjadi serakah, egois, kebablasan, dan atau stress sendiri.
Maka sekeras apa pun usaha kita mewujudkan segala target, seambisius apa pun kita, pada akhirnya kita tetap harus selalu ingat untuk pulang kembali pada diri sendiri. Return and just "being" ourselves, non-doing, only "being". Memaknai betul bagaimana menjadi diri kita sendiri, tidak harus selalu produktif dan penuh ambisi, biarkan kita menikmati menjadi diri kita sendiri. Menyepi, mengenali jati diri kita, dan memaknai the true essense of who we are beyond all labels & recognitions. Melepas ilusi peran keduniawian agar tidak kehilangan diri kita yang sebenar-benarnya.
Sekeras apa pun usaha kita mewujudkan segala target, seambisius apa pun kita, pada akhirnya kita tetap harus selalu ingat untuk pulang kembali pada diri sendiri. Memaknai betul bagaimana menjadi diri kita sendiri, tidak harus selalu produktif dan penuh ambisi, biarkan kita menikmati menjadi diri kita sendiri. Menyepi, mengenali jati diri kita, dan memaknai the true essense of who we are beyond all labels & recognitions.