Definisi Ayah mungkin akan sangat beragam jika ditanyakan pada para pria. Tapi bagi saya menjadi sosok Ayah adalah menjadi seseorang yang harus berada kapanpun anaknya membutuhkan figur ayah itu sendiri. Meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk anak supaya mereka tahu semudah atau sesulit apapun masalah yang dihadapi sang anak, Ayahnya akan selalu ada di sana.
Belajar menjadi seorang ayah tentu saja tidak luput dari sosok ayah saya sendiri. Satu hal yang selalu ingat dari beliau adalah bagaimana beliau “mengajarkan” saya untuk menjadi nyaman dengan diri sendiri. Mengetahui potensi diri dan berusaha untuk tidak menyerah dengan potensi tersebut. Mungkin ayah saya tidak mengajarkan secara langsung tapi beliau menunjukkannya dengan perilaku sehingga saya melakukan observasi personal dan mencontohnya. Saya ingat betul bagaimana ayah saya ketika dulu masih bekerja dan menerima berbagai tekanan. Namun beliau tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan tersebut dan tahu benar bagaimana harus keluar dari sesuatu yang tidak baik. Beliau begitu berani untuk melakukan hal yang berseberangan dari tekanan tersebut meski harus mengorbankan laju karier saat itu.
Saya percaya bahwa setiap orang punya potensinya sendiri-sendiri dan harus percaya pada potensi tersebut tanpa peduli apa kata orang.
Begitulah yang saya terapkan pada diri sendiri sebagai ayah. Saya percaya bahwa setiap orang punya potensinya sendiri-sendiri dan harus percaya pada potensi tersebut tanpa peduli apa kata orang. Dengan demikian kita tidak akan mudah terpengaruh orang lain yang mungkin mau memaksakan pandangannya pada kita. Ini juga yang terjadi pada saya dan istri ketika kami memutuskan untuk berbisnis dan mengurus rumah tangga bersama, purna waktu. Banyak sindiran yang bilang: “Ayah itu yang harus bekerja dan Ibu yang mengurus rumah tangga”. Tapi saya punya keyakinan yang lain. Saya merasa kedua sosok, ayah dan ibu harus seimbang dan dapat melakukan keduanya.
Faktanya adalah budaya ayah bekerja dan ibu mengurus rumah tangga adalah tradisi turun temurun dari nenek moyang kita. Lama-kelamaan generasi sebelumnya menurunkan kebiasaan tersebut. Tapi yang namanya sebuah kebiasaan memang harus sering dipertanyakan apakah masih cocok di masa sekarang. Namun memang masih banyak ayah di luar sana yang berpikiran seperti ini. Bahkan sebagian dari mereka terlihat kurang suka melihat istrinya punya penghasilan atau karier. Menurut saya para ayah mungkin dapat mempertanyakan egonya sendiri apakah ego itu bisa berkontribusi membuat keluarga yang baik dan bahagia atau tidak. Dari waktu ke waktu kita memang harus sering mempertanyakan apakah yang kita lakukan sekarang itu sudah tepat atau belum, apakah masih ada cara yang lebih baik lagi.
Sama juga dengan pemikiran tentang pengertian nafkah yang sering dikonotasikan sebagai uang untuk bisa membeli kebutuhan jasmani. Tapi secara spiritual kita juga butuh asupan “makanan”. Sehingga definisi nafkah bisa kita perluas tidak hanya materi tapi secara spiritual, ketenangan mental, hal-hal yang berhubungan dengah rohani. Semua supaya keluarga kita ternafkahi secara penuh demi menjadi keluarga bahagia. Kalau kita ingin menginvestasikan waktu dengan keluarga, memberikan emosi yang membahagiakan untuk anak kita harus menginventasikan waktu bukan dengan membelikan mainan. Itulah mengapa pemahaman ayah sebagai kepala keluarga yang menafkahi sebenarnya tidak terbatas pada penafkahan secara uang aja namun juga hal yang non-materiil.
Kalau kita ingin menginvestasikan waktu dengan keluarga, memberikan emosi yang membahagiakan untuk anak kita harus menginventasikan waktu bukan dengan membelikan mainan.
Butuh perubahan paradigma untuk dapat menerapkan hal yang saya lakukan bersama istri ini. Alasan saya dan istri bisa mengurus rumah tangga dan bekerja dalam waktu yang sama adalah karena kami menemukan pekerjaan yang bisa lebih fleksibel. Kami berdua bisa kerja di mana saja. Fleksibilitas inilah yang memudahkan kami untuk fokus pada keluarga sehingga dapat berkontribusi penuh terhadap keluarga. Saya dan istri tidak membagi tugas. Kami sama-sama bekerja dan mengurus anak secara purna waktu. Bahkan jadwal keseharian kami mengikuti jadwal anak. Kalau anak-anak bersekolah dari pukul 7 pagi hingga 2 siang maka kami bekerja saat mereka ada di sekolah. Kalau mereka sudah di rumah kami fokus dengan anak-anak.
Anak tidak belajar dari apa yang kita ucapkan tapi apa yang kita lakukan.
Berbicara soal peran sebagai Ayah, saya mencoba untuk menerapkan bahwa ilmu yang dimiliki ayah atau bunda-nya mungkin berbeda tapi sama pentingnya. Jadi anak bisa belajar dari keduanya karena mereka belajar dari perilaku dan karakter bukan sekadar gender ayah atau ibunya. Seperti yang selintas saya utarakan sebelumnya. Anak tidak belajar dari apa yang kita ucapkan tapi apa yang kita lakukan. Kebetulan anak saya keduanya perempuan. Ibunya memang punya peran lebih dalam memberikan pengalamannya sebagai seorang wanita. Tapi kami juga memperllihatkan adanya kesetaraan gender. Kalau ada kesempatan ibunya memperlihatkan bagaimana dia bisa melakukan apa yang dilakukan pria. Contohnya menyetir. Kegiatan yang pada umumnya identic dilakukan oleh pria ini sesekali dilakukan ibunya. Begitu pun sebaliknya, kalau biasanya beres-beres identik dengan pekerjaan perempuan, justru di rumah saya melakukan kegiatan tersebut. Jadi kami menunjukkan bahwa setiap orang punya potensinya masing-masing baik pria maupun wanita. Dalam melakukan suatu pekerjaan akan sama saja.
Ilmu yang dimiliki ayah atau bunda-nya mungkin berbeda tapi sama pentingnya. Jadi anak bisa belajar dari keduanya karena mereka belajar dari perilaku dan karakter bukan sekadar gender ayah atau ibunya.
Alasannya adalah untuk mendorong mereka memahami bahwa setiap anak pun punya potensi masing-masing. Tugas saya sebagai orang tua adalah untuk mendorong anak menyalurkan potensinya. Kalau anak saya potensinya sebagai pemadam kebakaran dan memang itu yang baik untuknya saya pasti akan mendukung. Tidak peduli itu pekerjaan laki-laki atau bukan karena memang saya dan istri pun tidak pernah bilang: “ini pekerjaan laki-laki, ini perempuan.” Mereka pun bisa melihat bahwa pekerjaan rumah kami seimbang. Dua-duanya sama-sama bekerja, sama-sama mengurus rumah tangga.