Untuk memahami kesehatan mental secara utuh kita harus melihat setiap permasalahannya dalam spektrum. Sehingga bukan dengan skala 0-1 atau ada dan tidak ada masalah tapi dari skala 1-10. Seberapa besar masalah kesehatan mental ada di diri kita. Termasuk saat kita bicara tentang konsep perfeksionisme yang berasal dari tuntutan orang tua ketika kita kecil. Sebenarnya dalam diri setiap orang pasti ada sisi perfeksionis. Tapi skalanya saja yang berbeda. Ada yang perfeksionis dalam segala aspek hidup ada pula yang hanya dalam satu aspek saja. Jika seseorang ingin menelusuri bagaimana sisi perfeksionis itu bisa hadir mengingat kembali pola pengasuhan orang tua saat kita kecil bisa jadi bahan perenungan. Ini terjadi karena banyak orang tua yang kurang paham tentang pengelolaan stres pada anak. Sehingga mereka memahami anak dalam tingkat pemahaman mereka. Misalnya tentang pendidikan. Banyak orang tua yang menuntut anak untuk bisa baca padahal mungkin membedakan kanan kiri saja belum lancar.
Sebenarnya dalam diri setiap orang pasti ada sisi perfeksionis. Tapi skalanya saja yang berbeda. Ada yang perfeksionis dalam segala aspek hidup ada pula yang hanya dalam satu aspek saja.
Perlu disadari memang bahwa banyak orang tua yang punya anak untuk memberikan kompensasi terhadap apa yang tidak mereka miliki dulu. Contoh di film Black Swan. Sang ibu memaksakan anaknya jadi pebalet karena dulu ia hamil di luar nikah dan tidak bisa jadi pebalet. Padahal belum tentu anaknya mau. Jadi perlu sekali untuk memiliki pola pikir yang jelas tentang mengasuh anak. Dari observasi yang saya lakukan tentang pengembangan otak anak, ada baiknya ketika memutuskan untuk menjadi orang tua kita sudah selesai dengan diri kita. Sebab anak bukan proyek aktualisasi diri kita. Juga bukan sumber kebahagiaan kita. Saat punya anak seharusnya kita sudah merasa cukup dan puas dengan diri sendiri sehingga tujuan punya anak adalah untuk membagi hidup dan bahagia bersamanya. Kalau masih berpikir, “Hidup saya tidak lengkap kalau belum punya anak” nantinya malah bisa berdampak pada psikologi anak. Sama saja kita menggantungkan kebahagiaan pada anak dan akhirnya tanpa sadar justru banyak menuntut pada mereka. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ibu rumah tangga yang tanpa berkarya dan tidak punya bentuk aktualisasi diri cenderung akan memberikan tekanan lebih pada anaknya. Ia tidak bisa menyalurkan talenta, kemampuan, dan passion sendiri sehingga menyalurkannya pada anak.
Ada baiknya ketika memutuskan untuk menjadi orang tua kita sudah selesai dengan diri kita. Sebab anak bukan proyek aktualisasi diri kita. Juga bukan sumber kebahagiaan kita.
Semua anak sejatinya pasti mau membuat orang tua bahagia. Seperti mereka yang terbiasa mendapat tuntutan untuk jadi sempurna oleh orang tua. Pasti terus menuruti karena ingin membuat orang tua bahagia. Tapi sehat mental adalah tentang keseimbangan. Berada dalam skala yang sedang-sedang saja. Mereka perlu memahami bahwa dunia juga tidak berputar pada tekanan dari orang tua saja dan harus tahu barometernya sendiri-sendiri. Jangan sampai terus merasa never good enough. Mati-matian melakukan segalanya sempurna karena orang lain. Apalagi karena ingin lebih baik dari orang lain. Ingatlah bahwa membandingkan diri yang sehat adalah dengan diri sebelumnya. Orang lain jadi inspirasi jangan jadi patokan. Kalau dari kecil kendalinya berasal dari luar akhirnya ketika dewasa selalu melihatnya keluar. Mencontoh orang tua sampai harus jadi seperti mereka inginkan. Kalau tidak berarti tidak berhasil. Padahal seseorang yang dibilang sehat mental adalah seseorang yang memiliki fleksibilitas. Fleksibilitas sendiri didapat kalau jurus-jurus dalam hidup banyak. Misal jurus mengelola emosi tidak hanya dengan menonton Korea tapi juga ternyata bisa dengan belajar ilmu mengenal emosi, meditasi, olahraga, relaksasi napas sampai datang konseling ke psikolog.
