Topik cinta tidak bisa dianggap sebagai topik yang remeh temeh, meski ada yang suka berpikir “Tidak ada yang lebih penting lagi ya untuk dibicarakan selain masalah cinta?”. Sebagian orang merasa membicarakan tentang hubungan asmara seperti menjadikan dirinya seseorang yang lemah. Padahal kualitas dan kepuasan seseorang terhadap hubungan asmaranya memengaruhi kesehatan mentalnya. Bahkan, hal tersebut juga berperan terhadap kesuksesan pencapaian tujuan hidup seseorang. Contohnya, belajar atau bekerja dapat terasa lebih sulit jika sedang patah hati. Sebaliknya, hubungan asmara yang harmonis serta pasangan yang suportif dapat mendukung seseorang mengatasi hambatan-hambatan hidup. Jika ada seseorang yang memutuskan hubungan karena ingin fokus pada karier, memang hubungan itu sendiri bermasalah, karena seseorang malah bisa mencapai tujuan hidup dengan lebih efektif kalau aspek percintaannya berjalan baik. Oleh karena itu kita tidak bisa mengeliminasi topik ini dari kehidupan kita.
Jika ada seseorang yang memutuskan hubungan karena ingin fokus pada karier, memang hubungan itu sendiri bermasalah, karena seseorang malah bisa mencapai tujuan hidup dengan lebih efektif kalau aspek percintaannya berjalan baik.
Hal itu juga yang menjadi salah satu motivasi saya membuat sebuah tayangan serial video yang menganalogikan cinta seperti bisnis, dilengkapi juga dengan beberapa teori psikologi yang mendasarinya. Diawali dengan pengalaman patah hati, saya merasa pembuatan video itu bisa menjadi sarana untuk menertawakan kegagalan percintaan diri sendiri, sekaligus menjadikan patah hati menjadi sesuatu yang produktif. Namun di saat yang sama, saya juga ingin membantu orang lain agar lebih memahami permasalahan percintaan yang terjadi di kehidupannya, atau bahkan sampai mengatasinya.
Kenapa Cinta itu Bisnis?
Seringkali orang bertanya. Selayaknya bisnis, hubungan asmara sifatnya transaksional. Kita mengharap sesuatu dari apa yang kita berikan ke pasangan/calon pasangan. Tidak seperti cinta orang tua kepada anak yang sering disebut unconditional love. Cinta tanpa syarat.
Penekanan ini ditujukan agar seseorang menyadarinya dan tidak makan hati akibat terus memberi, namun kerap tidak berbalas.
Yang mahal dari sebuah hubungan asmara bukanlah perasaan, melainkan tanggung jawab. Perasaan itu tidak mahal, manusia dapat naksir atau mencintai lebih dari satu orang. Tidak sulit untuk memiliki perasaan tertarik kepada orang lain. Tanggung jawablah yang sulit. Oleh karena itu seberapa besar investasi kita (investasi waktu, perasaan, atau bahkan uang) kepada seseorang, sebaiknya didasari oleh penilaian kita terhadap seberapa besar orang tersebut mau bertanggung jawab menjalankan komitmen di hubungan asmara. Bukan seberapa besar rasa cinta kita kepada orang tersebut, atau sebaliknya. Seringkali seseorang bertahan menunggu seseorang yang tidak ingin berkomitmen dengannya, karena merasa bahwa orang tersebut benar-benar mencintainya. It’s hard to let go because you know it’s true. Tetapi perasaan saja tidak cukup, jika tidak diikuti dengan tanggung jawab untuk berkomitmen.
Oleh karena itu seberapa besar investasi kita (investasi waktu, perasaan, atau bahkan uang) kepada seseorang, sebaiknya didasari oleh penilaian kita terhadap seberapa besar orang tersebut mau bertanggung jawab menjalankan komitmen di hubungan asmara.
Transaksi bisnis juga begitu. Mudah bagi kita untuk memiliki keinginan membeli barang. Bayangkan sejumlah tas atau mobil yang ingin kita beli, tetapi belum tentu semuanya mampu kita beli. Keinginan untuk membeli berbagai barang dianalogikan sebagai perasaan. Mudah munculnya. Tetapi transaksi bisnis baru terjadi jika kita sudah berkomitmen membelinya, dan itulah tanggung jawab. Seperti halnya bekerja sama dalam bisnis. Para pemegang saham membangun bersama untuk menjalani bisnis di mana terdapat komitmen di dalamnya agar bisa bertahan lama. Begitu juga hubungan bukan? Yang penting adalah tanggung jawab dan komitmen. Bukan perasaannya. Bahkan ketika kita tidak suka terhadap rekan kerja bisnis secara personal, namun jika komitmen dapat dipenuhi dengan baik, maka bisnis dapat berjalan baik.
Begitu juga hubungan bukan? Yang penting adalah tanggung jawab dan komitmen. Bukan perasaannya.
Analogi bisnis pada hubungan asmara akan lebih terlihat pada hubungan pernikahan. Memang di masa sekarang pernikahan bukanlah satu-satunya relationship goal seseorang, namun saya berbicara sebagai seseorang yang memihak pernikahan. Alasannya karena solusi pernikahan masih menjadi solusi yang dipilih kebanyakan orang sejak zaman Yunani kuno, sampai di era modern love. Sebuah solusi yang bertahan dari masa ke masa, dapat dikatakan sebagai sesuatu solusi yang fundamental. Sama seperti bisnis yang memiliki visi misi tertentu, pernikahan masih sering menjadi visi misi sebuah hubungan asmara. Dan pernikahan adalah bisnis, tidak seperti teenage love yang mengedepankan perasaan. Di dalam pernikahan, kondisi finansial seseorang akan memengaruhi kondisi pasangannya. Termasuk kondisi hutangnya. Perasaan cinta yang berbunga-bunga tidaklah bertahan selamanya. Saat hal tersebut tidak kita rasakan lagi kepada pasangan kita, maka di situlah kerja keras dimulai untuk menjaga keberlangsungan hubungan. Hal itu juga yang menyebabkan seseorang mungkin mencintai seseorang, tetapi tidak menjadikannya pasangan hidup karena pasangan yang dipilih sekarang untuk menikah jauh lebih tepat untuk menjadi seorang “rekan kerja” demi hubungan jangka panjang.
Perasaan cinta yang berbunga-bunga tidaklah bertahan selamanya. Saat hal tersebut tidak kita rasakan lagi kepada pasangan kita, maka di situlah kerja keras dimulai untuk menjaga keberlangsungan hubungan.
Tentu terminasi cinta itu bisnis tidak mengeliminir faktor perasaan dalam sebuah hubungan. Butuh passion dalam menjalankan sebuah bisnis, begitu pula dalam menjalani sebuah hubungan asmara. Hanya saja, logika jangan pernah ditinggal.