Circle Love & Relationship

Menjalin Keterikatan Dengan Anak

Sewaktu kecil, kita mungkin tidak menyadari bahwa beberapa perlakuan orang tua terhadap kita bisa memengaruhi perilaku di masa dewasa. Banyak hal yang mungkin jadi direpresi lalu secara tidak sadar kita adopsi saat giliran menjadi orang tua. Awal-awal aku menjadi orang tua, saat memarahi anak aku tidak berpikir sejauh itu atas dampak yang mungkin terjadi padanya. Seringnya hanya menyesal dan menangis ketika emosi diperlihatkan pada anak. Namun pada satu titik aku menyadari betapa pentingnya pola pikir berkesadaran saat mengasuh dan membesarkan anak. 

Aku menyadari ternyata bapakku memiliki spektrum autisme rendah yang tidak terdiagnosa. Sementara ibuku memiliki masalah kecemasan. Kedua hal tersebut ada dalam diriku sehingga aku mulai banyak belajar psikologi untuk memahami diri sendiri. Dulu bapakku respon emosionalnya adalah menghindar. Ia sering seolah tidak benar-benar hadir secara personal. Sedangkan ibuku sering memberikan guilt trip. Ini sering aku ulangi ke anak dan masih berusaha aku hindari sampai sekarang.

Tapi dari kekurangan mereka, aku juga menerapkan kelebihan-kelebihan mereka sebagai orang tua. Contohnya perilaku ibuku yang bisa menenangkan anaknya. Sebenarnya tidak hanya kepada anak-anak, ibuku jago sekali menghibur dan menenangkan siapapun yang sedang sedih. Ia seseorang yang bisa meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, apa yang kita inginkan akan tercapai dan kesedihan akan hilang. Emotional comfort dan empati yang besar seperti itu menurut aku penting untuk disalurkan pada anak.

Emotional comfort dan empati yang besar menurut aku penting untuk disalurkan pada anak.

Selama perjalananku memahami mindful parenting, aku menyadari ternyata anak tidak boleh dibuat bertanggung jawab atas emosi orang tuanya. Ini salah satu yang sampai sekarang masih aku upayakan karena sebagai manusia biasa, rasa marah atau sebal pasti ada. Apalagi menghadapi anak-anak yang belum bisa melakukan berbagai hal, terkadang sebagai orang tua masih bingung bagaimana membuatnya paham. Bukan cuma itu, kita juga sebaiknya tidak curhat pada anak. Jangan sampai kita menyalurkan emosi padanya. Ada satu kutipan yang aku pegang terus sampai sekarang yaitu: kita adalah sahabat si anak, tapi anak bukan sahabat kita. Mereka belum mampu untuk menampung curahan hati kita.

Kita adalah sahabat si anak, tapi anak bukan sahabat kita. Mereka belum mampu untuk menampung curahan hati kita.

Aku juga masih belajar dan sering gagalnya sebetulnya. Tapi yang jelas, kita sebagai orang tua yang harus menyelesaikan masalah emosi diri agar dapat merespon kejadian dengan anak dengan emosi yang benar. Yang pertama harus dilakukan adalah memiliki kesadaran dulu. Kita harus belajar melakukan observasi emosi yang datang dan pergi. Untuk melakukan ini memang perlu pengetahuan tentang berbagai jenis emosi, tipologi serta jenis-jenis kepribadian. Contohnya konsep "denying reality", aku harus baca dulu konsep itu baru aku kemudian observasi apa yang terjadi dengan anak. Kadang orang dewasa tidak punya maksud jelek seperti saat anakku teriak makanannya pedas lalu suamiku bilang “Ah nggak pedes”. Saat itu aku harus turun untuk membela "reality" anak.

