Baik menjadi wanita karier dan seorang ibu keduanya memiliki kesamaan pada saat menjalani perannya masing-masing. Dalam berkarier dan memimpin sebuah tim, otomatis saya juga harus menutrisi perusahaan dan anggota tim untuk berkembang maksimal. Mengenali potensi, termasuk juga mengenali agar bisa meminimalisir kelemahan. Sama seperti ibu dalam membesarkan anak, saya harus mengenali masing-masing anak dan menyadari bahwa potensi serta karakter setiap anak berbeda. Karenanya membutuhkan penanganan yang berbeda juga, tidak bisa disamakan. Kesamaan lainnya adalah untuk tidak pernah berhenti belajar di mana pelajaran membesarkan anak bisa datang dari mana saja termasuk dari budaya. Pada bisnis fashion yang saya jalani, budaya Jawa amat kental di dalamnya. Memang, budaya Jawa memiliki banyak nilai-nilai kehidupan yang tidak bisa saya lepaskan dari diri. Begitu juga saat saya membesarkan anak.
Romo saya selalu mendasarkan karakter manusia pada penokohan wayang. Saya pernah bertanya, dari sekian tokoh sakti Pandawa Lima (Gatotkaca, Werkudara, dan lain-lain) siapa favoritnya? Beliau menjawab, “Semar.” Saya tanya, “Kenapa Semar? Semar bukannya tukang melawak (mengacu pada Ria Jenaka)?” Ternyata saya baru tahu bahwa Semar itu sebenarnya salah satu yang paling sakti, namun sangat rendah hati dan bijaksana. Kemuliaannya sejajar dengan Kresna, ia sederhana, jujur, tulus, cerdas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Meneladani Semar artinya kita menghargai hal-hal yang mungkin tidak menjadi nilai penting untuk kebanyakan orang yaitu harus ketok (terlihat). Kami sekeluarga hingga saat ini berprinsip hidup cukup saja, tidak perlu berlebih, namun wajib memiliki manfaat dan membantu orang banyak. Lalu “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”, “Ojo Adigang, Adigung Adiguna”, dan “Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake” yang intinya semua adalah wajib menjunjung martabat namun tidak boleh tinggi hati. Tidak semua bisa dicapai dengan harta, kekuatan dan kekuasaan. Kalau kita perhatikan baik-baik, hampir semua hal dalam filosofi Jawa megandung kesabaran. Misalnya mencanting batik, menari Srimpi, semuanya tidak ada yang tergopoh-gopoh. Semua memakai hati, indera, dan rasa. Peka dalam mata batin, sensitif dalam rasa, intuisi, andhap asor, pengasih, pekerja keras, setia kawan, semuanya menjadi didikan inti saya kepada anak-anak.
Tidak semua bisa dicapai dengan harta, kekuatan dan kekuasaan.
Selain itu pelajaran paling berharga tentu saja berasal dari kedua orangtua saya. Dari almarhum Romo saya juga banyak mempelajari karakter yang menjadi acuan. Namun terkadang saya tidak sabar semuanya kok terasa lamban. Tapi lelet ternyata tidak melulu berarti buruk. Terkadang mungkin itu hanyalah sebuah fase seseorang saja. Hanya karena orang tidak sama ritmenya dengan kita bukan berarti dia malas atau tidak mengusahakan yang terbaik. Namun kombinasi antara Ibu dan Romo membuat saya jadi tidak banyak komplain dengan kinerja orang. Kalau merasa tidak puas, ya turun tangan saja sendiri. Ibu saya adalah seorang wiraswasta. Modal dari Romo, ibu yang menjalankan. Dari ibu saya belajar bahwa kalau mau dan memiliki keinginan, apa saja bisa jadi uang, dan semua hal bisa menjadi kesempatan meskipun pintunya tidak terbuka. Contoh, dari bisnis distribusi bahan bakar minyak (BBM) dan gas, setiap ia pergi ke Jakarta ia selalu nyambi membawa barang dagangan teman-teman pedagang antiknya, dari keris hingga perhiasan berharga ia bawa dan dijual ke kenalannya di Jakarta (pada saat itu pamor keris dan perhiasan antik sangat tinggi dan mahal) sehingga untungnya sangat besar. Semua perjalanan bisnis yang ia lakukan selalu mendapat untung. “Mlaku ning ngendhi wae, tangan karo sikil ora entuk mandheg. Bathine kudu tikel tekukg,” ujar Ibu suatu siang dalam pesawat menuju Jakarta dengan saya. Kalimat ini berarti pergi ke mana saja tangan dan kaki harus tetap bergerak. Untung harus berlipat-lipat. Sampai bandara kami naik taksi mendatangi koneksi ibu door-to-door untuk menawarkan barang tersebut. Makanya saya tidak pernah malu jualan apa saja, dari baju (Purana), hotel (Yats.Colony) hingga warung nasi (Mbok Ndoro). Prinsipnya asal tidak merampok atau merampas hak orang, jalankan saja. Ibu sering menunggui sendiri SPBU-nya dan turun tangan. Jadi saya menghidupi konsep keseimbangan dari Romo yang kental dengan filosofi Jawa yang serba berhati-hati dan kalem, dan ibu sebagai pengusaha yang serba cepat, terampil dan cekatan.
