Kami merasa pertemuan kami di awal seperti sudah diatur Tuhan. Kalau pasangan lain mungkin usahanya 90% dan kuasa Tuhan 10% kami bisa jadi sebaliknya. Kami bertemu hanya lewat mIRC, sebuah layanan chat online dua puluh tahun lalu di zaman belum ada aplikasi dating seperti sekarang ini. Seperti jodoh, hubungan pacaran kami tidak lama. Sekitar enam bulan saja lalu merasa sudah cocok, saling percaya dan langsung menikah.
Aku sendiri (Nonita Respati) melihat Ari adalah satu sosok yang sangat mengutamakan pendidikan. Menurutku, untuk orang seusianya dulu, dia termasuk orang yang cukup bertanggung jawab dengan pendidikannya. Buatku itu jadi salah satu modal untuk membuatku yakin kami dapat menjalani masa depan yang baik. Selain memang aku memiliki ketertarikan dengan kepribadiannya. Ditambah lagi persetujuan Ibuku yang bisa dibilang sulit memberikan approval pada pacar-pacarku sebelumnya. Malah pada saat bertemu dengan Ari Ibuku bilang, “Kalau memang dia serius langsung menikah saja.” Padahal aku masih muda sekali, umur 22 tahun. Tapi aku cukup percaya bahwa orangtua punya insting yang terbaik untuk anaknya. Jadi aku semakin yakin untuk melangkah maju bersamanya.
Seiring berjalannya waktu sampai sekarang bisa dikatakan kami jarang sekali bertengkar. Walaupun memang beberapa tahun di awal pernikahan kami memiliki beragam masalah. Ketika baru menikah, kami langsung ke Amerika selama tiga tahun. Tidak lama setelah menikah juga langsung punya anak. Di masa itulah kami benar-benar ditempa sebagai pasangan suami istri. Menjalani hubungan pernikahan benar-benar tanpa campur tangan orangtua dan keluarga. Rasanya semua sifat dan sikap jelek sudah keluar di fase tersebut. Ya, namanya menggabungkan dua orang yang berbeda. Latar belakang keluarga yang berbeda dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Pasti ada kesulitan beradaptasi. Tapi ternyata kami cukup cepat mendapatkan solusi dari segala masalah yang dihadapi.
Saya (Ari Respati) merasa Tuhan mempertemukan kami lewat internet bukan tanpa tujuan. Semasa pendekatan saya jadi tidak perlu menampilkan diri dengan membawa mobil apa. Tidak juga Noni pakai berlian berapa karat. Kita sama-sama tidak tahu apakah satu sama lain anak gaul atau tidak. Tidak juga berada di lingkungan yang sama jadi tidak perlu kroscek ke teman dia orangnya seperti apa. Saya rasa inilah yang membuat fondasi kami di awal untuk saling percaya jadi amat kuat.
Saya merasa Tuhan mempertemukan kami lewat internet bukan tanpa tujuan. Semasa pendekatan saya jadi tidak perlu menampilkan diri dengan membawa mobil apa. Tidak juga Noni pakai berlian berapa karat.
Kami tidak pernah merasa tidak yakin pada pilihan yang kami ambil dan jalani. Kami sudah melalui segala macam hal bersama. Ditambah dengan ajaran dari keluarga dan orangtua kami tentang bagaimana memperlakukan pasangan. Sehingga kami mengingat wejangan itu dan mencoba untuk menjaga keharmonisan keluarga. Yang aku ingat (Nonita Respati), paling kasarnya aku saat sedang bertengkar adalah banting pintu. Itu pun hanya sekali sepanjang usia pernikahan. Kami belajar untuk saling mengerti kondisi masing-masing. Misalnya kalau Ari sedang dalam situasi intens berarti aku yang harus lebih kendor. Begitu pula sebaliknya. Jadi tidak ada dalam satu waktu sama-sama ngotot-ngototan. Tapi bukan juga karena kami malas berargumen jadi mau menghindari konflik. Memang sudah menemukan tuning-nya saja. Solusi menyelesaikan masalah memang dengan komunikasi yang baik dan terbuka. Kami seratus persen terbuka satu sama lain. Termasuk membicarakan trauma-trauma di masa kecil karena kita tahu itu bisa jadi salah satu faktor kenapa ketika dewasa kita melakukan satu hal tidak sama dengan orang lain. Kita tidak pernah paham apa yang terjadi dengan seseorang kalau tidak tahu apa yang terjadi dengan masa lalu nya.
Kami tidak pernah merasa tidak yakin pada pilihan yang kami ambil dan jalani. Kami sudah melalui segala macam hal bersama. Ditambah dengan ajaran dari keluarga dan orangtua kami tentang bagaimana memperlakukan pasangan. Sehingga kami mengingat wejangan itu dan mencoba untuk menjaga keharmonisan keluarga.
