Tidak pernah ada yang tahu orang yang tadinya asing untuk kita ternyata bisa menjadi seorang teman baik yang melengkapi diri. Begitu pula dengan Mario Pratama dan Narendra Pawaka. Pertama kali bertemu satu sama lain, mereka tidak pernah menyangka hubungan rekan kerja akhirnya menuntun mereka menjalin hubungan pertemanan di luar ruang profesional.
Greatmind pun berbicara lebih jauh tentang pertemanan dengan kedua personil Dead Bachelors tersebut:
Greatmind (GM): Menurut kalian, mengapa kalian berdua bisa cocok?
Mario Pratama (MP): Gue merasa Eda melengkapi karakter gue yang sangat berapi-api dan cenderung lebih dinamis. Eda menyeimbangkan gue dengan sikapnya yang lebih tenang dan tertata.
Narendra Pawaka (NP): Jika bisa diandaikan, kecocokan kami seperti kalau kita sedang baca buku. Biasanya ketika sedang baca buku, kita mencari jawaban yang selama ini sebenarnya sudah diketahui. Tapi kemudian ternyata penulis buku memiliki pemikiran yang sama dan akhirnya kita mendapat validasi dari buku tersebut. Begitu juga dengan kecocokan kami. Banyak orang yang bilang kami saling melengkapi setiap kali punya proyek bersama. Entah itu Duo Budjang atau Dead Bachelors. Testimoni yang diberikan orang-orang akhirnya membuat gue sadar ternyata memang gue dan Mario saling melengkapi.
GM: Tapi apakah kalian berteman dekat di luar pekerjaan?
MP: Sebenarnya, kami berusaha untuk memisahkan antara ruang personal dan profesional. Kami tidak setiap hari kontak. Ada momen kita seperti teman dekat dan ada momen kita memang rekan dalam berbagai proyek. Gue merasa, pertemanan gue dan Eda bukan pertemanan yang harus selalu dijaga. Semakin bertambah usia, gue semakin selektif memilih teman dekat dan sepertinya tidak ada banyak waktu untuk menjaga pertemanan dengan selalu bertemu atau memberikan kejutan saat ulang tahun. Pertemanan gue dan Eda bukan tipe yang seperti itu. Tapi, setiap kali gue punya masalah yang mungkin cukup berat, gue akan cerita ke Eda karena dia adalah pendengar yang baik.
NP: Awal kami dekat, kami sedang berada di Singapura untuk sebuah liputan. Kami satu kamar saat itu. Lalu tiba-tiba, Mario curhat sampai gue tidur. Di saat itu, gue tidak pernah menyangka beberapa tahun kemudian kami justru buat podcast bersama menceritakan segala keluh kesah.
GM: Mengapa menurut kalian, partnership ini layak dipertahankan?
MP: Dari kecil gue bercita-cita jadi musisi. Tapi ada masanya gue berpikir secara realistis dan membuang mimpi itu. Mimpi itu kembali saat gue ketemu Eda. Gue inget pertama kali pembicaraan kita nyambung soal musik adalah saat gue bertanya tentang The Beatles. Gue sempat bertanya, “Lo tim Paul Mccartney atau John Lennon?” Tidak keduanya, Eda justru memilih George Harrison. Dari sana, entah bagaimana kami banyak berdiskusi tentang musik dan akhirnya membangkitkan kembali gairah gue bermusik. Bukan hanya gairah sebagai penikmat dan penyiar saja tapi sampai membuat band. Gue tidak pernah bertemu orang yang se-antusias itu dengan musik. Dan setelah 10 tahun gue mengubur mimpi, Eda membangkitkan kembali mimpi gue.
NP: Gue merasa ketika bersama Mario, gue bisa menjalani segala pekerjaan secara serius tapi di saat yang sama, keseriusan itu dijalani dengan menyenangkan. Menurut gue, tetap membawa situasi menyenangkan itu penting. Terutama dalam jalinan pertemanan.
GM: Selain itu, bagaimana cara kalian bisa menjaga hubungan pertemanan agar terjauh dari pertikaian?
NP: “I’ll be there”. Tiga kata ini menurut gue cukup mewakili. Entah ada pekerjaan untuk Duo Budjang atau Dead Bachelors, gue akan selalu ada untuk Mario.
MP: Kami sama-sama mencari tahu karakter masing-masing. Mulai dari tahu karakter satu sama lain lewat tes MBTI sampai love languages. Ini penting sekali untuk memudahkan pekerjaan juga. Kalau mengetahui karakter satu sama lain seperti apa, kami bisa memahami bagaimana bersikap dengan satu sama lain. Termasuk juga dalam memberikan porsi pekerjaan. Contohnya, ketika ada presentasi gue sudah tahu pasti akan gue yang maju. Sementara kalau soal penjadwalan, Eda akan lebih pintar mengelola karena dia menikmati pekerjaan tersebut.
GM: Lalu soal eksekusi lagu, misalnya saat rilis single terbaru “It’s You”, bagaimana?
NP: Jujur, sebenarnya lagu “It’s You” hampir buat kami bubar. Gue sendiri merasa seperti tidak ada alasan lagi untuk bermusik di kala pandemi. Gue merasa tidak bisa bersenang-senang di saat banyak orang sedang susah. Bahkan karena itu juga gue sudah lama tidak main media sosial lagi. Tapi kemudian, Mario memberikan dukungan dan mengingatkan bahwa kami perlu kembali berkarya setelah kurang lebih 9 bulan jeda. Setelah berbagai pertimbangkan, akhirnya gue setuju dan merilis single “It’s You”. Lagu ini juga kembali membuat gue membuka diri untuk berteman lagi dengan internet. Gue menemukan kembali keinginan untuk membuat konten dan bergerak lagi.
MP: Sama seperti Eda, gue juga memikirkan hal serupa. Rasanya aneh melakukan promo di saat dunia sedang tidak baik-baik saja. Apalagi kemarin orang terdekat gue ada yang meninggal karena Covid-19. Tapi kemudian gue berpikir bahwa Dead Bachelors bisa jadi lebih dari sebuah band. Gue pun memutuskan untuk mendedikasikan akun Dead Bachelors untuk bertukar informasi seputar pandemi. Misalnya ada bisnis-bisnis yang butuh bantuan, donor darah, hingga kebutuhan tabung oksigen, bisa bertukar informasi di akun ini. Jadi, lagu “It’s You” sebenarnya bisa dibilang ditujukan untuk semua orang karena kondisi sekarang ini adalah tentang kita semua.