Berbicara adalah kemampuan manusia sebagai makhluk hidup yang paling mulia di muka bumi. Dapat berbicara menjadikan kita, manusia, berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Istimewa. Tapi terkadang kita tidak mensyukurinya secara penuh namun justru menyalahgunakan kemampuan ini untuk menyerang makhluk hidup lainnya. Itulah mengapa saya percaya bahwa godaan terberat manusia di dunia yang dihadapi setiap hari bahkan setiap jam adalah membicarakan orang lain. Bukan hanya membicarakan mereka pada individu atau kelompok lain tetapi juga pada saat kita memikirkannya sendiri. Dari keinginan membicarakan orang ini seharusnya kita menyadari bahwa terdapat iri di dalamnya.
Dapat berbicara menjadikan manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Tapi terkadang kita tidak mensyukurinya secara penuh namun justru menyalahgunakannya untuk menyerang makhluk hidup lain.
Terlepas itu dosa atau tidak sebenarnya yang perlu kita ingat adalah apakah perkataan itu menyakiti atau merugikan orang lain atau tidak. Bagaimana caranya perkataan yang dikeluarkan tidak merugikan orang lain dan cukup ada di pikiran kita saja tanpa adanya keinginan untuk melakukan sesuatu. Jujur, saya juga manusia biasa yang tak luput dari kekurangan. Pernah adanya saya sering melontarkan komentar-komentar negatif tentang orang lain. Terutama ketika saya lebih muda dari sekarang. Memang, generasi yang lebih muda lah yang seringkali melakukan hal tersebut karena dipercaya memiliki ambisi untuk terlihat lebih baik. Tapi semakin bertambah usia, saya merasa bahwa banyak orang semakin realistis dan berusaha tidak peduli pada apa yang orang lain lakukan sehingga tidak banyak mengomentari.
Pada kasus saya, saya memang tipe yang spontan dan itulah yang sampai saat ini masih harus dikendalikan. Terkadang saya tidak sadar perkataan yang secara spontan dilontarkan dapat menyakiti orang lain. Seringkali saya mengemukakan sesuatu pada saat yang kurang tepat. Tidak melihat situasi dan kondisi, kata beberapa orang terdekat. Komentar tersebut pada dasarnya bisa diucapkan di lain waktu, saat orang tersebut misalnya berada dalam frekuensi pikiran yang tenang. Tapi itulah kekurangan saya, kurang peka terhadap situasi. Kini saya melatih diri saya untuk menahan gejolak dan melihat kondisi saat topik diskusi dikemukakan. Saya akan berpikir berkali-kali untuk melontarkan sesuatu. Apakah pantas, apakah harus saya komentari dan apakah waktunya tepat ikut angkat bicara.
Dari keinginan membicarakan orang ini, seharusnya kita menyadari bahwa terdapat iri di dalamnya.
Ketika di dalam kelompok pertemanan sedang mengemukakan topik yang berhubungan dengan orang lain saya memilih diam. Namun kalau sudah mulai terlewat batas biasanya saya menegur teman yang memulai diskusi secara langsung, tidak di dalam kelompok. Wajar kalau pertemanan yang sudah sangat dekat terkadang tidak lagi memiliki batasan karena merasa tidak akan apa-apa. Hanya saja menurut saya kita tetap harus menjaga bicara pada siapapun meski secara lisan maupun tulisan. Secara tatap muka atau hanya sekadar bertukar komentar di media sosial.
Media sosial pun menjadi ujian terberat kita di masa modern ini. Perasaan iri dapat membangkitkan beragam jenis emosi yang ada dalam diri. Contohnya saja jika kita melihat para influencer yang menunjukkan penggunaan barang-barang mewah atau teman yang pergi traveling ke sana-sini tanpa berpikir panjang. Tayangan-tayangan ini pasti bisa memercik keinginan yang sama. Hanya saja kita harus memiliki rasa bertanggungjawab. Maksudnya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa semua yang terjadi dalam hidup adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Ketika kita mengikuti akun media sosial orang-orang yang dapat memberikan pengaruh negatif tersebut itu adalah tanggung jawab kita untuk terpengaruh dengan mereka atau tidak. Jika memang kita tahu mudah terpengaruh jangan ikuti akun tersebut. Sederhana sekali, kan? Sejatinya, kita harus memilah mana yang kita butuhkan dan inginkan. Ini adalah dasar pemikiran yang melandasi perbuatan kita.
Sejatinya, kita harus memilah mana yang kita butuhkan dan inginkan. Ini adalah dasar pemikiran yang melandasi perbuatan kita.
Terdengar mudah, tentu saja. Tapi saya tidak akan berkata demikian jika orangtua tidak mengajarkan bahwa setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing jadi kita tidak perlu iri meski sebagai manusia pasti ada perasaan tersebut. Hanya saja mereka pun berkata bahwa Sang Pencipta memberikan yang terbaik ketika kita dilahirkan. Saat ada orang yang terlihat lebih dan kita ingin seperti dia baiknya adalah untuk menjadikan itu motivasi untuk bekerja lebih keras menjadi pribadi yang lebih baik. Bukannya mengomentari negatif dan tidak melakukan apa-apa.
Saat ada orang yang terlihat lebih dan kita ingin seperti dia, jadikan itu motivasi untuk bekerja lebih keras menjadi pribadi yang lebih baik.
Begitu pula sebaliknya jika ada seseorang yang mengomentari kita negatif. Ibu saya pernah berkata bahwa setiap orang yang berkata buruk tentang kita adalah ujian yang didatangkan Sang Pencipta untuk kita. Bagaimana cara menghadapinya adalah dengan tidak menjadi seperti dia. Tidak perlu ditanggapi kalau memang tidak benar. Ibu percaya bahwa Yang Maha Kuasa hendak meningkatkan derajat kita dengan melihat apakah kita lulus ujian tersebut saat kita sabar dan ikhlas. Mirip seperti apa yang saya dapat ketika masih berada di pelatihan Puteri Indonesia. Para netizen adalah minions dan saya adalah Puteri. Seorang Puteri tidak perlu membuang banyak tenaga untuk menghadapi minions. Harus mengendalikan diri agar tidak terpancing. Komentar mereka biar menjadi refleksi diri saja. Siapa tahu memang kita harus berkaca apa yang dikatakan ada benarnya atau tidak. Selebihnya tidak perlu terlalu dipikirkan atau dimasukkan ke hati.
Setiap orang yang berkata buruk tentang kita adalah ujian yang didatangkan Sang Pencipta untuk kita.
Mengendalikan diri memang tidak semudah itu dilakukan. Itulah mengapa penting juga kita memiliki support system atau orang-orang yang ingin kita berbuat lebih baik. Orang-orang terdekat inilah yang nantinya juga akan membantu mengingatkan apabila kita mulai kembali pada sifat atau sikap yang kurang baik itu lagi. Bukannya tidak menjadi diri sendiri dan harus berubah karena orang lain ingin melihat kita seperti yang mereka mau. Tetapi menjadi diri sendiri itu berarti memberikan versi terbaik kita. Bukan pencitraan melainkan menyebarkan hal positif yang berasal dari diri sendiri. Kalau bisa mempengaruhi orang lain untuk hal yang positif kenapa tidak, bukan?