Semua orang sebenarnya bisa menjadi perantau. Asal mereka siap mental untuk menghadapi masalah di luar 'rumah'. Merantau itu seperti kembali belajar naik sepeda, menjaga keseimbangan suka dan duka untuk maju ke masa depan yang diharapkan lebih baik dari hari ini. Tanpa mental itu, siapa pun tidak siap merantau. Keputusan kami sekeluarga untuk keluar dari Indonesia sebenarnya demi masa depan anak-anak. Kami berdua ingin anak-anak melihat dunia, punya pengalaman berwarna-warni bersentuhan dengan lingkungan pergaulan budaya lain dan belajar toleransi menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Kami ingin anak-anak bisa jadi warga dunia yang sudah terbiasa dengan pergaulan internasional yang sangat beragam. Caranya memang harus keluar dari Indonesia.
Merantau itu seperti kembali belajar naik sepeda, menjaga keseimbangan suka dan duka untuk maju ke masa depan yang diharapkan lebih baik dari hari ini.
“Tapi bagaimana? Traveling tidak mungkin. Kami bukan berasal dari keluarga berada yang mampu jalan-jalan liburan ke luar negeri,” pikir kami dulu. Pilihannya adalah mencari kemungkinan bekerja di luar negeri dan menetap di negara yang dituju. Kebetulan saat itu di tahun 2007 datang kesempatan itu. Ada tawaran kerja di stasiun TV Kuwait, di negara yang menurut orang-orang tidak keren dan selalu menuai pertanyaan, “Negara apa itu?” Buat kami ini kesempatan – yang tidak akan datang dua kali. Bukan soal keren atau tidak keren tinggal di negara antah berantah. Kami melihat ini sebagai batu loncatan. Berangkat dengan Bismillah dan for the sake of life experiences, berangkatlah kami demi masa depan anak-anak. Harapannya supaya suatu saat nanti punya cerita berwarna yang bisa kami bagi.
Di awal-awal merantau, tantangan terbesar adalah soal makanan. Masakan Indonesia yang dulu jadi keseharian. Masakan yang membuat perut kenyang dan hati nyaman. Saat merantau harus siap dengan kondisi susah mencari makanan dari kampung halaman. Apalagi masakan Timur Tengah punya cita rasa yang sangat kuat yang tidak akrab di lidah kami. Tapi kemudian ingat lagi, kan waktu itu minta ingin merantau – ingin melihat dunia. Jadi kami mencoba beradaptasi dengan apa yang ada di sana. Jangan menutup diri. Jangan menganggap remeh. Harus fleksibel. Dari situ tersadar untuk jadi mencoba banyak hal termasuk makanan lokal. Yang lama-lama akhirnya menikmati juga. Lidah juga jadi terbiasa berpetualang rasa. Sampai akhirnya soal makanan tidak jadi sesuatu yang bikin rindu kampung halaman lagi. Sampai akhirnya kami terbiasa makan sehari-hari tidak harus masakan Indonesia lagi. Kemudian kami juga jadi sadar masakan Indonesia punya kemiripan dengan masakan dari negara-negara tertentu. Keberagaman kuliner ini akhirnya jadi gerbang utama untuk belajar beradaptasi.
Memahami perbedaan budaya dan kebiasaan masyarakat lokal juga bukan perkara mudah. Seperti yang sudah kami yakini bahwa merantau itu soal keluar dari zona nyaman, sudah harus siap dengan segala resiko dan konsekuensinya. Harus siap belajar adaptasi dan toleransi dengan kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan yang kami miliki. Kuncinya tentu saja kita harus membuka diri untuk bisa memahami kebiasaan dan budaya orang lain. Belajar, mengamati, menyerap yang baik dan meninggalkan yang gak cocok. Kami harus belajar mencari dan fleksibel untuk bisa bertahan hidup. Tidak bisa menganggap bahwa budaya kita lebih superior. Tidak bisa kaku dan keras layaknya batu. Asing atau lokal, budaya itu berevolusi terus, saling mengisi, saling menginspirasi. Tinggal kitanya mau jadi penikmat budaya itu atau ikut produktif berkontribusi. Seperti saat itu tinggal di Kuwait di mana negaranya minim dorongan kreatif. Jarang toko buku, tidak ada toko art and craft, hampir tidak ada kegiatan kreatif. Sebagai orang yang biasa hidup dalam lingkungan kental dengan seni dan kreativitas, ini bukan sesuatu yang mudah buat kami. Apakah kami akan mati dalam kebosanan? Apa yang harus kami lakukan dalam kondisi serba terbatas ini? Bagaimana bisa bertahan?
