Sebagai praktisi komunikasi, pada dasarnya cara saya berkomunikasi saat bertemu dengan anggota keluarga sama halnya dengan bagaimana saya bertemu orang lain di panggung atau di depan kamera. Menjadi orang tua di era digital saat ini tentu saja menghadirkan tantangan baru, kemudahan memperoleh informasi membuat anak-anak sekarang jadi lebih mudah hilang fokus dan juga terpancing emosinya. Untuk itu sebagai orang tua saya berusaha menerapkan pola asuh yang membuat mereka nyaman untuk bercerita tetapi tetap bisa mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Saya memiliki 4 anak dari dua kelompok generasi yang berbeda, generasi Z dan generasi Alpha. Cara didiknya pun akan berbeda.
Menjadi orang tua di era digital saat ini tentu saja menghadirkan berbagai tantangan baru.
Mulai dari saat saya dan istri memutuskan untuk menikah, ada prinsip dasar yang kami sepakati melalui diskusi mengenai formula yang akan kita gunakan dalam mendidik anak. Kami berusaha mengambil pola asuh yang kami rasa baik dari orang tua saya dan istri saya. Orang tua saya adalah orang Sulawesi Utara yang sangat terbuka, sedangkan keluarga istri saya mendapatnya banyak pengaruh pola asuh dari Eropa Tengah dan Solo. Setelah memutuskan sepakat ingin memiliki anak, istri saya bilang bahwa ia tidak ingin menggunakan jasa baby sitter, ia ingin mengadopsi gaya pola asuh barat yang mengurus anak sendiri. Juga dengan catatan saya juga harus mau ikut mengurus, mulai dari memberi makan, hingga mengganti popok. Jadi, bonding kami dengan anak-anak sangat dekat.
Pada anak pertama kami Giulio yang sekarang berusia 23 tahun dan Marcio, anak kedua, berusia 20 tahun, kami menerapkan pola asuh yang seperti teman. Kami juga mengajarkan tough love, ada reward dan punishment. Mulai dari mereka kecil, katakanlah usia 5 tahun, kalau mereka menumpahkan makanan kami akan meminta mereka untuk mengambil lap dan membersihkannya. Tidak harus benar-benar bersih, paling tidak mereka punya rasa tanggung jawab akan apa yang mereka perbuat. Lain halnya dengan pola asuh yang kami terapkan pada Abielo dan Matacha yang sekarang berusia 16 dan 13 tahun. Kami menerapkan sisi mentoring pada mereka berdua.
Poin penting dalam pola asuh yang keluarga saya terapkan adalah dengan membiasakan open communication. Saya dan istri berusaha membiasakan anak-anak untuk bisa menjelaskan apa yang ada dipikiran kita, di sisi lain kami sebagai orang tua juga harus menyediakan diri untuk mau mendengar dan memahami isi kepala anak-anak kami. Ketika ingin mendiskusikan hal yang serius, saya juga biasanya meberikan sinyal terlebih dahulu kepada anak-anak. Contohnya dengan menanyakan apakah mereka punya waktu di sore hari, karena saya mau bicara. Dengan begitu mereka datang dan duduk dengan mindset siap untuk berdiskusi.
Poin penting dalam pola asuh yang keluarga saya terapkan adalah dengan membiasakan open communication. Saya dan istri berusaha membiasakan anak-anak untuk bisa menjelaskan apa yang ada dipikiran kita, di sisi lain kami sebagai orang tua juga harus menyediakan diri untuk mau mendengar dan memahami isi kepala anak-anak kami.
Ketika berdiskusi saya juga berusaha sepenuhnya hadir dan benar-benar ingin memahami apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Setelah bisa memahami saya juga tidak lantas langsung mengutarakan apa yang saya siapkan di kepala, melainkan terlebih dahulu mencerna opini mereka baru setelahnya menjelaskan pendapat yang saya punya sebagai orang tua. Selain bersedia untuk mendengarkan, orang tua juga harus bisa memosisikan diri sebagai coach yang bisa memberikan padnuan pada anak-anak, tetapi saya akan membiarkan mereka mengambil keputusan sendiri dengan segala konsekuensi yang harus mereka tangggung.
