Circle Planet & People

Kisah Si Bos Besar

Di kantor, saya adalah seorang bos (setidaknya salah satu dari dua pemimpin dari sebuah perusahaan). Saya punya puluhan anak buah, punya banyak relasi, dan punya banyak teman yang memiliki usaha masing-masing. Saya selalu menjaga reputasi perusahaan. Ada banyak aturan yang saya buat di kantor. Saya juga mengatur laju perusahaan, meningkatkan efisiensi (bahasa lain pemborosan), ingin membuat anak buah saya senang, dan lain-lainnya.

Saya merasa nyaris sempurnya. Ingat, saya menulisnya dengan pilihan kata ‘nyaris’. Tapi di rumah saya, predikat bos itu tidak berlaku lagi. Saya seperti bukan siapa-siapa. Bahkan jauh dari itu.  

Ada bos yang lebih besar besar dari saya. Semua permintaannya tidak mungkin saya abaikan begitu saja.

Sebenarnya, dia tidak banyak perintah. Cenderung tidak banyak cing-cong. Ya, satu-dua kali memang terdengar dia bersuara minta dibukakan pintu, meski tidak rutin saya siap sedia untuk menyiapkan makanan kesukaanya, atau, terkadang camilan kesukaannya. Pun dalam keadaan kantuk yang berat, jika dia minta dibukakan pintu, apa yang bisa saya lakukan selain jalan terhuyung-huyung meraih gagang pintu?

Dia memang sibuk. Jadwal kerjanya padat. Selain memantau seisi rumah, dia punya urusan lain dengan ‘gerakan pengacau bawah tanah’. Jadi, bos kita yang satu ini tidak sungkan untuk body contact dengan para preman.  

Untuk bos yang bekerja di rumah, dia tampak disiplin. Mondar-mandir memantau kegiatan seluruh isi rumah. Bolak-balik seperti kepala sekolah yang memantau tiap kelas murid-muridnya. Setelah itu dia benar-benar ngantor. Hilang beberapa jam, muncul lagi sekadar ingin makan siang.

Aturan bos selalu benar, dan ini memang benar-benar berlaku. Ini urutan nomor satu. Kalau aturan nomor berikutnya tersilap, ingat aturan nomor satu tadi.

Saat asisten rumah tangga kami baru saja membersihkan lantai rumah, bos besar bisa seenaknya melintas tanpa permisi. Jalan melenggak-lengok bagai pragawati papan atas, wajah lurus ke depan saat kaki melangkah, dan pantatnya bergerak seirama langkah-langkah kakinya. Belum lagi urusan tidur. Seisi rumah akan maklum semaklum maklumnya maklum bila saja dia duduk dan tidur di atas meja. Atau, jika-seandainya-apabila-bilamana, dia  muntah di atas meja itu sah-sah saja. Semua boleh. Tak ada yang bisa mencegahnya. Ingat aturan nomor satu.

Baru-baru kali ini bos besar menghilang. Tidak tanggung-tanggung, empat hari dia menghilang. Seisi rumah dibuatnya bingung. Pas dia kembali, dia tampak sakit. Ternyata kaki-kakinya terluka. Ada ikatan karet yang terlampau kencang, sehingga membuatnya menderita infeksi sekunder.

Si bos besar jatuh sakit. Ada orang yang belum kami ketahui siapa, telah melukai kaki-kakinya. Melihatnya dalam keadaan sakit, saya seperti ikut sakit. Kakinya berdarah, saya pun merasa ikut nyeri. Ketika dia menggerakan kakinya penuh dengan rona muka yang tak enak, saya yang ikut jeri. Dia tak enak makan. Saya jadi sulit tidur. Bermalam-malam saya menderita insomnia temporer. Sempat terpikir, bagaimana kalau si bos besar harus dimputasi. Amit-amit. Jangan sampai kejadian.  

Dan benar saja, klinik pertama menyarankan untuk dua kakinya harus diamputasi. Tidak ada pilihan lain. Langit  terasa ambyar. Ambuknya seperti membuat saya hancur berkeping-keping. Saya sedih. Saya dilanda perasaan gundah-gulana. Saya butuh pencerahan. Badan seperti meriang. Celekit-celekit tanpa sebab. Dan gampang ditebak, saya sempat jatuh sakit.

Saya butuh waktu untuk tenang. Sekedar mencari keteguhan hati. Bercerita pada diri sendiri, mengapa ada orang yang tidak berperikemanusiaan, hingga bos saya terluka. Saya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Sudah lama saya tidak berdoa ke rumah Tuhan. Setidaknya, di sanalah saya mendapatkan insting saya kembali. Saya benar-benar merasa seperti kucing, yang bergerak dengan insting. (Bos saya tidak pernah tahu, dan jangan sampai tahu kejadian ini).

