Berbicara mengenai perselingkuhan adalah berbicara mengenai masalah. Kata selingkuh sangatlah identik dengan peristiwa yang membawa derita bagi banyak orang. Tidak hanya korban yang diselingkuhi tapi juga yang menyelingkuhi dan orang ketiga yang turut terlibat. Belum lagi kalau berbicara soal keluarga. Lebih banyak lagi orang-orang yang harus mengalami luka akibat ketidaksetiaan seseorang. Akan tetapi perlu kita pahami bahwa perselingkuhan itu merupakan tabiat alami manusia. Secara fisik kita memang dibekali dengan hal-hal yang mendorong untuk berselingkuh.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk memiliki keturunan dalam diri misalnya, kita mempunyai hormon dopamin dan serotonin yang menjadi sex drive (penghantar nafsu seksual). Kedua hormon ini pun menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi karena keinginan kita untuk merasakan kenikmatan yang mengantar pada perasaan bahagia. Sehingga saat pencarian kesenangan itu kita mulai mengembangkan perilaku dan aksi seperti memunculkan romantisme dalam hubungan yang juga mengantar pada keintiman. Inilah yang berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Namun secara paradoks ini yang membuka peluang untuk kita terlibat dalam perselingkuhan dalam rangka mencari kesenangan.
Kemudian kenapa konsep tidak hanya satu orang hadir? Apakah memang untuk merasa senang membutuhkan lebih dari satu orang untuk memuaskan? Bukan. Bukan itu. Faktor keterlibatan dengan seseorang memang dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan. Setiap hari kita terlibat dengan lebih dari satu orang, tidak hanya pasangan. Sehingga ketika kita bertemu dengan orang lain yang dapat meningkatkan rasa senang tersebut – meski kita tidak merencanakan perselingkuhan, kita memiliki bakat untuk mulai berpikir selingkuh karena keinginan merasa senang itu.
Lain lagi jika dalam hubungan kita merasa mulai kurang perhatian, kurang nyaman, atau dari sudut pemenuhan kebutuhan fisik mulai berkurang. Tentu saja masalah ini dapat sangat mendukung gambaran perselingkuhan di piliran kita. Alasan mereka yang berselingkuh sebenarnya sangatlah personal. Tidak melulu karena mereka tidak bahagia. Bahkan sebuah penemuan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 40% orang yang berselingkuh itu hidupnya sudah bahagia. Hanya saja alasan mereka berselingkuh ya memang sekadar pemenuhan kenikmatan itu saja.
Kedua jenis kelamin, pria dan wanita, memiliki potensi yang sama untuk berselingkuh. Apalagi dengan dengan adanya teknologi canggih seperti sekarang ini yang memudahkan kita bertemu dengan orang baru dari berbagai pelosok. Biasanya orang-orang yang tinggal di kota besar yang memiliki peluang lebih besar untuk melakukan hal ini. Hanya saja memang kebanyakan pria lah yang melakukan perselingkuhan. Penyebabnya pun sangatlah logis dan ilmiah.
Baik pria dan wanita keduanya memiliki potensi yang sama untuk berselingkuh.
Pemenuhan kebutuhan fisik pria berbeda dengan wanita. Pria memerlukan pemenuhan seks sedangkan wanita pemenuhan emosi yaitu rasa aman dan nyaman. Dorongan pemenuhan seksual ini tentu saja lebih sering daripada pemenuhan emosi sehingga pria identik dengan melakukan hubungan seks tanpa perlu jatuh cinta terlebih dahulu ketimbang wanita yang harus merasakan hubungan emosi dulu sebelum fisik.
Akan tetapi perlu diketahui juga bahwa berselingkuh ada tiga macam: selingkuh yang melibatkan interaksi fisik, selingkuh emosional atau interaksi sosial namun tidak melibatkan seks, dan selingkuh yang melibatkan keduanya. Jadi batas aktivitas perselingkuhan itu sangatlah subyektif. Ada orang yang menganggap kalau sudah berhubungan seks berarti sudah berselingkuh tapi ada juga yang menganggap sekadar curhat-curhatan berkomunikasi intens itu sudah tergolong berselingkuh. Biasanya pria mencurigai wanita berselingkuh ketika dia sudah berhubungan seks. Sedangkan wanita lebih bisa memaafkan kalau pria hanya sekadar berhubungan seks tanpa hati ketimbang terlibat dalam hubungan emosional.
Untuk menghindari perselingkuhan kita pun harus kembali pada tolak ukur hubungan yang memuaskan di mana masing-masing pasangan berusaha membuat hubungan mereka memuaskan. Itulah hal utama yang harus dipenuhi. Jika mulai merasa tidak puas itulah saatnya kedua belah pihak harus mewaspadai. Apabila seseorang itu pun sedang berselingkuh namun ingin keluar dia harus berani mengatakan stop right now (berhenti sekarang juga). Kalau tidak ada motivasi dan kesediaan untuk berhenti tidak akan keluar dari belenggu tersebut. Biasanya kalau sebatas fisik seseorang akan lebih mudah keluar tetapi kalau sudah melibatkan emosi, dia butuh waktu yang lebih panjang untuk benar-benar pergi.
Untuk menghindari perselingkuhan kita harus kembali pada tolak ukur hubungan yang memuaskan di mana masing-masing pasangan berusaha membuat hubungan mereka memuaskan.
Sebaliknya, jika seseorang yang diselingkuhi ingin mengikhlaskan dan menjalani hidupnya kembali dia harus benar-benar belajar dan mengimplementasikan kata “memaafkan”. Memaafkan dalam hal ini dia lakukan bukan untuk pasangannya tapi untuk diri sendiri. Apakah bisa dia menerima kenyataan dari perilaku pasangan yang telah menyakiti dia. Juga pada pemahaman bahwa jangan menyalahkan orang lain akan peristiwa perselingkuhan tersebut. Ini hanya akan menghambat munculnya rasa memaafkan. Seseorang tersebut harus tahu benar apa yang dia rasakan akibat dari peristiwa tersebut dan bertanya pada diri sendiri layak atau tidaknya untuk menerima kembali pasangan (pada kasus jika ingin menerima kembali pasangan). Jika memang kedua pasangan merasa ingin memperbaiki hubungan mereka harus memiliki gol superior dalam hubungan seusai perselingkuhan. Contohnya saja targetnya pada anak, semua demi kepentingan anak. Mereka harus menitikberatkan apa dampaknya bagi anak kalau mereka bercerai atau justru bersatu kembali. Jadi intinya gol superior adalah target yang melampau mereka berdua untuk dicapai bersama.
Jika seseorang yang diselingkuhi ingin mengikhlaskan dan menjalani hidupnya kembali dia harus benar-benar belajar dan mengimplementasikan kata ‘memaafkan’.