Dalam hidup kita tidak bisa hidup sendirian. Selain keluarga, kita juga butuh support system di luar itu yaitu teman. Ibarat secangkir kopi, persahabatan haruslah seimbang. Butuh keseimbangan antara kopi dan air untuk menghasilkan rasa yang enak, dibuat dalam suhu yang pas, dan ditaruh di cup yang sesuai. Memang tidak semua orang bisa berada dalam hidup kita dalam waktu lama. Jadi terkadang tanpa kita sadari seleksi alam berlaku dalam pertemanan juga. Teman yang baik pasti akan stay. Sebaliknya, yang tidak benar-benar teman pasti akan menjauh dengan sendirinya. Ini yang terjadi pada kami berdua.
Jadi terkadang tanpa kita sadari seleksi alam berlaku dalam pertemanan juga. Teman yang baik pasti akan stay. Sebaliknya, yang tidak benar-benar teman pasti akan menjauh dengan sendirinya.
Awalnya memang pertemanan gue (Chicco) dan Rio hanya sekadar pendalaman peran dalam film Filosofi Kopi. Tapi entah bagaimana seperti memang sudah direncanakan oleh semesta ternyata kami berada dalam lingkungan yang sama bahkan sebelum kami bertemu di layar kaca. Ternyata dulu kami pernah tinggal di area yang sama. Bahkan sekolah di SMP dan SMA yang sama. Cuma karena beda kami tiga tahun jadi baru dipertemukan di film itu saja. Dari sana seakan kami pun menarik universe dari dalam film ke luar layar kaca. Menghidupi pertemanan kedua karakter dari cerita fiksi tersebut di dunia nyata. Dari bermain film bersama jadi berbisnis bersama dan menjalin persahabatan yang bisa dibilang layaknya persaudaraan.
Sebenarnya nggak harus juga ada kesamaan untuk nyambung dan bisa berteman. Memang kami juga bisa dekat karena berada dalam lingkungan yang sama dan ada kesukaan tertentu yang sama. Tapi kepribadian kami berbeda dan itu yang bikin kami bisa jadi teman yang baik. Dari perbedaan itu kami malah bisa ngobrol asik. Malah kadang apa yang salah satu dari kami tidak suka bisa jadi suka karena pengaruh yang lainnya. Rio orang yang penuh dengan strategi dan penuh persiapan. Sedangkan gue orang yang spontan. Ini membuat pertemanan kami jadi seimbang, saling mengisi kekurangan. Di bisnis bersama kami, gue berkecimpung di bidang F&B sedangkan Rio di digital dan apparel. Gue suka tanya dia strategi ke depannya, pemikirannya dia bagaimana. Ini karena kami berbeda jadi bisa saling melengkapi.
Terkadang kita berpikir kalau pertemanan pasti ada batasnya. Apalagi pria. Kalau aku (Rio Dewanto) melihat istriku dengan teman-teman wanitanya, mereka bisa membicarakan apapun langsung ketika ada sesuatu yang terjadi. Kadang ada saat aku merasa pria masih punya ego untuk menahan cerita. Tapi kadang aku juga berpikir butuh cerita juga. Jadi dengan sendirinya batasan itu akan tercipta dan dengan sendirinya bisa hilang. Walaupun kami tidak langsung membicarakannya tapi pasti ada waktu tiba-tiba keluar dan membicarakannya. Sampai sekarang pun rasanya semua kami bicarakan. Terutama tentang keluarga karena kami baru jadi bapak jadi banyak diskusi tentang biaya pendidikan, mengasuh anak, sampai mencari yang terbaik untuk keluarga masing-masing.
Aku merasa kejujuran penting sekali untuk punya pertemanan yang baik dan berjangka panjang. Kita tidak bisa menuntut soal waktu dan memprioritaskan orang lain untuk selalu ada kapan saja. Tapi kalau ada kejujuran pertemanan terasa lebih riil, tidak pura-pura. Ini juga yang aku lihat ada di diri Chicco. Dia polos dan tulus, apa adanya sekali. Tidak berpura-pura. Terkadang malah peran dia dalam waktu tertentu bisa lebih dari pada keluarga.
Kita tidak bisa menuntut soal waktu dan memprioritaskan orang lain untuk selalu ada kapan saja. Tapi kalau ada kejujuran pertemanan terasa lebih riil, tidak pura-pura.
Gue pun begitu. Gue percaya banget sama Rio. Masalah apapun gue cerita ke dia karena nggak sehat juga kalau dipendam sendiri. Terkadang ada hal-hal soal pria yang gak bisa gue ceritain ke pasangan. Gue cerita ke dia karena dia pun pria dan pasti bisa lebih mengerti. Dengan memulai pertemanan dengan jadi apa adanya, nggak ada yang ditutupi. Gue tahu elo dari dulu, dan sebaliknya, bisa buat jadi sama-sama nyaman. Memang sih gue juga punya kakak pria yang bisa diajak ngobrol. Tapi dia nggak tinggal di Jakarta. Bisa dibilang lebih sering interaksi sama Rio. Terkadang juga yang membuat gue bisa cerita banyak ke dia karena gue melihat Rio seperti refleksi gue dalam versi yang berbeda. Sehingga ini yang menurut gue bisa jadi alasan kami bisa terus berteman dalam waktu yang cukup panjang.