Siapa yang tidak mau bahagia? Rasanya tidak ada yang tidak mau bahagia. Semua orang hidup untuk mengejar kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Begitu pula saya. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk bercerai dan menjadi orangtua tunggal. Demi keluar dari hubungan tak sehat dan demi membesarkan anak saya dalam situasi yang lebih bahagia.
Sayangnya, di masyarakat kita seringkali terdapat sebuah stigma atas keluarga ideal yakni terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Padahal realitanya tidak melulu demikian. Saya ditinggalkan oleh ayah sedari kecil. Perannya pun hampir tidak pernah terlihat sepanjang masa pertumbuhan saya. Tapi ibu adalah orang yang hebat yang dapat membesarkan saya dengan luar biasa serta membuat saya menjadi pribadi yang kuat. Tidak pernah sekalipun saya menyesal atau kecewa atas keluarga kecil saya ini. Tidak juga merasa kekurangan atau kehilangan sesuatu.
Sayangnya, di masyarakat kita seringkali terdapat sebuah stigma atas keluarga ideal yakni terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Padahal realitanya tidak melulu demikian.
Dari awal masa pernikahan saya tidak bahagia dan sudah memikirkan untuk mengakhirinya Tapi ketika itu ternyata saya hamil dan membuat saya sejenak berpikir kembali. Mungkin Tuhan sedang mengingatkan agar saya tidak berpikir soal perceraian dulu sebab Dia sedang memberikan hadiah. Sejenak saya menunda hingga perasaan untuk mengakhiri datang kembali. Dengan kepala dingin, pikiran nan sadar dan logis tanpa di bawah tekanan apapun saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya ingin seumur hidup berada dalam lingkaran ini?” Jawabannya adalah tidak. Saya mau mencari kebahagiaan bersama anak.
Seketika tidak ada lagi yang membuat saya ragu, merasa bersalah, menyesal, atau pikiran negatif lainnya. Tidak juga khawatir bagaimana nanti walaupun banyak pikiran ini saya dapatkan dari orang lain. Namun saya tahu bahwa mereka tidak bisa saya kendalikan. Sekeras apapun saya mencoba untuk menghindari hal-hal negatif dari pihak luar tetap saja tidak akan berhasil.
Menjadi ibu merupakan berkat yang luar biasa. Meskipun saya akhirnya harus bercerai di saat dia masih amat kecil, saya tetap merasa dia adalah hadiah tak terkira harganya. Di agama saya terdapat kepercayaan bahwa doa yang paling didengar adalah doa orang yang teraniaya dan doa anak soleh. Sehingga untuk mendapatkan ketenangan di surga sana, saya merasa bertanggung jawab untuk membesarkan anak menjadi anak yang soleh. Dialah rezeki saya. Di luar sana banyak sekali orang yang sulit punya anak sehingga saya amat mensyukuri karunia ini. Terlebih karena kehadiran dia membuat saya bisa menjadi individu yang lebih baik. Kehadiran dia mengubah hidup saya 180 derajat. Sebelum punya anak saya adalah wanita yang bicara apa adanya bahkan kadang terdengar galak dan tidak menyenangkan. Ketika ada dia, saya merasa bahwa saya harus bisa jadi role model seperti ibu saya yang menjadi role model saya. Sehingga saya harus bisa melatih kesabaran dan meredakan emosi agar bisa memperlihatkan contoh yang baik untuknya.
Menjadi ibu merupakan berkat yang luar biasa.
Kekuatan ini tentunya juga berasal dari ibu saya yang memperlihatkan bagaimana beliau bisa melewati segala macam hal sendiri. Memang kadang sulit tapi saya tahu Tuhan sayang pada saya. Yang terpenting adalah bukan fokus pada kesulitannya tapi mencari solusinya. Contohnya dari pada saya berkutat untuk memaksa mantan suami datang berkunjung dan memperhatikan anaknya – di mana dia sendiri tidak memiliki niat tersebut, lebih baik saya berupaya memperkenalkan figur ayah dari orang lain seperti dari sepupu atau sahabat-sahabat. Tidak beda saat saya merasa gagal menjadi seorang ibu karena banyaknya orang yang seakan mengasihani kondisi kami yang tinggal berjauhan. Saya tinggal dan bekerja di Jakarta sedangkan anak saya bersama ibu di Cimahi. Sempat terlintas perasaan gagal tersebut karena harus menitipkannya dalam pengawasan ibu saya. Sedangkan saya juga tidak percaya pada asisten rumah tangga jika harus meninggalkannya di rumah ketika bekerja. Tapi kemudian saya sadar saya tidak boleh fokus kesulitan jarak justru harus meningkatkan kualitas hubungan dengan anak. Saya pun berpikir bahwa di dunia ini tidak ada aturan yang pasti bagaimana harus membesarkan seorang anak. Mereka yang membicarakan masalah tersebut juga tidak berada di posisi saya. Yang terpenting adalah hubungan saya dengan anak di mana tidak perlu saya umbar dan berusaha jelaskan pada orang lain.
Di dunia ini tidak ada aturan yang pasti bagaimana harus membesarkan seorang anak.
Di kala saya akhirnya menemukan sumber kekuatan untuk terus berjuang, saya semakin percaya diri bahwa saya akan baik-baik saja. Saya yakin selama saya bisa menggunakan kaki sendiri untuk berdiri, bahkan berlari, saya akan baik-baik saja. Saya tahu apa yang saya lakukan dan terus belajar jika memang tidak paham benar. Kalau saya putus asa bagaimana nasib anak saya yang tidak pernah minta dilahirkan ke dunia? Bagaimana nasib kucing-kucing saya? Terlebih lagi bagaimana nasib anak-anak yatim piatu yang berada di yayasan tempat ibu saya berkontribusi? Mereka sudah layaknya keluarga. Tak adil rasanya jika saya mengeluh atau bahkan putus asa ketika saya masih memiliki banyak hal baik dalam hidup. Bagaimana dengan mereka yang bahkan ditinggalkan oleh kedua orangtuanya? Tidak peduli siapa yang melahirkan mereka, mau itu pekerja seks komersial maupun pembunuh, saya percaya yang terpenting adalah siapa yang membesarkan mereka. Inilah sumber kekuatan terbesar untuk saya terus melangkah dengan penuh percaya diri.
Tak adil rasanya jika saya mengeluh atau bahkan putus asa ketika saya masih memiliki banyak hal baik dalam hidup.