Berbicara mengenai rumah, selalu tidak ada habisnya. Saya sendiri selalu merasakan emosi yang bercampur aduk setiap kali mendapat kesempatan untuk bercerita tentang tempat yang bagi saya merupakan awal dari segala-galanya ini. Bahkan, saya percaya bila nasib seseorang bisa ditentukan dari rumahnya, karena rumah adalah tempat awal kita menata kehidupan. Bila kita tidak bisa menata rumah, maka belum tentu kita bisa menata kehidupan.
Bila kita tidak bisa menata rumah, maka belum tentu kita bisa menata kehidupan.
Berbicara mengenai elemen yang membentuk rumah sendiri, saya berpandangan bahwa keluarga adalah fondasi dasarnya. Karakter penghuni rumah biasanya terefleksi melalui bangunan yang mereka tempati, bukan? Oleh karenanya, di saat kita kuat, lemah, tidak berdaya, atau dalam kondisi apapun, kita seharusnya masih merasa diterima di rumah karena di tempat inilah seharusnya kita bisa menjadi diri sendiri. Rumah idealnya dapat selalu menjadi tempat tujuan untuk pulang. Kembali ke rumah, artinya kembali ke keluarga.
Selama ini, kita mungkin kerap mendengar istilah ‘happy home’ didengungkan sebagai suatu kondisi yang ingin dicapai dan diimpikan banyak orang. Definisi ‘happy home’ itu sendiri sangat kompleks. Kata ‘happy’ atau ‘bahagia’ tidak akan muncul bila tidak ada ‘unhappiness’. Kita tidak akan merasa bahagia bila belum merasa penderitaan sebelumnya. Bagi saya, bahagia akan muncul saat kita dapat menghadapi ketidaknyamanan dengan ikhlas. Saat kita tidak merasa nyaman, tentu secara naluri biasanya kita akan mencoba mencapai sisi yang bersebrangan atau dalam konteks ini, sisi yang lebih baik. Hidup tidak selalu mudah. Di saat kita bisa menikmati segala proses yang berjalan dan berhasil melewatinya, itulah saat dimana kita biasanya merasakan kebahagiaan.
Kembali ke konsep ‘happy home’, keluarga yang membentuk rumah beserta kehidupan di dalamnya, tidak selalu sempurna ataupun berjalan mulus dari segi emosi, finansial, dan perkembangan jiwa orang-orangnya. Keluarga yang sehat justru adalah mereka yang tumbuh besama mulai dari nol, lalu bangkit bersama-sama. Oleh karenanya, kondisi rumah yang bahagia umumnya terjadi saat setiap individu yang tinggal dalam satu rumah bisa saling menghargai, mendukung, dan menerima kekurangan masing-masing anggota keluarga.
Kondisi rumah yang bahagia umumnya terjadi saat setiap individu yang tinggal dalam satu rumah bisa saling menghargai, mendukung, dan menerima kekurangan masing-masing anggota keluarga.
Sebagai contoh, suami saya bukan orang yang begitu rapi di rumah. Sangat berkebalikan 180 derajat dengan saya. Awalnya, ada saja hal-hal yang membuat saya agak sebal, misalnya saat dia menaruh sepatu dengan cara dilempar atau digeletakan begitu saja tidak pada tempatnya. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menerima ‘ketidakrapihan’ dirinya dengan mengisi kekurangannya, yaitu menjadi sosok yang gemar menata rumah. Begitu pun sebaliknya dengan suami saya yang juga menambal sulam kekurangan saya di rumah. Saat saya dan suami menerima ketidaksempurnaan masing-masing, entah bagaimana, kami merasa lebih bahagia. Alih-alih saling menuntut, justru rasa ingin menjadi lebih baik satu sama lainnya timbul di saat kita bisa saling menerima kekurangan.