Kami juga merasa bisa tetap menjalani hubungan baik-baik karena kami bisa mengisinya dengan tepat. Saling mengisi. Jadi kami selalu punya peran masing-masing. Ibarat tim sepakbola, ada penyerang dengan tugasnya menyerang. Ada pemain sayap tugasnya mengumpan bola. Jadi dalam hubungan pernikahan kami juga begitu, punya porsi dan tugas masing-masing. Emosi pasti ada namanya manusia. Cuma karena kami tahu memosisikan diri jadi bisa lebih mudah mengatasi masalah. Dalam perjalanannya benar-benar seperti bermain sepakbola. Ada yang bertahan dan ada yang menyerang. Peran kami ke anak juga begitu tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Ada hal-hal yang memang untuk konsumsi Noni dengan anak-anak saja di mana dia memainkan peran ibu bersama anak-anak. Misalnya soal taksir-taksiran. Biasanya memang Noni yang akan lebih tahu. Saya cuma tinggal tunggu update atau suatu saat saya bertanya duluan ke Noni.
Peran dan tugas masing-masing ini sepertinya juga berasal dari budaya Jawa yang kental dalam keluarga kami. Bersyukur sekali ternyata secara tidak sadar kami menghidupi nilai-nilai kejawaan. Di dalamnya pun terdapat ilmu rumah tangga yang dalam. Apalagi Noni yang sedari kecil sudah sangat mengikuti adat istiadat orang Keraton. Sikap dan cakapnya dari dulu sudah teratur. Sehingga kini kami tanpa disengaja mempraktikan "kejawaan" itu. Saya sebagai pria memegang peranan kepala rumah tangga. Setiap tahun juga kami tetap mengadakan sungkeman ketika Lebaran di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur seperti permohonan maaf, menghilangkan kegengsian, dan mengakui kesalahan.
Saya sebagai pria memegang peranan kepala rumah tangga. Setiap tahun juga kami tetap mengadakan sungkeman ketika Lebaran di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur seperti permohonan maaf, menghilangkan kegengsian, dan mengakui kesalahan.
Waktu awal-awal pernikahan Noni memang seutuhnya ibu rumah tangga. Malah saya yang mendorong Noni untuk aktif bekerja. Dulu ada sifat "kejawaan" Noni untuk mengabdi pada suami. Sehingga dia pun tidak keberatan untuk mengurus rumah tangga. Tapi dari awal menikah saya sudah melihat Noni sangat bertalenta. Salah satu kemampuannya adalah menulis dan itu yang saya kagumi dari dia. Sampai sekarang anak-anak yang sedang tinggal jauh dari rumah masih dikirimi surat dengan tulisan tangga setiap bulan. Sayang sekali kalau punya istri yang bertalenta tapi tidak mendorongnya berkarya. Saya berpikir dulu dunia dua puluh tahun lagi pasti berubah. Tidak bisa wanita hanya mengurus rumah tangga saja. Dan prediksi saya benar. Saya pun tidak masalah melihatnya bertransformasi sampai jadi seperti sekarang. Sebesar apapun nama Nonita di luar sebagai desainer, ketika kembali ke rumah dia kembali menjadi seorang istri dan ibu yang tidak orang lain kenal. Tapi mungkin bukan lagi ibu-ibu Jawa yang suami pulang sudah menyiapkan makanan di meja. Cuma tetap tahu perannya sebagai ibu dan istri. Tetap mengurus, memerhatikan suami dan anak-anak. Contohnya saja meski anak jauh dari rumah, setiap pagi dia video call sama anak laki-laki kami. Menanyakan sudah makan atau belum. Padahal anak saya juga sudah besar. Tapi itulah dia dengan perannya sebagai ibu.
Sebesar apapun nama Nonita di luar sebagai desainer, ketika kembali ke rumah dia kembali menjadi seorang istri dan ibu yang tidak orang lain kenal.
Sepertinya keliru kalau ada yang bilang dalam pernikahan pasangan tidak lagi perlu menyesuaikan. Setiap tahun, semakin bertambah umur, punya pengalaman yang berbeda-beda people are always evolving. Begitu juga pasangan. Kita harus selalu bisa beradaptasi. Kita juga harus siap untuk menghadapi pasangan yang kita sudah kenal luar dalam pun bisa berubah seiring berjalannya waktu. Konflik rumah tangga bisa hadir karena mungkin masing-masing individu tidak memahami kapasitasnya. Analoginya seperti dalam sebuah perusahaan. Seorang admin dan marketing sudah tahu apa pekerjaannya masing-masing. Kalau admin campur tangan juga di bidang marketing atau sebaliknya sudah pasti akan ada konflik. Sehingga seharusnya tidak ada yang lebih dominan dari yang lain. Setiap orang sudah ada peran dan tugasnya masing-masing, jangan malah ingin melampauinya.
Setiap tahun, semakin bertambah umur, punya pengalaman yang berbeda-beda people are always evolving. Begitu juga pasangan. Kita harus selalu bisa beradaptasi.