Hidup ini soal menjalani konsekuensi atas pilihan. Belajar dari mereka, memperbaikinya, dan menjadi bahagia. Kalau saja aku tahu benar atau salah sebelum memutuskan sesuatu, besar kemungkinan jalan hidupku akan beda. Begitu juga jika aku ndak memutuskan untuk menjadi orangtua untuk anak gadisku. Bukanlah perkara mudah tapi keputusan tersebut berasal dari keyakinanku akan seorang anak yang akan memberikan perubahan dalam hidup. Dan ternyata, kehadirannya lebih dari yang kubayangkan. Dia adalah kebahagiaan dan pelajaran yang tak berujung.
Hidup ini soal menjalani konsekuensi atas pilihan. Belajar dari mereka, memperbaikinya, dan menjadi bahagia.
Pelajaran yang paling berharga saat aku menjadi orangtua (jika dapat disingkat dengan satu kata) adalah bahwa menjadi orangtua rupanya bukan sekadar kemampuan dan kemauan, apalagi kecelakaan. Banyak sekali tantangan untuk dapat membesarkan anak. Apalagi dalam kondisiku menjadi orangtua tunggal. Ada dua hal yang aku rasa paling sulit: waktu dan tekanan stigma. Bukan cuma aku. Kebanyakan orang tua yang bekerja di Jakarta juga punya masalah serupa. Kita ndak tahu kapan si anak membutuhkan orangtuanya. Saat kita tahu, ndak ada waktu. Soal stigma, salah satunya ya yang sedang kita bicarakan ini. Kata tunggal yang mengikuti orangtua tiba-tiba jadi beda dengan orangtua biasanya. Di beberapa buku pelajaran bahkan disebut "keluarga sempurna" dan "ndak sempurna." Yang sebetulnya ndak ada urusannya sama "bahagia" dan "kurang bahagia."
Di beberapa buku pelajaran bahkan disebut 'keluarga sempurna' dan 'ndak sempurna.' Yang sebetulnya ndak ada urusannya sama 'bahagia' dan 'kurang bahagia.'
Aku tahu kadang mungkin orang bertanya-tanya bagaimana cara aku membesarkan anak sebagai seorang pria. Peran biologis seperti melahirkan dan menyusui pastinya ndak bisa aku lakukan. Tapi aku percaya bahwa aku berfungsi seperti orangtua lainnya. Mengasuh, memberi pelajaran dan kasih sayang. Terlepas dari keharusan memperlihatkan sosok ibu yang, toh sama juga fungsinya. Menurutku jenis kelamin ndak pernah menentukan arah pendidikan dan pengasuhan. Kasih sayang yang paling berperan. Kami pun tumbuh ndak sendirian. Ada keluarga, kawan, dan tetangga dengan karakter dan peran masing-masing. Sepertinya selama ini kubiarkan alam dan lingkungan yang memperkenalkan sisi kewanitaan yang ndak bisa aku berikan pada anak.
Faktanya mendidik dan membesarkan anak itu ndak perlu strategi. Menjadi orang tua tunggal bukan kondisi yang mesti diwaspadai. Berkasih sayang, jujur, jadi diri sendiri adalah cara paling ampuh. Aku selalu mengenalkan diriku sejauh mungkin pada anak. Mau ndak mau, jati diri orangtua juga jati diri anak-anaknya. Kita bisa aja menduga-duga anak kecil ndak akan paham. Tapi percayalah, mereka paham. Kalaupun tidak, hanya soal waktu. Dan alangkah ngerinya kalau anak menemukan jati diri orang tuanya dari orang lain. Semua orang bisa berkata apa saja dan kita ndak bisa mencegah anak untuk mendengar perkataan-perkataan dari luar. Anak kita hidup dalam stigma yang terbangun sejak lama. Susah berubah kalau bukan dari pikiran masing-masing. Jadi, lebih efektif membekali anak ketimbang menghadapi pikiran orang lain, kan? Beri pengertian pada anak. Lagi dan lagi, sampai ia tahu bagaimana menyikapinya.
Faktanya mendidik dan membesarkan anak itu ndak perlu strategi. Berkasih sayang, jujur, dan jadi diri sendiri adalah cara paling ampuh.
Salah satu pelajaran penting yang aku ajarkan pada anak adalah soal memutuskan sesuatu. Setiap saat di banyak hal aku berusaha menuntun dia dalam memilih. Pakaian, makanan, belanja bulanan, sekolah, agama. Pilihan-pilihan akan berkembang dan makin pelik seiring waktu. Biar dia ambil pelajaran dari apa yang dia putuskan. Meskipun begitu pertanyaan soal agama dan keTuhanan adalah yang tersulit untuk dijawab. Nalar anak sederhana, sementara dua hal tadi seringnya bertentangan dengan nalar.
Aku pun terus belajar menjadi orangtua di mana sedikit banyak aku belajar dari orangtua sendiri. Secara alami, banyak hal yang ditularkan orangtuaku. Terutama masalah teknis, dari bagaimana menghadapi anak demam sampai membuatnya mau belajar. Tapi, banyak juga improvisasi yang menyesuaikan keadaan sebab sepanjang berjalannya menjadi orangtua seringkali terjadi hal-hal di luar ekspektasi. Contohnya saja ketika anakku disuruh menggambar pohon keluarga. Awalnya ada kekhawatiran bahwa dia akan kebingungan menjelaskan kondisi keluarganya. Tapi ternyata justru tidak demikian. Dia justru bangga dengan apa yang dimiliki. Aku pun jadi paham. Orangtua pada akhirnya ndak mesti sedarah-seketurunan. Status ini lebih istimewa dari sekedar punya trah DNA. Orangtua adalah dedikasi seumur hidup pada manusia dan kemanusiaan.
Orangtua adalah dedikasi seumur hidup pada manusia dan kemanusiaan.