Pelajaran lain yang diwarisi ibu juga adalah tentang konsep trial-and-error. Kala saya beranjak dewasa, ibu sangat sibuk. Banyak hal-hal yang akhirnya saya lakukan sendiri. Pengalaman mencoba, gagal, coba lagi. Yang penting mencoba dulu dengan cara sendiri. Kalau salah, lakukan lagi dengan metode lain sampai benar. Kepada anak-anak, saya juga membiarkan mereka belajar dari kesalahan dan kekalahan. Pulang menangis karena berselisih paham atau di-bully, saya tidak pernah berurusan dengan guru atau orangtua lain. Saya selalu bilang pada mereka, “Get back on your feet, stand up, and face it.“ Datangi masalahnya dan hadapi. Jadi manusia harus punya nyali. Kepergian ibu pun mengajari saya bahwa pada akhirnya nanti tidak ada yang bisa anda andalkan selain diri sendiri dan Tuhan. Ini juga sebenarnya yang melatih kemandirian mereka sebagai seorang individu meski masih belia. Penting sekali untuk melatih mereka mandiri karena pada akhirnya mereka akan berada di atas kakinya sendiri. Saya katakan, “Nantinya kami (orangtua) tidak akan ada di dunia ini lagi jadi kalian harus membantu dan melindungi satu sama lain.” Kerukunan dan rasa sayang mereka terhadap satu sama lain terkadang membuat saya terharu. Saya sempat menguping percakapan mereka sehari sebelum berpisah berangkat ke sekolah masing-masing. Salah satu bertanya, “Will you miss me?” Saya diam-diam menangis dalam syukur dan berpikir, “I must have done something right as a mother.”
Jadi manusia harus punya nyali.
Sekarang Arsya (18) sudah kuliah di University of Las Vegas jurusan Hospitality. Fatih (16) mendapatkan kesempatan beasiswa di Blue Ridge High School, Virginia, dari prestasi basketnya. Kami pun berusaha untuk terus menjaga komunikasi untuk mempertahankan keharmonisan keluarga. Kesulitannya, kami sekarang mau ketemu saja harus terbang 20 jam. Telepon dan chat tidak pernah absen. Arsya sangat mudah bergaul, dinamis, vokal, dan periang. Sebaliknya Fatih cukup introver, penuh observasi, dan agak tertutup. Saya mengubah gaya bicara ketika menghadapi satu anak dan lainnya. Mencoba mengerti apa kesulitannya, mendiskusikan apa solusi yang bisa diusahakan, namun saya berusaha untuk tidak menggurui. Saya selalu awali dengan “Menurut kamu, apa solusi terbaik?” Saya tidak ingin mereka menjadi produk fotokopi orangtua. Arsya adalah anak yang sangat bersosial dan mudah berbagi. Masalahnya terkadang dia bias ketika memprioritaskan kepentingan dia atau kelompoknya. Tapi saya yakin dia belajar akan hal tersebut dan melewatinya.
Fatih, berseberangan dari itu, pendiam, introver, kurang percaya diri, sementara prestasi akademis dan non-akademis mengatakan hal yang sebaliknya: sangat bagus. Untuk sekian lama saya mempelajari apa yang menjadi sumber keminderannya? Baru saya tahu bahwa dia sering merasa tidak cukup baik. Dia baru sampai di Amerika Serikat, pusat olahraga basket, standarnya otomatis sangat tinggi. Lalu saya katakan, “Kita coba pikirkan berdua. Apa hal terburuk yang mungkin terjadi? Kalau kamu tidak menjadi pemain basket pro, masih mendapatkan keberuntungan menimba ilmu di sekolah prestisius dengan beasiswa, dan bisa memilih menjadi apa saja. Terkadang kamu hanya harus percaya bagaimana semesta ini membentuk dan menjadikanmu versi terbaik dari dirimu sendiri. Jangan takut untuk jatuh dan gagal karena itulah yang membuat kamu menjadi seorang manusia seutuhnya.” Saya ingin mereka menjadi sukses dalam kamus mereka, bukan kamus saya. Saya tidak mau ambisi saya mematikan potensi mereka yang saya percaya, jauh lebih hebat dari ambisi orangtua. Hidup ini singkat. Bahkan mungkin terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengatur mimpi anak kita.
