Kita baru mengetahui diri ini unik ketika mencari tahu lebih banyak dan mengenal diri lebih dalam. Tidak hanya tentang kepribadian, tapi juga tentang asal usul sejarah dan budaya kita. Sewaktu kecil, saya tidak pernah mencari tahu lebih banyak soal budaya atau identitas sebagai seorang Tionghoa kepada orang tua. Maklum, saya bersekolah di sekolah swasta yang kebanyakan muridnya juga Tionghoa. Menghabiskan masa kecil di lingkungan yang homogen membuat saya berpikir semua orang Indonesia adalah seperti saya dan teman-teman. Kami juga sama-sama berbahasa Indonesia. Namun, pemahaman itu berubah saat saya mulai mencari identitas diri ketika SMA.
Keingintahuan saya berawal dari menyaksikan acara “Amazing Race” yang membawa para pesertanya keliling Tiongkok. Acara tersebut membuat saya menjadi ingin tahu tentang kebudayaan Tiongkok. Hanya saja dulu saya berpikir orang Tionghoa pasti mereka yang tinggal di Tiongkok. Jika tinggal di luar negaranya, bukan orang Tionghoa. Saya tidak pernah menggali soal asal leluhur saya. Tapi setelah saya mencari tahu lebih banyak, ternyata definisi orang Tionghoa itu tidak serta merta harus mengikuti tradisi Tiongkok maupun acuan Beijing. Saya yang lahir di Indonesia pun boleh bangga dengan identitas ketionghoaannya. Tentunya dengan adanya peleburan budaya dan tradisi keduanya. Inilah juga yang membuat saya ketika dewasa sangat bangga dengan percampuran identitas yang dimiliki.
Rasa bangga itu pun terus bertumbuh saat saya memasuki dunia jurnalisme, bertemu dengan para profesional dengan beragam latar belakang. Definisi saya tentang menjadi orang Indonesia semakin luas. Apalagi dulu saya juga pernah tinggal di Taiwan. Saya menyadari ternyata seperti apapun tampilan saya mirip dengan orang-orang Taiwan, saya bukan bagian dari mereka. Saya sebagai peranakan Tionghoa di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dan tidak bisa disamakan dengan masyarakat Tionghoa di belahan bumi lainnya. Saya semakin bangga akan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu beragam, multikultural sehingga saya semakin bisa memaknai lebih dalam dua elemen asal usul: orang Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia, serta orang Indonesia yang memaknai budaya Tionghoanya.
Saya sebagai peranakan Tionghoa di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dan tidak bisa disamakan dengan masyarakat Tionghoa di belahan bumi lainnya.
Saya pun mulai meyakini bahwa diri saya bagai sebuah puzzle. Setiap keping puzzle adalah elemen-elemen yang saya miliki dalam hidup. Ada keping budaya dari pembawaan Indonesia; pembawaan toleransi akan keberagaman budaya, dan ada keping tradisi dari identitasku sebagai peranakan Tionghoa. Semua hal yang ada dalam keluarga, termasuk sejarah nenek yang lahir di Tiongkok dan pindah ke Singkawang, budaya yang diajarkan orang tua untuk sembahyang di rumah, semuanya membuatku merasa utuh. Keutuhan yang harus saya jaga dan dilanjutkan. Setelah memahami ini, saya juga bisa mengerti bagaimana memberikan nilai pada setiap tradisi keluarga. Tidak menjadikannya sekadar sebuah keharusan saja.
Tidak bisa dipungkiri, saya merasa di negara kita masih banyak stereotip budaya. Contohnya stereotip budaya yang sering saya temukan tentang peranakan Tionghoa adalah soal gaya hidup glamor. Padahal kalau kita melihat ke beberapa area di Indonesia, masih banyak masyarakat peranakan Tionghoa yang berada di bawah garis kemiskinan. Banyak yang hidupnya sederhana. Mungkin stereotip ini terbentuk karena peranakan Tionghoa identik dengan pebisnis sehingga mereka seringkali dikaitkan dengan uang. Tapi kalau kita lihat lebih saksama, etnis Tionghoa di Indonesia juga banyak yang menjadi politisi, guru hingga jurnalis. Jadi, menurut saya kita harus mulai mengurangi atau bahkan menghilangkan stereotip semacam itu agar tidak terbentuk kecurigaan terhadap satu sama lain.
Mengapa? Karena stereotip yang terbentuk itu dapat membuat masyarakat Tionghoa merasa seakan bukan bagian dari negara ini. Padahal kalau kita mau belajar sejarah, masyarakat etnis Tionghoa sudah ada di sini ratusan tahun lalu. Banyak yang sudah tidak lagi memiliki nama keluarga di Tiongkok, tidak bisa berbahasa Tionghoa dan benar-benar sudah melebur dengan budaya Indonesia. Apalagi kalau kita melihat adanya faktor kawin campur yang membuat peleburan budaya sesederhana percampuran kreasi makanan yang kita nikmati setiap hari. Jadi budaya Tionghoa sebenarnya membentuk budaya Indonesia itu sendiri. Lagi pula, bukankah kehidupan kita akan lebih indah jika bisa hidup berdampingan dengan keberagaman yang memperkaya negeri ini?