Sebagai pria, kami seringkali diberikan momok untuk menjadi makhluk yang kuat. Sedari kecil pasti diberitahu untuk tidak mudah menangis. Kalau menangis akan dibilang bukan pria sejati. Padahal sebenarnya menjadi seorang pria yang sensitif, menunjukkan emosi tidak pernah mengurangi maskulinitas. Sayangnya, karena kebiasaan itu banyak pria enggan untuk memperlihatkan sisi emosionalnya. Bahkan tidak jarang sulit untuk menyatakan perasaan yang sedang dialami. Pria seakan harus memendam perasaan agar tidak dibilang lemah. Akhirnya ketika harus dihadapkan pada situasi yang mengharuskan berkata maaf atau mengatakan sayang, banyak pria tutup mulut dan terdiam. Bahkan tidak jarang, para pria harus berpura-pura kuat, menahan tangis. Sekalipun sebenarnya di dalam hatinya ia sedang menangis.
Kebiasaan-kebiasaan itu pun yang membuat banyak pria sulit untuk terbuka. Baik ke pasangannya atau ke teman sesama pria. Ada keraguan untuk menunjukkan sisi lemah diri karena tidak takut lawan bicara tidak tahu benar keadaannya seperti apa. Apalagi ketika membicarakan soal hubungan. Masih banyak pria menganggap membicarakan hubungan tidaklah penting. Hubungan dianggap sebuah topik yang remeh-temeh. Hingga akhirnya sebagian pria merendahkan pria lainnya yang membicarakan soal hubungan dan perasaan. Kalau dipikir-pikir, ini jadi ironis. Di dunia musik sendiri, lagu cinta sangatlah merajai. Bisa dibilang lagu-lagu romantis tentang perasaan jauh lebih diminati. Tapi kenapa di kehidupan nyata kita masih merasa obrolan hubungan itu tidak lumrah untuk dijadikan topik sehari-hari?
Ada baiknya, kita jangan lagi menganggap remeh seseorang yang datang dengan topik yang berhubungan dengan perasaan. Terlalu banyak variabel dalam diri manusia yang tidak bisa kita samakan dengan diri sendiri. Kita harus mulai membiasakan diri terbuka atas topik-topik sensitif yang melibatkan perasaan sebab siapa tahu orang yang datang kepada kita sangat butuh didengarkan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya salah satu hal yang membuat kita takut untuk menyatakan perasaan yang dialami adalah ketidakpastian dari lawan bicara. Adanya kemungkinan akan hasil yang tidak diinginkan seolah menjadi teror sehingga membuat kita memilih untuk menahan perasaan saja. Padahal belum tentu apa yang ditakutkan terbukti.
Ada baiknya, kita jangan lagi menganggap remeh seseorang yang datang dengan topik yang berhubungan dengan perasaan.
Dalam lagu baru kami, “Katakan”, kami ingin mengajak para pendengar untuk lebih berani menyatakan perasaan. Apapun itu, tidak terbatas perasaan cinta saja. Misalnya perasaan bersalah terhadap orang tua. Seringkali kita enggan untuk berkata maaf para mereka. Padahal mengakui kesalahan dan penyesalan tidak pernah ada salahnya. Apalagi kalau itu dengan tujuan untuk memperbaiki relasi antara orang tua dan anak. Jangan jadikan gengsi sebuah hambatan untuk meminta maaf pada orang lain. Bicara begini, kita juga tetap harus memilih dan memilah mana perasaani yang harus dan tidak untuk diungkapkan. Semua itu kembali ke proses pendewasaan masing-masing. Kita harus bisa berpikir kritis untuk tahu mana yang benar-benar harus diungkapkan dan mana yang tidak harus. Kalau memang perasaan kita akan berakhir merusak hubungan dengan orang lain, mungkin sebaiknya tidak perlu dinyatakan.
Khususnya saat hendak mengungkapkan kemarahan. Sebaiknya kita pikirkan matang-matang tujuannya. Kalau memang pernyataan kemarahan itu memiliki tujuan yang baik, untuk mengubah suasana lebih baik, silahkan saja. Tapi kalau pernyataan marah hanya untuk menyerang dan menyakiti orang lain, buat apa? Belakangan kami sempat memperhatikan sebuah tayangan ajang pencarian bakat di TV. Ketika sedang berlangsung, para penonton di rumah bisa memberikan komentar secara langsung lewat online. Sayangnya, komentar mereka banyak sekali yang bernada menghina. Baik fisik atau mental. Apakah penting untuk menyatakan perasaan marah atau kesal seperti itu? Apa tujuannya menyatakan itu pada orang lain? Tidak ada untungnya untuk kita.
Kalau pernyataan marah hanya untuk menyerang dan menyakiti orang lain, buat apa?