Setiap orang dengan profesinya masing-masing, mungkin memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang belajar. Sebagai seorang seniman, menurut saya belajar adalah sebuah proses menyampaikan karya ke masyarakat yang lebih luas. Proses belajar menjadi sebuah medium untuk berbagi dan merefleksikan diri terhadap sebuah kondisi tertentu. Pada dasarnya, tujuan kita belajar adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala yang nantinya bisa dikontribusikan untuk orang lain. Kalau melihat dari sudut pandang saya sebagai seniman, berarti untuk dikontribusikan kepada teman-teman kreatif lainnya. Maka, setiap kali kita berproses untuk belajar, mencoba untuk mengalami progresivitas, di saat yang sama kita juga sedang berkontribusi untuk membuka cakrawala untuk orang lain.
Sebagai seorang seniman, menurut saya belajar adalah sebuah proses menyampaikan karya ke masyarakat yang lebih luas.
Berkesenian dilakukan sebagai cara untuk melakukan manifestasi terhadap sebuah ide. Refleksi-refleksi karya seringnya bercermin kepada struktur sosial dan masyarakat tertentu. Dari mana seorang seniman itu berasal, entah dari struktur sosial bawah, menengah, atau atas, dan daerah tempatnya dilahirkan atau besar, dapat merepresentasikan identitasnya dalam berkesenian. Hakikatnya, seniman berusaha untuk relevan dengan waktu dan ruang yang sedang ditinggalinya.
Sebagai seniman yang kebetulan tinggal di Bali, beririsan dengan banyak masyarakat global dan lintas kesenian lainnya, tidak jarang karya seni yang saya buat seolah menjadi kritik sosial. Padahal saya hanya mencoba untuk merepresentasikan sebuah karya yang relevan dengan kehidupan saya sehari-hari, apa yang saya lihat dan terjadi di sekeliling. Jadi sebenarnya karya-karya yang saya buat secara organik terlihat relevan dengan isu sosial dari lapisan komunitas yang beririsan dengan saya.
Saya memiliki kedekatan personal dengan budaya klub di Bali. Di sini, kami punya akses lebih untuk menikmati musik elektronik. Di sini, kami bisa punya akses untuk merepresentasikan budaya global walaupun secara tidak langsung. Bertemu dengan beberapa masyarakat global yang kebetulan berdomisili di Bali. Di saat yang sama, saya juga terpengaruh dengan tradisi dan ritual yang khas di Bali. Ritual keagamaan dan budaya sudah menjadi sebuah keseharian yang mungkin tidak jelas terlihat di daerah lainnya di Indonesia. Akhirnya pengaruh-pengaruh tersebut tercermin di karya-karya yang saya buat.
Tidak jarang karya-karya saya dipertimbangkan dapat mewakili budaya populer oleh sebagian orang. Padahal menurut saya, budaya populer sebenarnya merupakan jembatan yang digunakan para seniman untuk memposisikan identitasnya saja. Budaya populer yang tampil dalam karya seni saya merupakan citra diri seorang seniman yang tinggal dan beridentitas di Indonesia. Itulah yang kian hari saya coba untuk sampaikan kepada masyarakat global.
Seiring perkembangan zaman, saya merasa ingin lebih nyaman untuk menunjukkan identitas diri sebagai orang yang berbahaya, tinggal, dan punya akses budaya Indonesia. Kalau dibandingkan dulu, kita seringkali bercermin pada budaya luar untuk mendapatkan konfirmasi dari luar. Contohnya jika kita ingin menampilkan budaya Rock ‘N Roll, kita meminta konfirmasi dari Amerika Serikat. Kita berusaha beradaptasi untuk mencerminkan budaya tersebut dari sudut pandang orang Amerika. Tapi menurut saya, para seniman Indonesia termasuk saya sendiri, harus semakin menyadari untuk mendapatkan ruang kenyamanan menampilkan karya yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Indonesia. Inilah waktu kita untuk tidak melulu menyerap budaya dan informasi dari luar saja tapi memberikan informasi tentang budaya dan identitas diri ke luar.
Saya melihat peradaban modern saat ini sudah memungkinkan kita untuk berdialog dengan dunia global secara dua arah. Oleh sebab itu, kita sesungguhnya sudah bisa merepresentasikan seni yang kita punya dengan berdasar pada identitas pribadi. Sudah saatnya kita mulai belajar memposisikan diri sebagai bagian masyarakat global sehingga terjadi progresivitas seni. Seorang seniman pasti akan terus bertransformasi dan tidak pernah berhenti melakukan eksperimen. Medium bisa saja berubah dan itu bukanlah masalah. Yang penting adalah bagaimana ia bisa merepresentasikan sebuah ide sehingga mencapai sebuah proses belajar yang menciptakan medium-medium baru untuk merepresentasikan karya otentik.