Kita semua pasti punya pemahaman sendiri-sendiri tentang pernikahan. Sebagian dari kita merasa setelah menikah seakan semua permasalahan dalam hubungan akan selesai. Sayangnya, pemikiran ini menurutku justru akan membuat kita menaruh ekspektasi tinggi terhadap pernikahan itu sendiri. Kenyataannya setelah dijalani bisa jadi berbeda dengan harapan. Banyak yang bilang pernikahan justru sebaliknya. Setelah menikah kita justru baru merasakan kehidupan yang sebenarnya. Beberapa orang juga kerap kali melihat keluar, mencoba mencari contoh dari orang lain sehingga mengharapkan nantinya pernikahannya akan seperti pasangan tersebut. Padahal sebenarnya kita harus melihat ke hubungan sendiri apa yang dibutuhkan di dalam hubungan. Kurang introspeksi dan keterbukan jadi pemicu pernikahan tidak berjalan sesuai visi di awal.
Pernikahan maknanya amat luas. Buatku pribadi, pernikahan adalah soal berbagi, keterbukaan, kerja sama dalam menghidupi keseharian bersama, saling mengasihi dan menghargai. Kenapa tidak ada pernyataan saling mencintai? Aku meyakini kalau modalnya hanya mencintai saja, berumah tangga akan jadi terlalu mudah dan mengada-ngada. Saling mencintai sangatlah tidak cukup. Suatu saat kalau sedang bertengkar, rasa cinta itu bisa tiba-tiba hilang sesaat sebab pernikahan isinya campur aduk, naik turun. Sehingga pasangan harus kompak, sama-sama saling menjaga agar tidak tenggelam di dalam permasalahannya. Aku juga percaya bahwa yang utama adalah keduanya harus punya hubungan yang baik dengan Yang Maha Esa agar sama-sama memiliki kepercayaan dan tanggung jawab dalam membina rumah tangga yang baik.
Pernikahan maknanya amat luas. Buatku pribadi, pernikahan adalah soal berbagi, keterbukaan, kerja sama dalam menghidupi keseharian bersama, saling mengasihi dan menghargai.
Bicara begini, bukan berarti aku lebih mengerti soal pernikahan. Buktinya baru setelah hampir tiga tahun berhubungan, aku baru saja akan menikah. Kami menjalani hubungan dengan sangat santai. Tiba-tiba si dia mengajak menikah tanpa adanya pengaruh dari luar hubungan kami. Dalam proses pemikiran yang sedang tidak terdesak, jernih, aku bisa memutuskan untuk menyetujuinya. Bilang, “I do”. Selama ini aku sebenarnya sudah menemukan titik nyaman bersama dia. Tidak bisa meminta lebih karena hubungan yang sangat nyaman tersebut. Aku pun tidak pernah tahu apakah di adalah jodohku atau The One. Menurutku, mengetahui apakah seseorang jodoh kita atau bukan itu bukanlah perasaan yang bisa dijelaskan. Kita harus berani melakukan dan percaya pada intuisi. Maka sekarang aku mencoba membuktikannya. Kalau kita terus mempertanyakan diri, “Dia jodohku bukan ya?”, sampai kapanpun sepertinya tidak ada jawabannya.
Kalau kita terus mempertanyakan diri, “Dia jodohku bukan ya?”, sampai kapanpun sepertinya tidak ada jawabannya.
Menikah juga bukan berarti kita akan selalu menerima dia apa adanya. Kalau dasarnya pasangan memiliki kepribadian yang kurang baik —terutama saat ia bersikap terhadap pasangannya, ini berarti kita menerima dia bersikap buruk pada kita. Pada akhirnya, pemakluman seperti itu bisa memupuk hubungan yang tidak sehat. Jika menjurus ke arah ini, aku sangat tidak setuju untuk menerima pasangan apa adanya. Tapi jika misalnya kebiasaan pasangan suka buang angin sembarangan di rumah mungkin masih bisa diwajarkan. Selam hal-hal perilaku atau sifatnya tidak menuntun pada hubungan tidak sehat. Dalam kasusku, mungkin banyak yang mengira perbedaan umur yang jauh bisa menjadi masalah dan kami kesulitan menerima satu sama lain karena adanya perbedaan. Beruntungnya, perbedaan usia 17 tahun antara aku dan pasangan bukanlah jadi halangan. Aku merasa selama berhubungan kami tidak sampai harus melakukan banyak penyesuaian. Mungkin salah satu faktornya disebabkan oleh pekerjaan dan pertemanan kami yang masih berada dalam satu lingkup yang sama. Jadi selama ini kami berdua bisa sama-sama menyeimbangkan dan saling mengisi. Terlebih lagi, aku sebenarnya merasa dia yang jauh lebih tua membuatkua banyak belajar.
Menikah juga bukan berarti kita akan selalu menerima dia apa adanya. Kalau dasarnya pasangan memiliki kepribadian yang kurang baik —terutama saat ia bersikap terhadap pasangannya, ini berarti kita menerima dia bersikap buruk pada kita.
Sama halnya dengan penerimaan soal masa lalu. Dia yang sudah pernah berkeluarga sebelumnya bukanlah sebuah masalah untuk aku. Di awal pasti ada pertimbangan ketika membicarakan tentang melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Nantinya, keluarga pasti akan tersangkut paut. Aku akui, kami berdua cukup fair dengan masa lalu masing-masing. Bahkan terkadang kami membuat masa lalu sebagai bahan bercanda (tentunya selama tidak bercanda yang kelewatan). Jadi sejauh ini aku merasa beruntung kami bisa melaluinya dengan baik. Mungkin itu juga yang membuatku semakin yakin untuk menikah. Semoga ke depannya kami pun tetap bisa jadi tim yang selalu solid.