Kemudian aku juga menemukan cara untuk bisa menjaga keterikatan dengan anak yaitu dengan membacakan buku untuknya. Ini aku mulai sejak harus mengajari sendiri anakku  ketika masuk TK sehingga aku sampai ikut komunitas read aloud untuk mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana membuat anak suka membaca. Lalu aku membaca buku Jim Trelease yang memberikan motivasi untuk membuat anak cinta baca. Meskipun resep resminya membacakan buku ke anak cukup 15 menit sehari tapi aku melakukannya lebih karena anakku sudah terbiasa menonton TV berjam-jam. Sedangkan dalam bukunya Jim Trelease menyatakan bahwa TV adalah penyebab prestasi anak melorot. Jadi, aku coba untuk menggantikan hiburan yang biasa anakku dapatkan dari TV dengan buku. Tapi karena dia belum bisa baca sendiri akhirnya aku yang bacakan. Aku mencoba kondisikan otaknya agar kalau bosan mencari buku.

Sebenarnya, sebagai akademisi aku punya agenda pribadi tentang kemampuan analisis dan menulis esai anak-anak Indonesia. Jadi, kegiatan membacanya juga ditingkatkan dengan diskusi. Selain itu, aku juga belajar dari akun Youtube REFO Indonesia tentang teknik-teknik lain mengajarkan literasi pada anak. Dan aku tidak akan bohong bahwa ini sangat melelahkan. Yang biasanya aku bisa santai karena dia sudah bisa terhibur menonton TV atau main game, aku jadi harus mengurus dia hampir sepanjang hari. Menurut Jim Trelease, kalau kita mewajibkan anak gosok gigi karena kita anggap itu penting, berarti kita juga harus mewajibkan anak baca buku. Meskipun begitu, aku masih memperbolehkan anak nonton TV dan game masing-masing satu jam sehari. Di luar itu, penyelamatku hanyalah kalau anak tetangga mampir dan mengajak main anakku atau sekali-sekali aku pasangkan audio book jika aku terlalu lelah untuk membacakan. 

Sebenarnya, membacakan buku dari sejak anakku bayi sudah aku lakukan. Tapi aku tidak menganggap itu penting. Sekarang itu jadi pusat pendidikan aku terhadap anak dan dia ternyata bisa menikmati itu karena read aloud membuat koneksi yang besar sekali. Ketika kita membacakan buku ke anak kita tidak bisa melakukan yang lain sehingga fokus kita hanya ke dia melalui buku itu. Dampaknya, kami jadi jarang bertengkar. Mungkin karena keterikatan yang terbentuk melalui kegiatan read aloud. Rasanya jadi lebih compassionate satu sama lain karena ketika membaca, kami mendapatkan waktu tenang hampir seperti meditasi yang menghubungkan kami berdua. Aku juga berharap ke depannya, dengan membiasakan perilaku ini semoga dia juga menjadi pecinta buku sehingga bisa meningkatkan kemampuan literasinya.

 

Related Articles

Card image
Circle
Kembali Merangkai Sebuah Keluarga

Selama aku tumbuh besar, aku tidak pernah merasa pantas untuk disayang. Mungkin karena aku tidak pernah merasakan kasih sayang hangat dari kedua orang tua saat kecil. Sejauh ingatan yang bisa aku kenang, sosok yang selalu hadir semasa aku kecil hingga remaja adalah Popo dan Kung-Kung.

By Greatmind
24 November 2023
Card image
Circle
Pernah Deep Talk Sama Orang Tua?

Coba ingat-ingat lagi kapan terakhir kali lo ngobrol bareng ibu atau bapak? Bukan, bukan hanya sekedar bertanya sudah makan atau belum lalu kemudian selesai, melainkan perbincangan yang lebih mendalam mengenai apa yang sedang lo kerjakan atau usahakan.

By Greatmind x Folkative
26 August 2023
Card image
Circle
Berdaya dan Berkontribusi

Ketertarikanku untuk berbagi mengenai pengalaman dan tips pengembangan diri sebenarnya dimulai ketika aku bekerja di salah satu perusahaan konsultan keuangan di Jakarta. Saat itu, banyak yang bertanya melalui media sosial mengenai kiat untuk bisa bekarir di perusahaan tersebut. Lalu setelahnya, aku juga mulai berbagi mengenai topik pengembangan diri dan karir.

By Lavina Sabila
20 May 2023