Setiap orangtua memilki caranya tersendiri dalam mendidik anak. Tentu sulit untuk mengatakan apakah cara yang dilakukan merupakan cara yang benar untuk anak mereka karena ukuran ketepatan itu sendiri bersifat relatif dan selalu berkembang sejalannya waktu. Namun, satu persamaan di antara semua orangtua adalah, tentu mereka menginginkan yang terbaik untuk anak mereka.
Sebagai orangtua, tentu kita secara langsung baik disadari atau tidak, akan menurunkan nilai-nilai kehidupan yang kita pegang pada anak kita untuk mereka ikuti dan lanjutkan legasinya. Seiring berkembangnya zaman, sudah pasti nilai-nilai ini akan selalu mengalami penyesuaian, dan tentunya, gaya orangtua mendidik anaknya pun akan berubah. Contohnya di zaman dahulu, mungkin banyak orangtua yang menakut-takuti anaknya dengan hal berbau superstitious untuk menerapkan sebuah aturan, seperti berkata hati-hati ada hantu bila main lewat magrib, atau sejenisnya. Tentu saja saya tidak melakukan ini pada anak saya. Contoh lain misalnya orangtua mencari ‘kambing hitam’ atas kesalahan yang mungkin dilakukan anak, seperti ketika anak jatuh, yang disalahkan adalah batu di dekatnya. Saya pun tidak mengajarkan ini pada anak saya, Tristan. Saya selalu katakan padanya, bila ia jatuh, ia harus berusaha untuk dapat bangkit sendiri.
Latar belakang saya adalah seorang pendidik. Meski demikian, sebenarnya mengajari anak orang lain lebih mudah dari mengajari anak sendiri, karena tentu naluri orangtua adalah menyayangi anaknya, alih-alih bersikap keras padanya. Namun, anak harus dilatih disiplin sejak kecil. Tidak ada kompromi untuk ini karena bila sudah lewat dari usia lima tahun anak masih tidak dibiasakan untuk disiplin, ia bisa saja akan sulit untuk tangguh ke depannya. Saya pribadi pun kadangkala harus menelan pahitnya perasaan di hati bila harus bersikap keras pada anak. Namun, ini semua saya lakukan demi kebaikannya. Kehidupan di luar sana keras. Oleh karenanya, saya ingin anak saya saat ia tumbuh dewasa, ia mampu bertahan dan membangun hidupnya sendiri. Mungkin saat ini anak saya bisa saja belum paham mengenai maksud dari gaya pengasuhan yang saya terapkan, tapi suatu saat nanti, ia akan paham.
Kehidupan di luar sana keras. Oleh karenanya, saya ingin anak saya saat ia tumbuh dewasa, ia mampu bertahan dan membangun hidupnya sendiri.
Dahulu, saat saya kecil, orangtua saya mendidik saya dengan gaya pengasuhan yang cukup keras, namun terbuka juga. Zaman dahulu gaya pengasuhan orangtua memang identik dengan kata ‘strict’. Bila mereka sudah berkata ‘A’, ya ‘A’ yang harus dipatuhi oleh anak mereka. Namun, untungnya orangtua saya tidak sepenuhnya demikian. Mereka masih terbuka dengan mendengar pendapat dari putri-putrinya, dan mau meminta maaf bila rupanya mereka melakukan kesalahan. Mereka memberi saya kebebasan, sekaligus juga menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri. Contohnya, saat saya masuk ke dunia modeling, orangtua saya mengizinkan, dengan catatan, kegiatan ini tidak boleh membuat saya keteteran dengan pelajaran dan tugas sekolah. Atau saat saya suatu waktu tidak naik kelas, orangtua saya tidak mau ikut campur membela seperti umumnya orangtua yang berusaha melindungi anak mereka. Orangtua saya justru meminta saya harus menghadapi sendiri persoalan yang saya hadapi. Saya pun akhirnya harus mengulang kembali satu tahun di kelas tersebut.
Saya akui, mungkin ada kalanya gaya pengasuhan mereka terasa agak ‘tidak enak’, namun, yang mereka lakukan adalah semata-mata agar putri-putrinya dapat tangguh menghadapi kehidupan. Saya bersaudara perempuan semua, dengan saya sebagai anak kelima. Orangtua kami ingin anak-anaknya dapat hidup mandiri, sehingga nantinya tidak tergantung dengan suami mereka untuk hidup.