Saya memang percaya, segala sesuatu ada tempatnya, dan segala sesuatu ada waktunya - termasuk jam dalam satu hari. Waktu yang ada dalam satu hari itu tetap, sementara kegiatan kita yang dapat mengisinya sangatlah banyak. Tapi, bukan berarti waktu yang kita miliki tidak bisa ditata. Justru waktu harus ditata agar kita dapat mengisinya dengan hal yang memang berarti. Untuk anak-anak, saya dan suami memberlakukan jadwal kegiatan yang perlu mereka lakukan sehari-hari. Bukan jadwal yang kaku tentunya. Anak-anak masih bisa memilih apa kegiatan yang ingin mereka lakukan terlebih dahulu. Namun memang, sejumlah kegiatan rutin seperti waktu tidur, makan, menonton tv, dan belajar, sudah ada aturannya akan alokasi waktu yang perlu mereka tepati. Misalnya untuk Lulla, anak pertama saya, yang harus berlatih menulis 15 hingga 30 menit setiap harinya karena memang sedang di tahap belajar menulis. Atau untuk si bungsu, Galan, dimana ia harus melakukan suatu kegiatan selain menonton TV setiap harinya seperti mewarnai dan menggambar.
Segala sesuatu ada tempatnya, dan segala sesuatu ada waktunya
Semua ini ada alasannya. Kedua anak saya masih di bawah 10 tahun atau yang diyakini sebagai masa-masa emas dan krusial dalam pembentukan kepribadian serta disiplin anak. Melalui adanya pembiasaan jadwal, saya ingin membentuk kebiasaan baik dan disiplin pada mereka. Tentu setelah 10 tahun, anak-anak saya memiliki kesempatan untuk mengatur sendiri jadwal hariannya. Tapi paling tidak, dengan bekal yang orangtuanya tanamkan, saya harap mereka telah memiliki fondasi kesadaran dan self control yang baik untuk menentukan langkah mereka sendiri. Hidup itu harus diatur, tidak bisa hanya ‘go with the flow’. Menurut saya, hanya ikan mati yang mengikuti arus. Ikan hidup, selalu berenang meskipun di air yang mengalir. Bahkan salmon, justru berenang melawan arus.
Hidup itu harus diatur, tidak bisa hanya ‘go with the flow’. Menurut saya, hanya ikan mati yang mengikuti arus. Ikan hidup, selalu berenang meskipun di air yang mengalir. Bahkan salmon, justru berenang melawan arus.
Segala aturan yang saya dan suami terapkan di rumah, memiliki tujuan untuk kebaikan bersama anggota keluarga. Kembali lagi pada premis bahwa segala sesuatu berawal dari rumah, pembentukan karakter tiap individu pun dimulai dari rutinitas yang dilakukannya di tempat ini. Bila setiap pribadi yang tinggal dalam satu rumah sama-sama memiliki kebiasaan yang baik serta saling mendukung satu sama lainnya, itu akan membentuk suasana nyaman di dalam rumah, yang tentunya akan berujung pada kebahagiaan penghuninnya. Rumah yang bahagia tidak tercipta bila kita tidak menata atau berusaha untuk memperolehnya. Untuk itulah saya yakin perlu ada semacam aturan yang disepakati oleh saya dan suami sehingga kami kompak menjalani kehidupan berumah tangga.
Bila setiap pribadi yang tinggal dalam satu rumah sama-sama memiliki kebiasaan yang baik serta saling mendukung satu sama lainnya, itu akan membentuk suasana nyaman di dalam rumah, yang tentunya akan berujung pada kebahagiaan penghuninnya.
Bila ditanya darimana asalnya semua pemikiran saya ini bermula, setiap buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pengaruh orangtua dalam menerapkan disiplin sebagai pembentukan karakter baik saat kecil, sangat membekas di diri saya. Gaya pengasuhan mereka tentu berpengaruh ke bagaimana saya menerapkan pola asuh pada anak-anak saya sendiri. Namun memang, tidak bisa seratus persen saya terapkan karena setelah menikah, saya dan suami menemukan nilai-nilai kehidupan kami sendiri yang dirasa lebih cocok diaplikasikan ke kehidupan sekarang. Harapan kami, semoga kelak saat anak-anak sudah siap terjun ke masyarakat, mereka telah memiliki bekal akan nilai-nilai baik dan upaya menata diri yang tertanam. Karena, kebahagiaan kita tidak bisa didefinisikan oleh orang lain, namun hanya bisa dicapai oleh diri kita sendiri seutuhnya.
Rumah yang bahagia tidak tercipta bila kita tidak menata atau berusaha untuk memperolehnya.