Tidak dapat dipungkiri orang tua berperan penting dalam hidup kita. Apa yang kita lihat dan dengar dari mereka bisa mempengaruhi beragam keputusan. Seperti dulu ketika kecil, aku ingat betul hampir setiap hari mama berkata, “Kalau sudah besar kamu harus bisa cari uang sendiri. Walaupun sudah menikah kamu harus tetap bekerja supaya merasa lebih dihargai. Suami istri harus bisa saling menghargai pendapat.” Lalu lama kelamaan beliau juga seakan membentuk standar hidupku. Bahwa perempuan harus pintar, harus bisa cari uang, dan harus bisa memimpin. Tanpa sadar wejangannya memenuhi ruang pikiranku dalam aspek akademik dan karier. Selama bersekolah aku berusaha menjadi seseorang yang stand out, berprestasi. Selesai S1 aku langsung melanjutkan S2 dan seusai lulus langsung menjadi dosen di umur yang baru 25 tahun.
Tidak dapat dipungkiri orang tua berperan penting dalam hidup kita. Apa yang kita lihat dan dengar dari mereka bisa memengaruhi beragam keputusan.
Lambat laun aku pun menyadari bahwa wejangan yang diberikan mama bukannya tanpa alasan. Sepertinya beliau ingin mendorongku untuk memiliki opsi lain ketika hendak berumah tangga. Supaya aku sebagai perempuan tidak hanya punya pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga —seperti beliau, tapi juga punya pilihan untuk bekerja dan menjadi ibu rumah tangga di saat yang sama. Kita tahu hubungan suami istri zaman dahulu dan sekarang pasti mengalami perubahan. Dulu kebanyakan orang mungkin menerapkan hanya pria yang mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah tangga saja. Tapi dunia berputar dan sekarang perempuan juga memiliki kesempatan untuk bisa mencari uang serta kebebasan lain yang dimiliki oleh pria.
Aku percaya setiap keluarga pasti punya nilai yang ingin dibangun bersama dan ini memang harus dibicarakan. Sejak awal pernikahanku dengan suami, kami ingin nilai kesetaraan dari berbagai aspek dihadirkan dalam keluarga. Artinya kami menilai satu sama lain sebagai partner yang punya kedudukan sama. Ketika punya pendapat, kita bisa saling menghargai. Tidak diam saja dan salah satunya tidak bisa bersuara. Kami sama-sama punya kebebasan berkeinginan, beropini dan berekspresi atas apa yang kami suka dan tidak suka. Segala yang kami rasakan dibicarakan bersama. Begitu juga soal merasa berdaya. Baik sehubungan dengan mengasuh dan membesarkan anak, urusan rumah tangga, hingga urusan menghasilkan uang. Apa yang dia bisa lakukan aku bisa lakukan dan sebaliknya.
Sejak awal pernikahanku dengan suami, kami ingin nilai kesetaraan dari berbagai aspek dihadirkan dalam keluarga. Artinya kami menilai satu sama lain sebagai partner yang punya kedudukan sama.
Memang dalam rumah tangga tidak bisa diukur 50-50. Tapi paling tidak semua pekerjaan rumah tangga bisa sama-sama kami lakukan. Faktanya yang membedakan antara pria dan wanita dalam berkeluarga hanyalah istri bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Sisanya suami juga bisa melakukan hal yang sama. Pertanyaannya adalah mau atau tidak, gengsi atau tidak, ego atau tidak. Pria bisa mengganti popok anaknya, main dengan anak sampai masak di rumah. Sehingga pria tidak lagi hanya merasa berdaya dengan ketentuan mencari nafkah. Sebaliknya, perempuan juga bisa merasa berdaya dengan kegiatan-kegiatan yang membuatnya dapat melakukan aktualisasi diri. Misalnya ikut kegiatan yang menambah ilmu atau kemampuannya, terlibat dalam komunitas hingga memiliki karier. Kebebasan untuk memiliki kegiatan aktualisasi diri ini bisa membuatnya merasa dihargai oleh sang suami.
Di rumah, aku dan suami berupaya untuk memperlihatkan bahwa apa yang ibu lakukan juga bapak lakukan. Soal mencari uang, main dan mengurus anak-anak kami melakukannya bersama. Kami berusaha untuk selalu satu suara ketika mengasuh anak-anak. Tidak ada good cop dan bad cop. Kalau mereka sedang melakukan pelanggaran tidak ada salah satu dari kami yang lebih melonggarkan. Tidak pernah ibu bilang boleh bapak tidak boleh. Akhirnya nanti mereka lebih memilih ke pihak yang membolehkan saja. Sebisa mungkin kami selalu selaras. Meskipun sebenarnya dalam mendidik kami punya nilai masing-masing yang ditularkan. Contohnya soal keberanian. Mereka akan lebih dapat dari suamiku karena dia lebih berani mengambil risiko. Sementara dariku mereka belajar tentang kebersihan dan disiplin. Dan kami sama-sama tidak saling intervensi saat anak-anak sedang bersamanya dan menerapkan nilai-nilai yang dia tularkan. Niscaya nilai-nilai yang berbeda ini dapat memperkaya anak-anak. Ada juga beberapa hal yang mereka dapatkan dariku tapi tidak dari bapaknya. Seperti pelajaran agama. Biasanya aku yang mengajarkan mereka belajar baca doa. Sedangkan dari bapaknya mereka mendapat pelajaran membaca dan mendengarkan. Suamiku adalah seseorang yang rajin membacakan buku kepada anak-anak. Hampir setiap malam. Sampai-sampai anak-anak jadi bisa baca dan bicara cukup cepat. Jadi kami punya kelebihan masing-masing untuk saling melengkapi.
Di rumah, aku dan suami berupaya untuk memperlihatkan bahwa apa yang ibu lakukan juga bapak lakukan. Soal mencari uang, main dan mengurus anak-anak kami melakukannya bersama. Kami berusaha untuk selalu satu suara ketika mengasuh anak-anak.