Menjadi ibu adalah suatu pengalaman yang luar biasa. Peran seorang ibu sangatlah besar bagi hidup seorang anak. Bahkan bisa dibilang lebih besar ketimbang seorang ayah. Memang, ayah punya perannya sendiri dan sama pentingnya. Tapi seorang ibu memiliki waktu bersama anaknya lebih banyak sehingga tugas seorang ibu sangat berat. Tidak mudah menjadi seorang ibu. Apalagi di era modern seperti sekarang dengan kecanggihan teknologi yang membuat anak-anak lebih kritis. Saya merasa di zaman sekarang tugas seorang ibu lebih besar lagi karena semakin sulit mengendalikan anak-anak. Meskipun begitu, menjadi seorang ibu adalah hal yang sangat membanggakan. Terutama untuk saya. Kebanggaan terbesar saya menjadi seorang ibu terletak pada kedua anak saya. Keberadaan mereka berdualah yang dapat membuat saya menjadi seorang wanita yang kuat. Saya percaya kami bertiga berkembang bersama. Jika saya adalah akar tunggal, mereka adalah akar serabut. Kami sama-sama akar dan bertumbuh bersama, menguatkan bersama.
Kebanggaan terbesar saya menjadi seorang ibu terletak pada kedua anak saya. Keberadaan mereka berdualah yang dapat membuat saya menjadi seorang wanita yang kuat.
Saya yakin setiap orang tua pasti menyayangi semua anaknya meski mungkin terlihat lebih memerhatikan salah satu di antaranya. Mungkin ada yang berpikir saya membedakan kasih sayang antara Oscar dan Mario sebab saya lebih sering terlihat bersama Oscar. Memang terlihat demikian, tapi sebenarnya saya tidak pernah pilih kasih. Mereka berdua adalah dua individu yang sangat berbeda. Sehingga saya pun memperlakukan mereka berbeda karena karakternya yang berbeda itu. Mario adalah seorang anak yang sangat jantan, punya percaya diri yang tinggi. Sedangkan Oscar adalah anak yang halus dan sensitif. Berbicara dengan Mario pun harus tegas karena dia orangnya to the point. Sedangkan dengan Oscar harus hati-hati, penuh perasaan. Selain itu, sedari Oscar kecil, saya mendapati banyak orang yang seperti melemparkan pandangan penuh tanya pada dirinya. Sehingga, sisi keibuan saya muncul untuk selalu ingin mendampingi dia. Lain dengan Mario. Saya merasa dia tidak begitu butuh saya banyak mendampingi untuk hal-hal yang sensitif. Namun, kalau suatu kali saya memberikan Oscar 10 dan Mario hanya 3, sisa 7 akan saya kejar. Saya cari apa yang bisa memenuhi kebutuhannya akan peran saya. Seperti hadir saat dia main basket.
Dalam mengenal dan memperlakukan keduanya, saya juga membiasakan komunikasi yang terbuka pada mereka. Jadi Mario pun tidak salah sangka kalau melihat saya lebih banyak mendampingi kakaknya. Dia tahu betul kenapa saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Oscar. Saya sering menjelaskan padanya dengan bilang, “Dek, bukan Mama tidak mau menemani kamu ya, tapi sepertinya Oscar lebih perlu Mama untuk situasi ini”. Dengan begitu dia pun jadi seorang anak yang amat pengertian dan tidak pernah memiliki rasa cemburu pada saudaranya. Saya berpikir bahwa komunikasi yang terbuka bisa membuat hubungan kami bisa lebih dari sekadar orang tua dan anak. Saya bisa jadi teman mereka, membicarakan masalah percintaan, atau apapun yang ingin mereka utarakan. Walaupun tentu saja tetap dengan norma-norma tertentu yang saya terapkan.
Saya berpikir bahwa komunikasi yang terbuka bisa membuat hubungan kami bisa lebih dari sekadar orang tua dan anak. Saya bisa jadi teman mereka, membicarakan masalah percintaan, atau apapun yang ingin mereka utarakan.
Kita sebagai orang tua mungkin kadang merasa punya hak penuh atas anak dan mereka tidak punya hak untuk bicara dalam keluarga. Menurut saya itu pemikiran yang keliru. Kalau anak diberikan kepercayaan mereka bisa belajar untuk punya tanggung jawab. Sedangkan kalau setiap kali anak dilarang, disuruh diam, lambat laun anak justru akan berbohong dan melanggar norma-norma dalam keluarga. Maka, kita sebagai orang tua harus bisa mendengarkan mereka. Menciptakan komunikasi dua arah dengan tidak memaksakan kehendak kita pada mereka. Tidak bisa jadi egois hanya mau didengarkan saja. Saya menemukan banyak orang tua yang sering tidak memberikan kesempatan anaknya untuk bicara. Akhirnya, anak tersebut jadi malas berinteraksi dengan orang tuanya. Lagipula, bagaimana kita bisa menasehati anak kalau kita sudah tidak mau mendengarkan apa masalah mereka? Biarpun kita sedang lelah, sudah menjadi tugas orang tua untuk mendengarkan agar anak tidak merasa diabaikan.