Pada suatu waktu, pernah rumah yang saya tempati mengalami kebakaran besar. Orangtua saya memiliki pabrik roti di rumah. Kejadian ini membuat saya merasakan perubahan drastis dalam satu hari, dari yang memiliki apa-apa, menjadi tidak memiliki apapun. Saya ingat saat itu saya bertanya pada orangtua saya apakah saya masih bisa sekolah. Jawaban mereka adalah, tentu masih bisa. Di sini orangtua saya menanamkan pada diri saya, bahwa itulah pentingnya memiliki tabungan dan asuransi, sehingga bila suatu hari terjadi hal yang tidak diinginkan, kita masih memiliki uang untuk bertahan . Mereka juga mengajari saya untuk ikhlas melepaskan apa yang sudah lalu, serta rasa syukur karena masih diberi berkat untuk tetap mampu bertahan.
Pelajaran-pelajaran yang saya peroleh dari orangtua saya inilah yang kini, saat saya dewasa, saya ajarkan pada anak saya. Saya tanamkan nilai-nilai yang saya anggap relevan dan anak saya harus ikuti. Dari segi penanaman rasa disiplin, saya memang mengambil gaya pendidikan ‘zaman dahulu’ yang cukup keras. Namun, tentu saya tidak akan misalnya memukul anak saya dengan rotan seperti yang beberapa orangtua di masa lalu lakukan. Tristan, anak saya harus memiliki rasa disiplin, takut pada Tuhan, memiliki iman yang kuat, serta tahu mana yang baik, benar, dan sopan. Selain itu juga, saya tanamkan pentingnya memiliki pengetahuan finansial, karena tidak ada yang bisa menebak apa saja kejadian yang akan terjadi di masa depan. Belajar dari pengalaman kebakaran yang saya alami saat kecil, bila terjadi apa-apa, dengan memiliki tabungan, kita masih akan memiliki uang untuk hidup. Contohnya di saat pandemi yang tiba-tiba terjadi di tahun 2020 ini. Saya yang baru pindah ke Hong Kong di awal tahun pun harus merasakan lockdown sehingga otomatis, segala kebutuhan keuangan sangat bergantung pada tabungan dan aplikasi perbankan yang dimiliki. Apalagi bank saya ada di Jakarta, bukan di Hong Kong. Saat stuck di rumah ini, beruntung saya menggunakan PermataMobile X dari PermataBank sehingga segala urusan pembayaran listrik, sekolah anak, hingga transfer apapun bisa dilakukan di rumah saja.
Sebagai orangtua, wajar bila kita memiliki banyak kecemasan terkait masa depan anak. Saya percaya akan kekuatan doa orangtua ke anak. Untuk anak saya, Tristan, saya tidak berharap jalan yang ia hadapi harus selalu smooth. Tapi, saya berdoa bila ia jatuh, ia selalu tahu bagaimana harus bangun. Lalu bila ia bertemu masalah, saya berharap ia dapat menyelesaikan masalah itu. Di dunia ini terdapat banyak sekali permasalahan. Bila kita tidak pernah jatuh, kita tidak akan tahu bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Di dunia ini terdapat banyak sekali permasalahan. Bila kita tidak pernah jatuh, kita tidak akan tahu bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Saya bisa menjadi seperti saat ini, karena keluarga saya. Mereka masih membentuk saya hingga saat ini, mungkin hingga saya tiada nanti. Orangtua saya masih memberi saya kritik, bila ada suatu hal yang kurang tepat saya lakukan. Oleh sebabnya bagi saya, keluarga adalah prioritas. Orangtua saya telah membentuk saya hingga saya menjadi seperti sekarang, dan karenanya, saya ingin membahagiakan mereka. Seperti di PermataBank, di mana setiap nasabah PermataBank Priority bisa mendapatkan fasilitas premium. Saya ingin mereka bisa merasakan itu. My parents are my priority, I want to give the best to them. Sejalan dengan ini, nilai-nilai yang saya turunkan dari orangtua saya ke anak saya, kelak ia dewasa menyadari bahwa keluarga akan selalu ada untuknya, dan ia menjadi seperti ini di masa depan karena peran orangtuanya. Karena, keluarga adalah yang utama.