Berbicara tentang masa lalu memang terkadang bisa menimbulkan perasaan-perasaan emosional yang tidak dapat dihindari. Ketika ditanya soal masa kecil, kadang saya konstan bilang bahwa masa kecil saya kurang bahagia. Meski sekarang saya tidak lagi menyimpan dendam pada pengalaman saya di masa kecil namun memang banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dan diingat sebagai rambu-rambu saya dalam berperilaku di masa kini. Masa di mana saya sudah berkeluarga, dan memiliki empat orang anak.
Faktanya adalah saya baru saja bertatap muka dengan ayah kandung saya sebenarnya belum begitu lama. Beberapa tahun lalu. Ketika saya sudah berkeluarga dan menjadi ayah. Kala umur dua tahun saya hidup terpisah dengan ibu dan baru kembali padanya kurang lebih ketika berusia enam tahun. Selama itu saya selalu bertanya-tanya pada diri: “Siapakah saya sebenarnya?” “Dari mana asal usul saya?” Secara tidak sadar kala belia saya selalu mencari jati diri, identitas saya yang sebenarnya. Begitu pula ketika saya kembali berkumpul bersama Mama –begitu panggilan saya padanya. Harapan saya untuk mengetahui siapa saya sebenarnya, seperti apa keluarga yang menyayangi seakan-akan selalu ingin dipenuhi.
Wajar saja, ketika masih kecil rasa keingin-tahuan kita pasti amat tinggi. Begitu pun saya yang ingin mengenal Mama – juga Papa meski Mama tidak pernah membicarakannya. Saya merasa kehilangan kedua sosok. Terutama ketika tinggal di rumah saya merasa amat berbeda dengan Mama. Beliau adalah seseorang yang dibesarkan dalam lingkup yang cukup disiplin dan memiliki idealisme tersendiri di mana adat ketimuran begitu kental. Baginya yang paling penting adalah sekolah, mencari pekerjaan yang layak, hidup sejahtera dengan kemapanan hidup. Sedangkan saya tahu bukan itu yang saya cari dalam hidup. Saya ingin menjalani hidup yang dapat membuat saya bahagia, menikmati kehidupan itu secara utuh beserta pengalaman-pengalaman yang unik dan berbeda.
Saya ingin menjalani hidup yang dapat membuat saya bahagia, menikmati kehidupan itu secara utuh beserta pengalaman-pengalaman yang unik dan berbeda.
Rasa-rasanya inilah yang mungkin membuat kami sulit sejalan. Meski usia saya masih sangat kecil saat itu tapi saya merasa kami kurang sepaham dalam banyak hal. Ekspektasi yang menginginkan beliau untuk “menyayangi” seperti yang diharapkan pun akhirnya membuat saya kecewa. Saya seakan-akan merasa tidak dicintai, tidak diterima. Bahkan pernah saya berpikir bahwa saya tidak diinginkan oleh Mama karena dititipkan pada keluarga lain. Emosi-emosi ini jugalah yang mempengaruhi kepercayaan diri saya hingga kehilangan jati diri. Mulailah perjalanan saya mencari perhatian dengan kenakalan-kenakalan yang tidak biasa. Untuk bisa disorot oleh sekitar saya seringkali terlibat dalam kekerasan bahkan pernah mencuri buah dari kebun tetangga. Pun pernah saya membentuk satu kelompok yang selalu menjadi pusat perhatian karena kenakalan kami. Hanya untuk merasa punya kekuatan. Punya kendali akan diri sendiri dan orang lain untuk memberikan perhatian.
Meskipun begitu, hati kecil saya sebenarnya seringkali bilang: ”Ada yang salah dengan saya. Apa yang saya lakukan ini salah." Saya tidak menggunakan nalar saya saat itu karena mengedepankan ego. Kita memang sebagai manusia sering lupa kalau kita punya nalar tersebut. Apalagi ketika terjerumus pada emosi-emosi yang dapat menenggelamkan diri pada pemikiran negatif. Itu juga yang akhirnya mendorong saya untuk keluar dari rumah ketika saya tak lagi hendak melanjutkan sekolah. Saya keluar dari rumah ketika berumur sekitar 14 tahun untuk menantang dunia. Menurut saya sekolah tidak cukup memfasilitasi apa yang saya inginkan. Ketertarikan saya di dunia seni sudah begitu besar sedari kecil dan sekolah tempat saya belajar tidak dapat menyalurkan energi saya.
Sebegitu beraninya saya akhirnya menginap dari satu musala ke musala lain, dari rumah teman satu ke rumah teman lain. Bekerja serabutan mulai dari menjadi tukang parkir, pengamen hingga kuli angkut barang saya lakukan demi menyambung hidup. Hanya saja ternyata cukup beruntung karena sering diajak teman untuk mengerjakan event dan melibatkan saya menjadi kru di stasiun televisi, film dan majalah. Walaupun pekerjaannya hanya pekerjaan kasar. Ternyata dari sanalah pintu karir saya menjadi aktor terbuka.
Jika sekarang diminta mengingat masa lalu, saya sadar ternyata memiliki trauma masa kecil yaitu kekerasan. Di masa dewasa saya senang sekali merusak apapun. Memiliki emosi yang berlebihan. Sebelum saya berkeluarga, saya mudah sekali memukul orang, menghancurkan barang. Sangat adiktif dengan kekerasan. Saya sulit sekali percaya bahwa hidup akan baik-baik saja. Jadi sebelum orang lain yang merusak saya lebih dulu merusaknya. Saya pikir itu semua berkaitan dengan emosi yang tidak dapat saya luapkan pada orangtua. Merasa berbeda dari orang lain yang memiliki keluarga utuh dan saling mencintai.