Dari sana, saya seperti mendapat keyakinan: saya harus pencari second opinion. Mencari beberapa pendapat orang yang tepat, setidaknya pindah klinik. Saya sangat berharap ada jalan keluar selain mengamputasi dua kakinya. Kasihan dong, dia kan kerjaannya jalan modar-mandir mengawasi seisi rumah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bila dua kakinya di.... AH, TIDAK!!

Setelah pindah klinik, bos saya mendapatkan dokter yang lebih tepat. Insting saya benar. Tuhan terima kasih. Terima kasih atas insting yang Kau berikan.   

Salah satu kakinya diamputasi. Kaki yang lain perlu pengobatan yang intensif, dan sedikit demi sedikit mulai kembali pulih.

Memperbaiki lebih rumit daripada merusaknya.

Dengan kejadian besar yang menimpa bos besar saya di rumah ini telah mengajarkan saya bahwa, memperbaiki lebih rumit daripada merusaknya. Sampai saat ini saya masih belajar untuk memaafkan siapa manusia yang tidak ‘berperikebinatangan’ itu. Sulit. Berat. Tapi saya akan terus berusaha. 

Saat ini, bos besar tengah menjalani masa penyembuhan. Kaki depan sebelah kiri diamputasi sampai pergelangan ujung kaki. Sudah pasti paw-nya juga hilang. Kaki depan sebelah kanan, dan kaki belakang sebelah kiri masih sempurna, karena tidak ada luka sama sekali. Kaki belakang sebelah kanan masih diperban, tidak perlu diamputasi. Ekornya masih sempurna. Bulu di bagian bawah sebagian dibotaki, dibersihkan. Nanti juga tumbuh lagi. Dia mulai lancar jalan. Mulai lahap makan dryfood.  Sebentar lagi pasti bisa lari ke sana ke mari. Dan mungkin, di bulan-bulan berikutnya sudah mau main di genting lagi di jam-jam ‘ngantor’-nya.

Saya yakin, bos besar saya ini tahu persis siapa manusia yang tega telah melukainya. Dia pasti pernah menatap mata orang yang mengaretinya sampai luka dalam. Seandainya di masa datang orang itu melintas, dan orang itu pas berada di dekat bos besar saya ini, tidak akan pernah ujug-ujug bos saya akan mencakar dan menggit orang itu. Meski mereka pasti pernah saling tatap, atau, setidaknya  mereka pernah saling tangkap kerling sinar di manik mata masing-masing. Bos saya pasti tidak akan pernah lupa siapa orang itu. Dan, orang itu pasti akan ingat apa yang telah dia perbuat pada bos saya.

Tapi, bos saya tidak akan pernah dendam. Bos saya bukan tipe mahluk yang asal main cakar, jika tidak ada perkara duluan. Percayalah. 

Sekarang saya bertanya pada diri sendiri, siapakah yang lebih buas? Binatang, atau manusia?

Sekarang saya bertanya pada diri sendiri, siapakah yang lebih buas? Binatang, atau manusia?

Related Articles

Card image
Circle
Perjalanan Menemukan Makna dan Pentingnya Pelestarian Budaya

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kadang kita lupa bahwa pada akhirnya yang kita butuhkan adalah kembali ke akar budaya yang selama ini sudah ada, menghidupi kembali filosofi Tri Hita Karana, di mana kita menciptakan keselarasan antara alam, manusia, dan pencipta. Filosofi inilah yang coba dihidupkan Nuanu.

By Ida Ayu Astari Prada
25 May 2024
Card image
Circle
Kembali Merangkai Sebuah Keluarga

Selama aku tumbuh besar, aku tidak pernah merasa pantas untuk disayang. Mungkin karena aku tidak pernah merasakan kasih sayang hangat dari kedua orang tua saat kecil. Sejauh ingatan yang bisa aku kenang, sosok yang selalu hadir semasa aku kecil hingga remaja adalah Popo dan Kung-Kung.

By Greatmind
24 November 2023
Card image
Circle
Pernah Deep Talk Sama Orang Tua?

Coba ingat-ingat lagi kapan terakhir kali lo ngobrol bareng ibu atau bapak? Bukan, bukan hanya sekedar bertanya sudah makan atau belum lalu kemudian selesai, melainkan perbincangan yang lebih mendalam mengenai apa yang sedang lo kerjakan atau usahakan.

By Greatmind x Folkative
26 August 2023