Saat menjadi istri dan ibu, saya menyadari ternyata untuk merawat dan mencintai kehidupan lain di luar tubuh, kita harus dimulai dengan mencintai dan merawat jiwa dan raga saya sendiri. Menerima diri dengan segala keunikannya. Saya merasa dari situ semesta memberikan ruang untuk mempertemukan saya dengan suami sebagai pasangan hidup. Ketika saya bisa memeluk segala pasang dan surut yang saya alami di diri sendiri, saya dipertemukan dengan sahabat yang bersedia menerima untuk tumbuh bersama-sama.
Ketika anak saya mulai tumbuh di dalam tubuh, saya berpikir betapa sakralnya tubuh perempuan dengan segala kesempatan dan pilihan yang ia miliki. Pandangan tentang kekuatan perempuan dan feminisme pun berkembang. Menjadi ibu adalah sebuah pilihan dan ruang kesempatan yang diberikan semesta. Betapa menakjubkan tubuh perempuan yang mampu menjadi ruang kehidupan pertama bagi kehidupan manusia. Tubuh perempuan seperti bumi pertama sebelum manusia bertemu dunia sepenuhnya. Disitulah saya mulai sadar bahwa saya harus belajar merawat hati, pikiran dan tubuh agar menjadi ruang yang layak bagi makhluk kecil ini tumbuh. Dalam proses tersebut, ternyata keberadaannya membuat saya belajar lebih banyak tentang hidup dan banyak hal yang tidak disadari sebelumnya tentang diri. Saya seperti menemukan ruang yang semakin luas untuk mengenal diri sendiri, membukakan pintu-pintu kemampuan yang dimiliki. Yang mungkin selama ini belum terbuka karena Intan yang lebih muda lebih menghabiskan waktu memandang keluar daripada mengenal dirinya lebih dalam.
Menjadi ibu adalah sebuah pilihan dan ruang kesempatan yang diberikan semesta.
Seiring proses tumbuhnya anak, saya merasa saya, suami, dan apapun yang berada disekelilingnya menjadi cermin dan wadah untuk ia tumbuh. Menjadi ibu dan merawatnya adalah tanggung jawab yang saya pilih untuk saya terima. Saya rasa tugas saya adalah memberikan ruang terbaik dan ternyaman untuk anak saya tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Bayi lahir seperti kanvas putih kosong, seiring ia tumbuh apa yang ia lihat disekelilingnya menjadi “cat dan kuas” yang mewarnai dirinya dan menjadi bagian dari proses pembentukan dirinya. Dari sinilah saya semakin sadar betapa pentingnya kami sebagai orang tua merawat mental, jiwa, dan raga. Seringkali sebagai orang dewasa kemarahan yang kita tumpahkan kepada anak sesungguhnya bukan kemarahan kepada anak tersebut. Melainkan kemarahan kepada diri kita sendiri. Oleh sebab itu, saya ingin sebisa mungkin meminimlisir luka inner child dalam proses ia tumbuh. Saya tidak ingin ia terluka karena saya sebagai orang tua belum mampu menyembuhkan luka dalam diri sendiri. Maka dari itu, saya mengenalkan ia untuk mengenali perasaannya. Saya tidak ingin membebankan ia dengan harapan yang saya miliki. Saya hanya ingin ia menjadi versi terbaik dari dirinya, yang menghargai dan mencintai segala proses dan keunikan dirinya.
Seringkali sebagai orang dewasa kemarahan yang kita tumpahkan kepada anak sesungguhnya bukan kemarahan kepada anak tersebut. Melainkan kemarahan kepada diri kita sendiri.
Satu hal lain yang juga saya sadari, segala proses tersebut akhirnya berperan besar dalam proses saya membuat karya musik dan seni lainnya. Sebelum menjadi ibu, saya kira menjadi ibu akan membuat inspirasi habis karena kehidupan yang terlalu nyaman, terlalu normal karena sibuk mengurus anak dan suami. Ternyata tidak. Ternyata standar normal setiap orang berbeda-beda, dan itu amat wajar. Ternyata, saat menjadi dewasa, semakin banyak cerita yang ingin saya sampaikan. Ternyata, bertemu dengan pasangan yang menerima seutuhnya membuat saya semakin percaya diri menjadi diri sendiri. Saya tidak lagi takut “tidak diterima” oleh masyarakat karena cara saya mengekspresikan diri, terutama lewat karya. Suami saya tidak membatasi bagaimana saya mengekspresikan diri dan sepertinya ia sadar dari awal bahwa seni dan musik adalah ruang ekspresi saya. Lucunya, semakin dewasa usia pernikahan kami, kami semakin menemukan jalan nyaman untuk satu sama lain. Menemukan jalan untuk tumbuh bersama sebagai individu dan dalam berkarya.
Dari segala patah hati yang pernah dihadapi sebelum bertemu suami, saya belajar bahwa yang dicari bukan sekadar cinta yang berapi-api, yang kehilangan logika dan akal sehat. Yang saya cari adalah sahabat seumur hidup yang bersedia untuk tumbuh bersama-sama. Seperti layaknya kehidupan akan selalu ada pasang dan surut, tapi komitmen untuk mencintai dan tumbuh bersama adalah dasarnya. Saya percaya semua akan tumbuh jika kami mampu menyediakan ruang yang sehat untuk jiwa dan raga kami bersama. Akhirnya, berdasarkan hal-hal yang dialami tersebut akhirnya menjadi inspirasi saya berkarya. Musik adalah ruang untuk saya bercerita tentang perjalanan dan pelajaran yang telah dilewati dalam hidup. Bermusik dan berkesenian ternyata bukan sekedar ruang cipta buat saya, tapi juga menjadi salah satu medium untuk merawat jiwa saya.
Seperti layaknya kehidupan akan selalu ada pasang dan surut, tapi komitmen untuk mencintai dan tumbuh bersama adalah dasarnya.