Circle Love & Relationship

Ketidaksempurnaan Orang Tua

Saskhya Aulia Prima

@saskhya

Psikolog Anak & Keluarga

Menjalani kehidupan itu bagai membawa ransel yang kian kita bertumbuh isinya makin banyak, makin berat. Sehingga terkadang kita harus memilah mana beban yang sebaiknya kita keluarkan dari ransel agar bisa melangkah lebih ringan. Kita seringkali terjebak karena tidak sadar atau tidak tahu bahwa otak lebih mudah menyimpan ingatan yang cenderung negatif. Jadi tanpa sadar kita sulit untuk move on, berjalan ke depan karena menikmati ingatan-ingatan negatif tersebut yang menjadikan kita sebagai korban. Secara tidak sadar pula kita menikmati perhatian yang diberikan orang lain ketika kita memainkan peran menjadi “korban”, yang tersakiti. Kemudian seringkali kita berujung terjebak menganalisa masa lalu dengan ingatan buruk tersebut yang akhirnya membuat kita diam di tempat dan tidak hidup di masa kini.

Sebagian dari kita mungkin berpikir bahwa diri kita yang sekarang merupakan seseorang terbentuk dari masa lalu kita. Akan tetapi yang sering terlupakan adalah kita selalu punya pilihan untuk berubah dan terlepas dari kehidupan masa lalu. Sampai-sampai kita sering menduga bahwa situasi yang kita jalani saat ini sudah pasti disebabkan oleh perlakuan orang tua di masa lalu, Bahkan ketika ada situasi yang tidak ideal kita masih menyalahkan mereka. Kadang kita terlalu sering melihat ke belakang dan terjebak di sana. Padahal ada hidup yang harus kita jalani hari ini di mana hidup itu sekarang menjadi tanggung jawab kita sendiri. Kalau kita terus-menerus mencari kambing hitam akan kejadian kurang baik yang dialami saat ini, beban dalam ransel kita akan terus bertambah berat dan memperlambat pergerakan. Betul kita punya masa lalu, namun bukan berarti kita harus selalu memelajari masa lalu karena kita selalu punya pilihan untuk belajar keluar dari masa lalu.

Sebagian dari kita mungkin berpikir bahwa diri kita yang sekarang merupakan seseorang terbentuk dari masa lalu kita. Akan tetapi yang sering terlupakan adalah kita selalu punya pilihan untuk berubah dan terlepas dari kehidupan masa lalu.

Tidak sepenuhnya salah ketika kita merasa terjebak menjadi seseorang yang kurang sesuai harapan karena pola pengasuhan orang tua kita. Namun, sesekali kita dapat mencoba berlatih memahami dan menyadari bahwa setiap orang punya kesulitannya masing-masing, tidak terkecuali orang tua kita. Orang tua kita juga sempat berada di posisi kita dulu. Mereka pun memiliki beban luka batin dari pengasuhan di masa lalu mereka saat masih kanak-kanak. Ketika menjadi orangtua mereka kebingungan karena harus menghadapi pergantian zaman yang berubah-ubah juga. Mereka harus melewati berbagai macam percobaan dalam menerapkan pola pengasuhan yang dirasa paling tepat dan baik untuk kita. Perubahan zaman yang ada seringkali membuat cemas dan sulit memprediksi serta memahami situasi yang dihadapi. Belum lagi tidak ada sekolah menjadi orangtua dan juga tidak adanya arahan serta indikator yang jelas 100% dalam mengasuh anak. Kita perlu menyadari dan mengingat bahwa masa lalu tidak dapat diubah dan berada di dalamnya terlalu lama hanya akan menghalangi jalan kita melihat kesempatan dan kebenaran baru. Nantinya dapat membuat kita semakin sulit memiliki rasa bersyukur. Padahal bersyukur adalah sebuah pintu bagi kita untuk dapat melihat sisi yang lebih terang dari segala masalah yang sedang dihadapi.

Sedangkan kalau kita selalu fokus berandai-andai mempertanyakan, “Bagaimana ya nasibku kini seandainya dulu orang tuaku kaya raya? Pasti hidupku tidak seperti sekarang”, atau “Bagaimana kalau dulu orang tuaku tidak bercerai? Pasti hidupku lebih bahagia”, kita dapat terjebak dalam perasaan ketidakbahagiaan yang terus-menerus. Kita menjadi terus mencari-cari alasan untuk hidup dalam kesedihan dan kekecewaan di saat kita sebenarnya bisa berpikir dari sudut pandang lain. Padahal lagi-lagi kita tidak bisa meramal dan tidak akan pernah tahu kalau memang yang kita harapkan dulu benar-benar terjadi akan seperti apa hidup kita sekarang? Apakah betul kita menjadi lebih bahagia? Bisa jadi mungkin malah kita kehilangan atau tidak akan mendapat kesempatan yang sudah dimiliki saat ini. Mempertanyakan “bagaimana kalau” hanya akan membuat kita selalu mencari sesuatu untuk disalahkan. Entah nanti bukan lagi orang tua yang disalahkan tapi pasangan, pekerjaan, bos, atau bahkan ke anak kita nanti.