Terkadang kamu hanya harus percaya bagaimana semesta ini membentuk dan menjadikanmu versi terbaik dari dirimu sendiri. Jangan takut untuk jatuh dan gagal karena itulah yang membuat kamu menjadi seorang manusia seutuhnya.
Berada jauh dari rumah, mereka kini sudah tinggal di asrama dengan pengawasan supervisor, guru, dan pembimbing masing-masing. Mengatur uang saku, kebutuhan, serta ritme kehidupan personal dan akademisnya. Saya hanya bisa percaya bahwa mereka akan melakukan yang terbaik dan bertanggung jawab akan kepercayaan yang diberikan. Tugas saya menyediakan ruang untuk mereka terus tumbuh dan berkembang dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan memastikan sarana dan prasarananya siap ketika dibutuhkan. Dari awal saya katakan: “Mari berbagi tugas. Yuk, menjadi tim yang kokoh. Kalian hanya harus melakukan yang terbaik di sekolah dan biarkan kami (orangtua) mengerjakan yang lainnya.” Sekarang ini mereka sangat berhati-hati dalam membelanjakan uang. Saya tanya, “Kenapa?" Jawabnya, “Malu, teman-teman tidak seperti itu.” Saya sempat terkekeh sambil bercanda, “Berarti kita ini konsumtif ya?”
Hidup ini singkat. Bahkan mungkin terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengatur mimpi anak kita.
Ketika melepas mereka yang sudah bertumbuh dewasa, saya juga membekali mereka dengan pemahaman kepemimpinan. Seperti yang sudah saya praktikan dalam pekerjaan. Bagi saya, menjadi pemimpin harus bisa selfless dan lebih mengutamakan kepentingan anak buah, memberikan hak mereka, dan memperlakukan mereka dengan tidak pilih kasih. Menjaga profesionalisme dengan tim dan pihak eksternal sangat penting. Saya ajarkan, menilai karakter buat saya sangat mudah. Jika dia bisa dipercaya soal waktu dan uang, 80 persen karakternya sudah on track. Nampak sepele namun dua karakter itu gampang-gampang susah dicari. Jangan pernah ada sungkan memutuskan hubungan kerja jika chemistry kedua belah pihak sudah tidak kondusif karena itu pasti yang terbaik untuk keduanya. Terakhir, cerdas saja tidak cukup namun ia harus cerdik. Cerdas adalah orang yang pintar, namun cerdik artinya cermat dalam melihat sesuatu: banyak akalnya, banyak pintunya. Di dalam kecerdikan ada kepintaran.
Saya dan suami sama-sama dominan dan pemimpin di bidang masing-masing. Bagaimana kami bisa saling mengisi, sama-sama sudah paham kapan harus berganti peran. Sebagai pendebat, pendengar, penasehat, pemimpin, pengikut, apapun itu, kami sudah paham ketika salah satu berganti peran, satunya harus tanggap. Tidak bisa ada dua pendebat atau dua pemimpin. Kami sangat jarang bertengkar karena dua-duanya sama-sama fleksibel dan toleran, peka terhadap batas masing-masing. Kami memberikan masing-masing ruang untuk berkembang namun bertekad untuk tumbuh dan menua bersama. He is everything I could have ever asked for. Tidak mudah mencari pasangan yang merasa secured dalam hubungan, sekaligus percaya dengan dirinya sendiri. Kami mengagumi dan menghargai satu sama lain. Itulah kuncinya. Maka dari itu kami berbagi soal memimpin keluarga. Suami sebagai pelatih, sementara saya sebagai sahabat. Untuk hal-hal yang sifatnya akademis atau prestasi adalah bagian suami saya untuk melakukan pelatihan. Untuk hal yang sifatnya mentalitas dan emosional, mereka berdiskusi dengan saya. Topiknya dari pacar hingga rasa tidak percaya diri. Dari dulu saya sudah bercita-cita akan menjadi sahabat kedua anak saya karena saya ingin menjadi orang yang sangat mereka percaya.
Meski terdengar seperti saya dan suami sudah tahu apa yang kami lakukan, kami paham betul bahwa tidak ada orangtua yang sempurna. Pasti ada kesalahan. Sebaik-baiknya kedua orangtua saya, mereka pun punya kesalahan. Salah satunya adalah Ketika Romo dan Ibu tiada, kami kelimpungan meneruskan usaha karena tidak ada yang paham. Mereka tidak mengajari anak berkecimpung dalam usaha keluarga. Oleh karena itu, saat ini, apapun yang kami lakukan dalam bisnis, kami selalu mengajak anak-anak berdiskusi dan berpendapat. Tidak ada hal yang kami sembunyikan dalam bisnis, termasuk ketika kami sedang kesulitan maupun mendapat kemudahan.