Pada Juli 2019 lalu, saya dipercaya oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk datang ke beberapa daerah di Papua. Bertemu langsung dengan anak-anak di sana menghadirkan rasa syukur sekaligus sedih di dalam hati saya. Melihat bagaimana perbedaan yang dihadapi anak-anak saya di rumah dengan apa yang dirasakan oleh anak-anak di suku Asmat membuat saya merasa harusnya mereka bisa mendapat fasilitas yang lebih baik sebagai generasi yang anak meneruskan kelangsungan hidup mereka dan keluarga di masa mendatang. Berdasarkan akses transportasi saja, untuk menuju Asmat saya harus menempuh 6 jam perjalanan dengan pesawat dari Bali ke Jayapura, lalu perjalanan naik pesawat selama 45 menit menuju Timika. Setelahnya saya harus naik motor 15 menit, perahu boat selama 15 menit, untuk bisa sampai ke Daman. Bahkan kami harus menunggu dalam kegelapan selama hampir 2 jam untuk bisa sampai ke Asmat karena mesin kapal yang rusak.
Setelah melihat anak-anak di Amat harusnya anak-anak di kota besar lebih bisa mensyukuri fasilitas apa yang bisa mereka dapatkan. Anak kelas 4 SD di sana bahkan masih harus mengeja saat membaca. Berbeda dengan cara saya berkomunikasi dengan anak-anak saya di rumah, di Asmat saya harus memelankan tempo berbicara saya. Saya sempat berbagi bersama anak-anak di Asmat tentang mimpi yang mereka punya. Apakah mereka masih punya mimpi? Karena mereka terbiasa melihat pilihan pekerjaan yang sempit dari orang tua mereka yang kebanyakan bekerja di kebun. Sedih sekali memang, bahkan setelah 2 tahun hati saya rasanya masih tertinggal di sana.
Saya sempat berbagi bersama anak-anak di Asmat tentang mimpi yang mereka punya. Apakah mereka masih punya mimpi? Karena mereka terbiasa melihat pilihan pekerjaan yang sempit dari orang tua mereka yang kebanyakan bekerja di kebun. Sedih sekali memang, bahkan setelah 2 tahun hati saya rasanya masih tertinggal di sana.
Kebetulan saya dipercaya oleh WVI sebagai hope ambassador bersama beberapa figur yang lain, jadi setiap tahun kami diberi tugas untuk melakukan kunjungan sosialisasi dan apa yang kami punya, saya berbagi ilmu komunikasi, saya juga punya beberapa anak asuh. Pertama kali saya jadi orang tua asuh, saya dapat surat dari mereka, sedih, terenyuh dan bahagia adalah emosi yang saya rasakan. Berkesan sekali melihat perkembangan mereka melalui surat yang mereka kirimkan.
WVI sedang membuat program peningkatan literasi untuk anak-anak di sana dan juga pelatihan pendampingan. WVI juga sudah bekerja sama dengan sekolah-sekolah dengan 4 kampung di Asmat, Wase, Damen, Birak, dan Primapun, Uskupan Agats. Bantuan dibagikan dengan membangun perpustakaan, meski dengan buku bacaan yang masih terbatas, pengadaan alat peraga belajar dan alat permainan edukatif. program peningkatan edukasi ini masih akan terus berjalan sampai 1 tahun ke depan dan mungkin bisa berlanjut lagi kita lihat perkembangannya. Saya berharap melalui program WVI ini, anak-anak di daerah-daerah terluar Indonesia juga punya kesempatan yang sama untuk bisa punya kesempatan yang sama dalam meraih cita-citanya.