Sebelum akhirnya berkeluarga, saya sulit sekali percaya bahwa hidup akan baik-baik saja.
Namun semua itu berubah ketika saya berkomitmen dengan istri untuk membina keluarga. Awalnya keinginan berkeluarga pun sebenarnya berasal dari dendam. Secara tidak sadar saya merasa ingin menunjukkan pada orang tua saya bagaimana memiliki keluarga yang harmonis. Bagaimana bertanggung jawab pada anak-anak. Bagaimana mencintai anak-anak. Hingga saat memiliki anak saya sadar bahwa semua itu sudah tak lagi penting karena saya akhirnya mulai percaya bahwa hidup tidak selamanya tak adil. Tak melulu sulit. Butuh waktu memang untuk membaik tapi dibutuhkan keinginan dari diri sendiri untuk berubah. Tapi saya paham bahwa kita harus memutus siklus yang diturunkan orangtua. Apabila orang tua telah melakukan sesuatu kesalahan pada kita di masa lalu, kita sebaiknya tidak menurunkan itu pada anak kita nantinya. Cukup kita saja yang merasakan. Kita justru harus menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk anak kita sendiri. Merefleksi apa yang kita rasakan dulu. Apabila kita tidak suka dipukul atau dibentak maka jangan lakukan itu pada anak. Kita saja tidak suka, kan?
Bahwa hidup tidak selamanya tak adil. Tak melulu sulit.
Anak-anak jugalah yang akhirnya membantu berdamai dengan Mama. Saya mulai menjadi orang yang mendengarkan. Menghindari argumen dengannya hingga beberapa bulan sebelum beliau meninggal terucaplah kata maaf darinya. Kami sama-sama menguntai kata maaf dan melepas segala dendam, amarah, benci. Hilanglah sudah semua beban yang memberatkan diri saya selama ini karena akhirnya bisa benar-benar memaafkan masa lalu. Bagai semesta melihat betapa saya sudah berdamai dengan dunia, pun datanglah kesempatan untuk mengenal ayah. Kami dipertemukan lewat media sosial setelah saya mencari ke sana-sini. Kami berkomunikasi kembali dan bertatap muka. Merasa seperti asing, jujur. Tapi tak ada emosi-emosi yang mengganggu. Saya sudah membuang seluruh ekspektasi padanya dan memang tulus ingin mengenal saja. Seiring berjalannya waktu, kami menjalin hubungan yang lebih baik secara perlahan.
Apabila orang tua telah melakukan sesuatu kesalahan pada kita di masa lalu, kita sebaiknya tidak menurunkan itu pada anak kita nantinya.
Saya ingat pernah berkonsultasi dengan psikolog sesaat saya sadar ingin berubah. Terdapat tes yang meminta saya untuk menuliskan daftar sifat atau sikap yang baik dan buruk. Ketika menulis keburukan, daftarnya amat panjang. Tapi kemudian saya kesulitan menuliskan kebaikan saya bahkan mempertanyakan kembali apakah saya memiliki sifat tersebut. Di saat itu juga saya akhirnya mengerti bahwa saya tidak mencintai diri dan selalu menganggap diri sendiri buruk. Hal ini kemudian mengantar saya pada pergantian nama asli ke nama saya yang sekarang. Sebagai simbol bahwa saya ingin menjadi pribadi yang baru. Memulai sesuatu yang baru dengan baik dan telah mengikhlaskan masa lalu.
Akan tetapi saya tahu tidak mungkin seseorang bisa benar-benar sembuh total akan trauma yang dialami. Pasti masih ada yang tersisa. Hanya saja saya memahami bahwa pada akhirnya tidak ada yang benar-benar luar biasa. Di akhir hayat kita hanya menjadi tubuh yang dikubur dan kita harus menikmati apa yang dijalani sekarang. Semaksimal mungkin mencoba berguna bagi sekitar kita tidak cuma meratapi kesedihan atau kesalahan yang sudah terjadi. Justru menyebarkan hal-hal positif. Ya, jangan selalu berpikir untuk mengubah dunia. Ubah diri sendiri saja dulu. Ketika kita menjadi lebih baik dan positif lingkungan pun akan berubah mengikuti. Seperti juga halnya saat saya menerapkan pada anak-anak. Saya memutus rantai kesedihan yang dialami dulu sehingga sekarang saya lebih suka bertanya pada anak-anak apa yang mereka mau apa yang membuat mereka bahagia.
Ya, jangan selalu berpikir untuk mengubah dunia. Ubah diri sendiri saja dulu.
Tak dipungkiri anak-anak saya lah yang menjadi sumber kekuatan dan obat untuk terus menjadi pribadi yang baik dan positif. Setiap anak memberi pelajaran yang berbeda-beda. Mereka mengajarkan saya untuk lebih beradab, menjaga sopan santun dalam keseharian, untuk ikhlas dan menerima orang lain apa adanya serta mendorong saya untuk memandang dunia lebih positif dan meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja asal kita tulus dan iklhas menerima segala sesuatu yang terjadi di masa kini. Semua inilah yang menjadi pengingat setiap hari. Untuk selalu konsisten dengan apa yang sudah diputuskan, bertanggung jawab dengan keputusan tersebut. Untuk menjalani hidup di masa sekarang dan tidak memendam masa lalu.
Anak-anak saya lah yang menjadi sumber kekuatan dan obat untuk terus menjadi pribadi yang baik dan positif.