Dengan berlatih mengikhlaskan masa lalu, menumbuhkan empati pada orang tua, dan berhenti menyalahkannya, kita bisa punya kesempatan untuk mulai memahami pola asuh seperti apa yang mungkin tidak akan membuat anak kita nantinya merasakan hal yang sama. Pertama-tama kita harus memahami di dua tahun pertama hidup seorang anak adalah fase terpenting dalam pembentukan kepercayaannya terhadap orang tua. Walaupun sebenarnya membentuk kepercayaan prosesnya tiada berakhir. Sehingga di setiap tahap usia anak akan selalu ada tantangan untuk membentuk kepercayaannya pada kita.

Dengan berlatih mengikhlaskan masa lalu, menumbuhkan empati pada orang tua, dan berhenti menyalahkannya, kita bisa punya kesempatan untuk mulai memahami pola asuh seperti apa yang mungkin tidak akan membuat anak kita nantinya merasakan hal yang sama.

Tentu saja wajar apabila anak dapat kecewa terhadap orang tua saat mereka tak lagi menyediakan tempat yang aman dan nyaman. Anak selalu berharap orang tua memberikan apa yang ia inginkan. Padahal mungkin tidak selalu anak mengetahui betul hal yang diinginkan. Oleh sebab itu, orang tua dan anak perlu bersama-sama belajar memiliki rasa kecewa, memahami bahwa dunia ini tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Ketika seorang anak bisa belajar dari orang tua cara untuk memroses dan mengendalikan kekecewaan tersebut, barulah anak bisa menavigasi kekecewaannya di dunia luar.

Kita tentu saja tidak bisa hidup tanpa konflik. Namun kita bisa mengatur cara kita melihat dan mengatur dosis konflik yang kita hadapi. Wajar kalau seorang anak selalu ingin orang tuanya mengerti dia dan menjadi naungannya. Akan tetapi rasa tidak dimengerti tersebut bisa jadi cara untuk belajar mengatasi rasa kekecewaan dan kesulitan lainnya. Sebagai orang tua menampilkan nilai ketidaksempurnaan bukan merupakan suatu kesalahan. Sebaliknya anak justru perlu melihat bahwa orang tuanya juga manusia biasa yang punya kekurangan. Oleh sebab itu, orang tua tidak perlu takut, gengsi, ataupun segan untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan atau ada sesuatu yang belum dipahami.

Salah satu kuncinya adalah komunikasi. Kepercayaan antara anak dan orang tua hanya akan terjalin jika ada komunikasi. Komunikasi dua arah, termasuk mendengarkan, bukan hanya selalu menyampaikan pendapat pribadi sehingga memberikan anak ruang yang aman dan nyaman untuk bercerita, untuk didengarkan. Barulah kemudian akan terbentuk koneksi emosional yang kuat antara keduanya. Dalam proses memahami anak, perlu untuk menyadari bahwa anak merupakan seseorang yang berbeda dan tidak harus bertumbuh sama seperti orang tuanya. Orang tua tidak bisa memperlakukan anak seperti mereka ingin diperlakukan sebab anak bukan representasi orang tua. Anak sendiri memiliki kompleksitas yang berbeda dengan orang tua. Perjalanan hidupnya bisa jadi sangat berbeda.

Kepercayaan antara anak dan orang tua hanya akan terjalin jika ada komunikasi. Komunikasi dua arah, termasuk mendengarkan, bukan hanya selalu menyampaikan pendapat pribadi sehingga memberikan anak ruang yang aman dan nyaman untuk bercerita, untuk didengarkan.

Belum lagi pada tiap tahap usia ada perbedaan cara otak berpikir dan kematangan psikologis yang berbeda. Sehingga orang tua sebaiknya tidak menaruh ekspektasi yang tidak masuk akal apalagi yang tidak merefleksikan kebutuhan anaknya. Sesederhana menginginkan anak bisa berhenti menangis sendiri tapi tidak menanyakan atau berusaha memahami apa yang dibutuhkannya. Situasi seperti inilah yang sebenarnya yang merupakan salah satu akar potensi bagi anak menyalahkan orang tua di kala dewasa. Anak pada dasarnya tetap perlu merasakan keseimbangan dari respon orang tua dalam menunjukkan rasa kasih sayangnya pada mereka sembari memberikan kebebasan sesuai porsi yang dibutuhkannya.

Related Articles

Card image
Circle
Perjalanan Menemukan Makna dan Pentingnya Pelestarian Budaya

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kadang kita lupa bahwa pada akhirnya yang kita butuhkan adalah kembali ke akar budaya yang selama ini sudah ada, menghidupi kembali filosofi Tri Hita Karana, di mana kita menciptakan keselarasan antara alam, manusia, dan pencipta. Filosofi inilah yang coba dihidupkan Nuanu.

By Ida Ayu Astari Prada
25 May 2024
Card image
Circle
Kembali Merangkai Sebuah Keluarga

Selama aku tumbuh besar, aku tidak pernah merasa pantas untuk disayang. Mungkin karena aku tidak pernah merasakan kasih sayang hangat dari kedua orang tua saat kecil. Sejauh ingatan yang bisa aku kenang, sosok yang selalu hadir semasa aku kecil hingga remaja adalah Popo dan Kung-Kung.

By Greatmind
24 November 2023
Card image
Circle
Pernah Deep Talk Sama Orang Tua?

Coba ingat-ingat lagi kapan terakhir kali lo ngobrol bareng ibu atau bapak? Bukan, bukan hanya sekedar bertanya sudah makan atau belum lalu kemudian selesai, melainkan perbincangan yang lebih mendalam mengenai apa yang sedang lo kerjakan atau usahakan.

By Greatmind x Folkative
26 August 2023