Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat dinobatkan sebagai orangtua sempurna. Karena memang tidak ada yang sempurna, bukan? Pada akhirnya semua orangtua itu sebenarnya baik. Meski orangtua tunggal sekalipun. Semuanya pasti mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan cara masing-masing. Kita tidak bisa bilang seseorang sudah memenuhi peran sebagai orangtua atau belum. Apa yang terbentuk pada seseorang baik itu kasih sayang yang dimiliki pun pendidikan, sudah menjadi usaha maksimal orangtuanya. Sulit memang memiliki label orangtua. Satu dan lain hal karena belum terbiasa. Namun kita tidak menyadari bahwa kita belum terbiasa.
Pada awal saya menjadi orangtua tunggal setahun setelah anak saya lahir dan memutuskan untuk kembali ke rumah Ibu, semua terasa seperti sedang melakukan riset dan pengembangan, trial and error. Kadang solusi yang diterapkan pada satu masalah anak berhasil dalam beberapa lama saja. Kadang seminggu, sebulan, kadang hanya beberapa hari saja. Tapi solusi itu terus bersifat dinamis. Terus berubah. Strategi saya untuk tetap dapat menanggulangi masalah yang sama pun terus berganti. Contohnya ketika anak saya sedang mengeluhkan satu masalah yang sama saya harus memiliki berbagai macam cara untuk membuatnya merasa lebih baik dalam kurun waktu yang tidak bisa diukur. Tidak bisa hanya satu solusi saja.
Terutama ketika anak saya masih berada di umur 1-3 tahun. Dia belum bisa diajak komunikasi layaknya manusia utuh. Belum bisa diterapkan metode “alasan”. Kita belum bisa benar-benar tahu apa yang diinginkan. Tapi ya memang itulah tugas saya sebagai orangtua. Harus bisa mencari solusi untuk anak-anaknya meski kadang sifat manusia saya muncul: tidak sabar. Hanya saya tahu kapan harus meluapkannya dan bagaimana cara terbaik meluapkannya. Tidak semerta-merta menjadikan anak korban akan ketidak-sabaran saya. Berjalannya waktu pun akhirnya anak semakin besar dan semakin mudah diajak ngobrol. Dari situlah mulai metode komunikasi terbuka saya tanamkan pada anak. Komunikasi yang seimbang dan “adil”. Dalam arti saya memberitahukan dengan jujur alasan sebuah permasalahan itu terjadi. Tidak membohongi atau menutupi. Seperti bagaimana saya menjelaskan mengapa saya dan ayahnya tidak lagi bersama dan menjelaskan sekarang kami tinggal satu rumah berdua saja.
Itulah tugas sebagai orangtua: harus bisa mencari solusi untuk anak-anaknya.
Tidak jarang terdapat momen dia sangat ingin bertemu ayahnya tapi kondisinya tidak memungkinan. Itulah peran saya sebagai orangtua tunggal bermain. Saya paham betul di umurnya yang masih tiga tahun pasti sulit menerima penjelasan mengapa tidak bisa bertemu ayahnya. Oleh sebab itu, saya menyederhanakan alasannya sehingga dia dapat memprosesnya dengan mudah. Tetapi semakin umurnya bertambah, saya memberikan alasan yang lebih lengkap, sesuai dengan proses pemikirannya yang semakin terbentuk. Setiap hari, setiap tahun saya memberikan kalimat yang lebih kompleks. Dari kalimat yang pendek terus ditambah sehingga membentuk sebuah kalimat panjang dan kemudian sebuah paragraf seiring bertambah usianya.
Komunikasi efektif yang mengedepankan kemauan untuk bisa saling mendengar dengan baik. Itulah kunci saya menjalin hubungan harmonis dengan anak. Saya merasa betapa pentingnya komunikasi efektif tersebut sehingga tidak hanya saya yang memberitahu tapi dia juga bisa mengungkapkan apa yang dipikirkan. Terutama soal perasaannya terhadap perpisahan kedua orangtuanya, terhadap ayahnya yang tidak tinggal bersama. Saya memberikan ruang di mana dia bisa bercerita pada saya tanpa rasa takut kemudian mencari solusi bersama-sama. Tapi saya pun akan menjelaskan dengan hati-hati apabila terdapat persoalan di luar kemampuan saya sebagai ibu. Contohnya ketika ayahnya tidak bisa datang menemuinya saya biasanya bilang: “Orang dewasa punya banyak masalah yang harus dipikirkan, dan cara memprosesnya pun berbeda. Mungkin ada hal yang belum ayah selesai lakukan sehingga belum bisa bertemu kita.”
Komunikasi efektif yang mengedepankan kemauan untuk bisa saling mendengar dengan baik adalah kunci menjalin hubungan harmonis dengan anak.
Perpisahan orangtua memang mudah menjadi gunjingan di masyarakat. Ini juga yang menjadi alasan mengapa saya harus memupuk mental anak dengan baik. Dengan hal yang positif. Saya tidak mau anak saya merasa kurang menjadi manusia karena keluarga yang timpang hanya karena tidak memiliki sosok ayah di rumah. Tapi memang kami harus seperti ini sehingga saya pun harus pintar-pintar memberikan pesan padanya bahwa inilah kondisi kami saat ini dan memang harus kami jalani. Tidak ada yang salah, tidak ada yang perlu dipersalahkan. Besar harapan saya dengan cara ini dia tidak memiliki gambaran buruk tentang ayahnya, keluarganya yang “berbeda” dengan keluarga lainnya.
Pernah suatu kali di sekolah dia ditanya tentang siapa yang membantunya belajar di rumah. Kemudian dia menjawab neneknya – karena saya sedang bekerja kala itu. Temannya pun kemudian menyerukan bahwa dia tidak punya ayah. Tapi betapa saya bersyukur ketika dia dapat membela dirinya sendiri, menjawab “Saya punya ayah kok hanya tidak tinggal bersama-sama.” Secara tidak langsung mungkin inilah hasil komunikasi dua arah yang saya pupuk padanya sejak kecil sehingga dia tidak merasa minder, merasa kurang atau bahkan cemburu pada teman-teman yang memiliki orangtua lengkap. Semoga saja inilah tanda bahwa dia menerima keluarganya apa adanya dan tidak menilai keluarga dengan orangtua tunggal seperti ini adalah hal yang buruk.
Berat memang ketika saya harus berupaya memberikan peran sebagai ayah padanya karena pasti tetap ada yang kurang. Tapi saya tidak kehabisan akal untuk memberikan usaha-usaha tersebut. Jika memang diperlukan saya pun menunjukkan sisi maskulin seperti mengajak bermain bola bersama saya. Tidak lupa juga untuk saya menanamkan padanya kecintaan terhadap Allah SWT dan rasul-rasul-Nya juga memperkenalkan para sahabat rasul yang dapat menjadi teladan. Pun saya selalu mengupayakan hubungan yang sejajar antara saya dengan anak. Saya tidak melihat anak sebagai sosok yang bisa saya perintah dan bentuk sesuka hati melainkan sebagai manusia kecil yang siap berkembang dengan tuntutan yang baik semampu yang saya bisa berikan. Besar harapan saya dengan demikian dia juga melihat saya sebagai manusia. Bukan sosok sempurna yang selalu dielukan