Sama halnya dengan penentuan jalan hidup. Saya percaya Tuhan sudah memberikan manusia garis tangan, kesuksesan, dan perjalanan hidup masing-masing. Akan tetapi, kita sebagai manusia harus belajar tentang diri kita sendiri. Kalau hanya berserah dengan apa yang sudah digariskan dan tidak melakukan apa-apa, kita mau jadi apa? Jadi saya selalu menanamkan pada anak-anak untuk punya rasa bertanggung jawab pada dirinya sendiri demi mencapai kesuksesan sesuai dengan arti mereka masing-masing. Tidak perlu kita sampai memberikan tekanan atau tuntutan pada anak untuk memenuhi kompensasi yang dimiliki sebagai orang tua. Biarkan mereka berproses dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Kita hanya perlu mendukung dan mencintai mereka tanpa syarat apapun.
Tidak perlu kita sampai memberikan tekanan atau tuntutan pada anak untuk memenuhi kompensasi yang dimiliki sebagai orang tua. Biarkan mereka berproses dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Kita hanya perlu mendukung dan mencintai mereka tanpa syarat apapun.
Inilah yang saya rasakan ketika dipertemukan pada keputusan yang sulit soal keinginan Oscar menentukan jalan hidupnya. Selama kurang lebih lima tahun, saya berada dalam pergumulan batin. Di satu sisi saya punya keyakinan tentang penciptaan pria dan wanita. Namun di sisi lain saya pun sangat menyayangi Oscar yang sungguh anugerah untuk saya. Dia punya talenta besar yang mana karyanya telah memberikan pekerjaan untuk banyak orang. Dengan kata lain, dia telah memberi makan banyak keluarga. Saya merasa berada dalam situasi yang sulit dan sempat berusaha menyangkal kenyataan. Hingga suatu hari Mario meyakinkan saya dengan bilang, “Mam, Mama selalu ingin buat orang lain bahagia. Mama suka sekali menghibur banyak orang. Sekarang saatnya Oscar yang juga mau merasa bahagia. Boleh nggak Mama coba mengerti apa yang dia rasakan. Mencoba jadi dia, merasakan apa yang dia rasakan. Oscar hanya ingin mengikuti kata hatinya. Dia sudah jujur dengan dirinya sendiri dan cuma butuh dukungan dan cinta dari kita. Itu saja. Karena pada akhirnya keputusannya itu adalah urusan dia dengan Tuhan. It’s not yours, Mam.”
Mendengar kata-katanya itu, saya sungguh seperti tertampar. Saya sungguh bersyukur punya anak seperti Mario dengan hati besarnya yang punya empati besar terhadap kakaknya. Saya juga bersyukur sekali dengan kehadiran Oscar yang memberikan saya banyak pelajaran hidup. Apalagi kalau diingat mundur, tidak ada satu hal buruk yang Oscar lakukan sampai membuat jelek nama keluarga kami. Dia selalu menjadi anak yang baik, membanggakan, dan bertanggung jawab. Lalu kenapa saya egois? Akhirnya saya menyadari bahwa sebagai seorang ibu, anak saya butuh dukungan ibunya. Hingga saya dan Oscar pun kembali bicara dari hati ke hati. Dia mengutarakan bagaimana selama itu dia merasa berada dalam hidup yang gelap dan selalu ingin keluar dari kegelapan itu. Oscar merasa mungkin keputusannya itu menjadi jawaban Tuhan untuknya. Lalu dia pun bilang, “Mam, apapun keputusan Mama, dan kalau sampai saya harus keluar dari rumah rumah ini, saya akan keluar.” Tidak kuasa mendengar ungkapan hatinya, saya langsung memeluk dia dan bilang, “Kamu adalah anak Mama. Apapun yang kamu rasa, keyakinan yang kamu miliki, kita jalankan bersama.”
Momen itu membuat saya mencoba menaruh diri saya pada posisi Oscar. Saya membayangkan betapa pikirannya pasti berkecamuk juga. Pasti ada pikirannya yang takut saya marah atau takut saya bilang dia berdosa. Saya tahu sudah lama dia juga berproses dengan dirinya sendiri dan pasti dulu ada penyangkalan dalam dirinya. Sehingga saya sebagai seorang ibu seharusnya bisa menguatkan dia, mendukungnya untuk merasa bahagia sesuai dengan caranya dia. Sebab, ikatan orang tua dan anak tidak bisa putus begitu saja atau tergantikan oleh apapun.
Ikatan orang tua dan anak tidak bisa putus begitu saja atau tergantikan oleh apapun.