Kehidupan manusia memang terus berevolusi dan kompleks. Manusia akan selalu berhadapan dengan ketidakpastian karena hidup kita sangat dinamis, hal ini juga termasuk ketika kita berbicara tentang hubungan pernikahan. Seiring dengan pertambahan usia, fisik dan cara pandang kita dalam melihat sebuah situasi juga turut berubah. Apalagi saat kita berbicara mengenai emosi dalam diri. Contohnya, kita bisa saja sedang bergembira karena suatu pencapaian dalam karir, lalu kemudian berubah drastis karena mendengar berita kurang menyenangkan dari keluarga.
Setiap individu pasti memerlukan proses untuk beradaptasi dengan segala perubahan yang ada baik secara eksternal maupun internal. Saat memutuskan untuk menikah, memiliki tujuan yang disepakati bersama akan sangat membantu kita untuk saling berkompromi. Pada dasarnya, kompromi berkaitan erat dengan komitmen.
Kalau kita menjalankan pernikahan dengan penuh kesadaran atau conscious marriage, kita akan memiliki tujuan bersama yang jelas. Sehingga, masing-masing individu memiliki sudut pandang yang sama dalam memutuskan untuk berkompromi saat menghadapi perubahan. Biar bagaimana juga, sebuah hubungan pernikahan dijalani oleh dua individu yang berbeda. Dua individu yang unik dan di tengah perjalanan bisa saja terjadi perubahan.
Untuk bisa melihat batasan berkompromi dalam pernikahan, kita bisa berkaca pada tujuan pernikahan yang sudah disepakati. Kalau masih sama-sama ingin mencapai tujuan tersebut, maka mungkin harus melihat kembali bagaimana wujud dari komitmen untuk mencapai tujuan bersama. Saat terjadi masalah dalam pernikahan, coba duduk bersama dan saling evaluasi apa yang sebenarnya terjadi dan apakah masalah tersebut masih bisa dimaafkan dan dikompromikan atau memang sudah tidak bisa lagi mendapat kesepakatan bersama.
Saat terjadi masalah dalam pernikahan, coba duduk bersama dan saling evaluasi apa yang sebenarnya terjadi dan apakah masalah tersebut masih bisa dimaafkan dan dikompromikan atau memang sudah tidak bisa lagi mendapat kesepakatan bersama.
Menurut saya, memaafkan sebetulnya adalah bentuk self-love dan self-respect. Memaafkan adalah tentang menghargai dan mencintai diri kita sendiri. Saat kita tidak memaafkan orang lain, biasanya ada kemarahan yang tinggal di dalam hati kita, dan ini bisa berdampak dan mengganggu sel-sel tubuh kita. Tentu ini juga akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental kita, maka memaafkan pada dasarnya adalah kebaikan yang kita berikan kepada diri kita sendiri, bukan orang lain.
Meminta maaf juga demikian. Meminta maaf adalah bentuk self-honored dan self-respect. Meminta maaf adalah manifestasi dari sifat rendah hati, bentuk penghargaan terhadap diri kita sendiri. Hanya orang yang rendah hati yang memiliki akal budi sehat dan salah satunya ditunjukan dengan kemampuan untuk bisa meminta maaf dan memaafkan. Jadi ini bukan untuk orang lain, adapun mereka berubah itu bukan karena kita tapi keinginan dari dalam diri mereka sendiri. Kita tidak akan pernah mengubah orang kalau mereka tidak mau berubah.
Meminta maaf adalah manifestasi dari sifat rendah hati, bentuk penghargaan terhadap diri kita sendiri. Hanya orang yang rendah hati yang memiliki akal budi sehat dan salah satunya ditunjukan dengan kemampuan untuk bisa meminta maaf dan memaafkan.
Konsep hubungan pernikahan berkesadaran atau conscious marriage, pada dasarnya terdiri dari tindakan preventif, proaktif, dan kuratif. Di buku saya sebelumnya, “Untuk Apa Menikah”, saya banyak membagikan gagasan mengenai nikah berkesadaran. Berisi tindakan preventif meliputi cara membangun komunikasi yang baik bersama pasangan. Juga mengenai tips untuk merumuskan tujuan bersama dalam pernikahan. Buku ini juga membahas tindakan proaktif, mengenai bagaimana kita memahami konsep nikah berkesadaran serta tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi dalam sebuah penikahan. Termasuk bagaimana cara menunjukkan dan berkomitmen dalam menunjukkan rasa cinta pada pasangan.
Buku terbaru saya, “Untuk Apa Bertahan”, akan lebih banyak membahas mengenai tindakan kuratif dalam sebuah hubungan pernikahan. Terutama bagi pasangan yang sudah mengalami tantangan maupun masalah dalam pernikahan. Jika melihat judul “Untuk Apa Bertahan” bisa diartikan dalam dua cara. Pertama, untuk apa bertahan dari sudut pandang pasangan yang sedang mencari jawaban mengenai apa gunanya bertahan dalam sebuah hubungan, apakah hubungan ini harus dipertahankan atau tidak. Kedua, saat sebuah pasangan sedang mengalami keraguan untuk melanjutkan sebuah penikahan.
Melalui buku “Untuk Apa Bertahan”, saya berharap para pembaca bisa mendapat bimbingan dalam menjalani pernikahan dengan penuh kesadaran. Juga memahami konsekuensi yang akan dihadapi saat menjalani pernikahan tanpa kesadaran. Buku ini saya tulis untuk menjadi referensi bagi para pembaca. Menikah itu butuh ilmu, butuh wawasan, maka buku ini bisa jadi referensi kekayaan intelektual bagi anda.
Selain itu, buku ini juga bisa dijadikan pertolongan pertama bagi sebuah hubungan penikahan yang sedang dihadapi konflik, karena tidak semua orang mau dan memiliki akses untuk datang ke konselor pernikahan. Saya harap buku ini bisa jadi bahan renungan dan ilmu pengetahuan untuk menjalankan pernikahan yang sehat.
Pernikahan yang sehat lahir dari hubungan individu yang sehat. Saat masing-masing individu bisa saling mencintai, menghargai, dan memahami satu sama lain. Bisa merasa bahwa dirinya berharga dan berada di tempat yang aman. Pernikahan yang sehat dapat terjadi ketika masing-masing individu siap untuk terus bertumbuh, berkembang, dan berubah bersama-sama. Juga terus menghidupi nilai-nilai yang sudah disepakati bersama.
Pernikahan memang penuh perjuangan, tapi menyenangkan kalau dijalani berdua, saling mendukung dengan hati yang lapang.