Profesi apapun butuh dedikasi yang tinggi. Apalagi profesi menjadi seorang ibu yang tidak mengenal paruh waktu. Keberadaan ibu dengan beragam latar belakangnya memberikan pengaruh besar untuk membentuk kepribadian sebuah keluarga. Bahkan sejak baru menikah dan belum memiliki anak. Siap sedia 24/7 sepertinya sudah menjadi bagian dari deskripsi pekerjaan seorang ibu. Sebab seorang ibu tidak pernah tahu kadang tengah malam anak bisa demam kemudian pagi-pagi muntah. Tidak juga jarang mereka bisa tiba-tiba sekadar mengetuk pintu ketika kita para ibu sedang mandi karena butuh bantuan. Tapi angka 24/7 sebenarnya tidak seseram itu. Tidak berarti kita sampai meninggalkan kebutuhan individu. Dalam menjalankan peran kita butuh support system, seperti suami misalnya, yang bisa dimintai bantuan saat sedang berhalangan.
Keberadaan ibu dengan beragam latar belakangnya memberikan pengaruh besar untuk membentuk kepribadian sebuah keluarga.
Meskipun begitu kita harus pintar-pintar dalam mengambil keputusan. Menurutku semua harus mengacu pada kebaikan bersama. Beberapa tahun lalu aku punya bisnis online clothing sendiri. Usahanya lancar, bisa mendapat keuntungan juga. Tapi karena belum mampu mempekerjakan banyak pegawai jadinya semua harus dilakukan sendiri. Dari situ aku diuji oleh anak. Anakku tantrum berlebihan. Waktu itu aku dan suami sampai harus pergi ke psikolog. Masalahnya cuma satu: orang tua yang terlalu sibuk. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan bisnis ini dan membuat tim kecil untuk membantuku bekerja di bidang konten kreatif. Untuk bisnis lain, aku lebih memilih sistem kolaborasi karena pekerjaannya juga bisa lebih ringan.
Sebagai ibu ada baiknya kita juga bisa memilah peran seperti apa yang ingin ditampilkan ke anak-anak. Walaupun aku kadang masih cerewet sama anak, tapi aku selalu ingin bisa menunjukkan perasaan sayang, cinta dan perasaan saling mengasihi dengan sentuhan fisik. Memeluk tiap bangun tidur, mau tidur, apalagi kalau sehabis marah juga tetap pelukan. Sedangkan dalam mengajarkan agama pada anak-anak aku berbagi peran dengan suami. Kalau belajar dari keluarga suamiku, soal agama mereka lebih tegas. Berbeda dengan keluargaku yang kadang lebih santai. Dari sini jadinya kadang aku dan suami punya pandangan agama yang beda. Tapi untuk anak, kami memutuskan untuk satu suara. Terlebih untuk usia anak-anak kami yang masih kecil, butuh dasar yang kuat. Karena alasan ini juga aku dan suami jadi belajar lagi soal agama agar bisa mengajarkan ke anak. Tidak hanya mengandalkan dari sekolah. Di rumah, Bapak atau suami adalah ikon untuk anak-anak belajar agama, dari shalat, puasa dan pembiasaan untuk berbagi.
Walaupun aku kadang masih cerewet sama anak, tapi aku selalu ingin bisa menunjukkan perasaan sayang, cinta dan perasaan saling mengasihi dengan sentuhan fisik. Memeluk tiap bangun tidur, mau tidur, apalagi kalau sehabis marah juga tetap pelukan.
Ketakutan mereka akan pengaruh lingkungan pasti ada. Karenanya butuh dasar agama yang kuat seperti yang tadi aku bilang. Kami sekarang sedang berusaha semaksimal mungkin agar anak mendapatkan dasar agama yang cukup. Anak-anak masih kecil juga, kami belum terlalu memaksakan soal prinsip agama seperti hijab. Biarkan mereka mengerti dulu nilai-nilai dalam agama. Tidak hanya mengenal halal dan haram yang boleh dan tidak tapi ada nilai kemanusiaan juga, toleransi, kesopanan. Sedikit-sedikit anak aku yang besar sudah mulai mengerti kalau pakaian terbuka dipakai di tempat yang tidak semestinya adalah sesuatu yang tidak sopan.
Kalau dari yang aku pelajari, Al Quran itu ajarannya mengikuti zaman. Jadi mau dari kita kecil, sampai kita membesarkan anak, dasarnya tetap sama kembali kepada Al Quran. Yang lebih dinamis adalah soal ilmunya, makanya dibilang anak itu adalah sekolah bagi para orang tua karena memang benar setiap hari jadi orang tua ilmunya harus ikut diperbarui biar sesuai dengan zaman tapi tetap berprinsip Al Quran. Kadang saat berdebat sama anak soal agama mereka bilang, “Kok kurang asik sih?”, kami bilang saja, “Nurut aja kak sama Allah nanti kita bisa lebih happy kalo nurut.”
Orang tua juga tiap hari masih belajar jadi orang tua. Banyak salahnya, banyak baper (terbawa perasaan) juga. Pengalaman orang tua satu dengan yang lain juga beda-beda. Kita tidak bisa nyontek mentah-mentah cara orang tua lain membentuk keluarganya. Berusaha jadi ibu yang sempurna buat anak pasti. Aku juga inginnya jadi yang terbaik untuk mereka. Ketika aku tanya ke anak-anak, “Ibu baik nggak?”. Aku ingin jawabannya baik, ditanya “Ibu suka marah nggak?” maunya dijawab "Nggak pernah marah". Anak-anak tidak bisa bohong soal pertanyaan ini.
Orang tua juga tiap hari masih belajar jadi orang tua. Banyak salahnya, banyak baper (terbawa perasaan) juga. Pengalaman orang tua satu dengan yang lain juga beda-beda. Kita tidak bisa nyontek mentah-mentah cara orang tua lain membentuk keluarganya.
Pada dasarnya, anak-anak harus tahu jika mereka salah, tapi bukan dengan dimarahi. Ini susah pasti awalnya pakai marah dulu. Tapi memberi pengertian tentang kesalahan anak lebih mudah ketika orang tua tidak ikutan marah. Mencari solusinya juga lebih mudah. Saya capek dan marah sekali ketika pas kondisi sedang capek, anak-anak berantakin mainan dan tidak membereskan. Akhirnya aku tulis surat bergambar bilang, “Ibu marah anak-anak nggak beresin mainan”. Mereka cukup paham dengan surat bergambar tersebut, esok harinya kakak memberi balasan surat berisi permintaan maaf dan kamar yang sudah dirapikan kembali.