Dunia tidak berputar pada tekanan dari orang tua saja dan harus tahu barometernya sendiri-sendiri. Jangan sampai terus merasa never good enough. Mati-matian melakukan segalanya sempurna karena orang lain.
Masalah komunikasi kita waktu kecil juga bisa berdampak pada masa dewasa. Sebab lewat pola komunikasi sebenarnya bisa menentukan bagaimana cara kita menyelesaikan masalah. Kalau waktu kecil kita sering mendengar, “Masa gini aja ga bisa” bisa jadi saat dewasa kita lebih mudah bingung saat mencari solusi sebab tidak dilatih memikirkan variasi-variasi cara berpikir. Sehingga kita tidak terbiasa untuk punya beragam cara untuk melakukan sesuatu. Begitu juga saat mengelola stres. Kalau sedari kecil kita terbiasa untuk memiliki banyak cara untuk menghadapi kesedihan, kemarahan, di kala dewasa kita terbiasa melewatinya juga. Sehingga dalam mendidik anak harus seperti konsumsi 4 sehat 5 sempurna. Perlu ada konsistensi, disiplin, dan sangat penting lagi adalah komunikasi. Banyak orang tua yang masih belum melakukan komunikasi dua arah dengan anak. Sekecil memberikan apresiasi yang tepat.
Anak di bawah 7 tahun cara berpikirnya masih konkret. Ia hanya bisa paham dengan apa yang direspon oleh panca indera. Makanya kalau misalnya anak lari-lari tidak pakai baju lalu ibunya bilang, “Ih malu gak pake baju”. Ini adalah konsep yang abstrak. Tapi kalau bilang, “Adek kalo ga pake baju lari-lari nanti malam perutnya sakit karena masuk angin” itu baru bisa buat anak berpikir. Harus spesifik untuk memberitahu suatu informasi pada anak. Seperti juga saat memberikan apresiasi. Misalnya “Terima kasih ya kamu sudah beresin mainan hari ini”. Harapannya adalah supaya perilaku besok dilakukan lagi. Sama saja dengan pemberian kritik. Hanya saja kita harus memerhatikan waktu yang tepat agar jangan sampai kritik itu meluapkan emosi negatif kita juga. Sehingga harus bisa dicari waktu yang enak untuk bisa ngobrol dengan anak. Tidak bisa baru bangun pagi langsung ngomel. Anak harus diajak main dulu lalu setelah perasaannya enak baru sampaikan kritik, “Mama mau bahas yang kemarin dong kenapa ya kamu teriak teriak begitu? Mama merasa sedih”. Di sini juga perlu pakai I message. Pakai kata Mama, Papa, Kakak, dan sebagainya. Supaya mereka tahu kita peduli sama mereka. Hindari juga memberikan kritik dengan menitik-beratkan apa yang kita tidak suka. Seperti, “Kenapa sih kamu teriak begitu, Mama malu sama orang jadinya”. Mendengar ini anak bisa beranjak dewasa menyimpan insecurity karena merasa orang tua lebih peduli pada orang lain dari pada pada dirinya.
Dengan memahami pola pengasuhan ketika kecil kita sebenarnya bisa learn to unlearn. Belajar untuk membuang pelajaran-pelajaran yang kurang membangun di masa kecil. Sehingga ini dapat menjadi refleksi kita saat ini agar tidak selalu bergantung pada apa yang ada di luar diri seperti tuntutan orang tua atau bahkan masyarakat. Juga untuk menjadi bahan renungan ketika hendak berkeluarga dan punya anak. Supaya kita tidak menggantungkan harapan dan kebahagiaan kita pada anak dan menuntutnya jadi seperti apa yang kita inginkan. Justru membantunya dalam menemukan makna hidup yang berasal dari dirinya sendiri.
Dengan memahami pola pengasuhan ketika kecil kita sebenarnya bisa learn to unlearn. Belajar untuk membuang pelajaran-pelajaran yang kurang membangun di masa kecil. Sehingga ini dapat menjadi refleksi kita saat ini agar tidak selalu bergantung pada apa yang ada di luar diri seperti tuntutan orang tua atau bahkan masyarakat.