Merantau itu soal keluar dari zona nyaman, sudah harus siap dengan segala resiko dan konsekuensinya.
Kuncinya ya tidak bisa hanya diam saja dan mengeluh bosan. Harus bergerak, do something, create and make something. Dari sinilah lahir semangat eksplorasi, eksperimen dan Do It Yourself. Kami jadi banyak belajar bahwa di setiap hambatan yang kami hadapi selalu ada pintu-pintu kesempatan yang bisa membawa kami ke keadaan yang lebih baik. Kami juga jadi belajar mengenal diri kami sendiri sebagai manusia. Apa potensi diri kami? Apa yang bisa dilakukan diri kami? Cukup terkejut juga karena akhirnya menemukan kenyataan, “Oh, ternyata gue bisa ini!” “Oh, ternyata saya bisa itu!” Tantangan membuat kami belajar mendorong batasan-batasan diri dan saat kami melakukan sebaik-baiknya selalu ada bonus hadiahnya. Memang tidak datang saat itu juga, tapi bonus itu selalu datang di saat tak terduga. Asal diniatkan dan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Kenapa kami bilang bonus? Karena memang tidak jadi tujuan. Tidak mau melakukan sesuatu hanya karena ada “hadiah”-nya. Nanti yang dihasilkan malah tidak keluar dari hati, tidak menikmati prosesnya.
Dulu, saat dari jauh kami memandang New York itu bonafit, gemerlap, pusat peradaban dunia, jadi impian banyak orang. Namun setelah kami berada di sana kami menyadari New York sama seperti kota lain. Seperti Jakarta. Kami jadi memandang bahwa kota sekelas New York pun menampung manusia seperti apa adanya manusia lainnya. Kemiskinan, kriminalitas, fasilitas publik yang tidak terawat juga tampak di depan mata. Pengalaman unik ini membuat kami belajar jadi lebih sederhana. Artinya, tidak merasa perlu diistimewakan atau dianggap warga New York yang hidup gemerlap, glamor dan flamboyan. Kami tetap menjadi keluarga biasa, santai menjalankan hidup, blusukan ke pasar loak, berburu makanan murah di pasar, keluyuran dengan transportasi publik. Tidak ambisius jadi warga kelas atas dengan apartemen mewah di Upper West Side, Manhattan. Yang istimewa di kota ini, kami bisa menjadi diri kami sendiri dengan potensi diri yang kami miliki. Dihargai, diperkenankan untuk berkembang, difasilitasi untuk maju dan berkontribusi pada komunitas. Ide-ide kreatif sangat diapresiasi di sini, terbuka dengan berbagai passion dan kemampuan. Selama bisa memberi kontribusi, New York welcomes everyone. Tidak melihat bahasa, suku bangsa (agama apalagi). Di kota ini, dengan modal gagasan dan mimpi, siapa pun bisa menjangkau langit.
Tantangan lain adalah soal keluarga. Kangen keluarga. Melewatkan hari-hari penting bersama orangtua dan keluarga di Indonesia. Tahun demi tahun berlalu dan meninggalkan orang tua yang semakin tua. Saat paling berat adalah justru saat pulang liburan dari Indonesia dan meninggalkan orang tua yang semakin tua dan bahkan dalam kondisi yang sudah tidak sehat lagi. Bahkan harus kehilangan salah satu orangtua dalam kondisi jauh dari tanah air. Tapi kami pergi juga membawa cita-cita orangtua kami. Cita-cita mereka supaya kami bisa melihat dan menaklukkan dunia. Di satu sisi teknologi komunikasi juga terus berkembang, ini membantu komunikasi kami dengan keluarga di kampung halaman jadi lebih mudah.
Buat kami tantangan itu akan ada terus. Justru dari situ kita belajar banyak hal. Satu demi satu tantangan itu harus dijalani dan ditaklukkan, bukan dihindari dan melarikan diri. Modalnya memang harus mau membuka diri, membuka mata dan hati, ikhlas dan juga berpasrah diri. Belajar kreatif menyiasati masalah. Belajar soal toleransi. Jadi paham bahwa usaha gak pernah mengkhianati hasil.
Tantangan membuat kami belajar mendorong batasan-batasan diri dan saat kami melakukan sebaik-baiknya selalu ada bonus hadiahnya.