Selain membuat tubuh kita sehat, olahraga bisa memberikan banyak sekali hal baik dalam hidup kita. Begitu juga dengan lari maraton. Awal saya tertarik untuk lari maraton memang hanya untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa saya bisa berlari jauh. Waktu itu saya baru menginjak usia 42 tahun. Lalu saya berpikir, “Apa ya yang bisa saya lakukan di usia ke 42 tahun ini?”. Tiba-tiba suami saya —yang juga berumur 42 tahun, mengajak untuk berlari sejauh 42 kilometer yang mana adalah maraton. Akhirnya mulailah kami ketagihan untuk berlari maraton. Hanya saja, maraton yang kedua dan ketiga kalinya memiliki misi yang berbeda. Saya berlari maraton tidak lagi untuk diri sendiri melainkan untuk melakukan sebuah aksi. Saya ingin berlari untuk berbagi, untuk sebuah kegiatan sosial.
Setiap kali hendak lari maraton, saya dan suami melakukan berbagai macam persiapan. Kami kebetulan tidak ikut komunitas lari, sehingga kami hanya punya satu sama lain untuk saling mendukung dan menyemangati. Ketika saya merasa mulai malas, dia akan mengingatkan. Begitu pula sebaliknya. Banyak sekali buku-buku tentang maraton yang kami baca. Utamanya buku-buku yang memberikan kiat efektif untuk berlari sesuai dengan kapasitas tubuh. Tiap orang memiliki kapasitas tubuh yang berbeda-beda sehingga kita harus mengenal tubuh sendiri.
Saat berada di lintasan, tantangan terberat yang harus dihadapi adalah pergumulan untuk berhenti di tengah jalan atau melanjutkan hingga akhir. Layaknya malaikat dan iblis, mereka mulai bertengkar dalam benak. Tentu seringnya iblis menguasai pikiran dan menggoda untuk berhenti karena kita akan dalam kondisi yang sangat lelah. Tapi jika kita punya pendirian teguh dan keinginan kuat untuk menyelesaikan, pasti semuanya bisa dilewati. Bagi saya sendiri, tujuan akhir menyelesaikan maraton adalah karena saya punya gol yaitu misi sosial. Seperti yang saya ungkapkan tadi, misi maraton saya adalah untuk berbagi. Jadi selama di lintasan, saya terus mengingat bagaimana anak-anak sebuah yayasan rumah singgah yang akan mendapat sumbangan nanti. Anak-anak tersebut butuh bantuan untuk kehidupan yang lebih baik dan mereka akan mendapatkannya jika saya menyelesaikan maraton.
Di samping itu, selama berlari saya juga mengalami pergumulan tentang arti bersyukur. Begitu banyak orang-orang yang tidak memiliki dua kaki seperti saya. Maka sebenarnya saya harus bersyukur masih diberi kesempatan untuk berlari. Tuhan memberikan saya dua kaki sempurna untuk berlari dan membantu orang lain. Rasa syukur dan melakukan kasih adalah pelajaran yang selalu orang tua saya ingatkan. Mereka seringkali bilang bahwa kerja keras itu penting dan kami harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Layaknya mantra, inilah yang saya ulangi terus menerus saat sampai pada satu titik di mana tubuh masih ingin berlari tapi kaki sudah menyerah.
Rasa syukur dan melakukan kasih adalah pelajaran yang selalu orang tua saya ingatkan. Mereka seringkali bilang bahwa kerja keras itu penting dan kami harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai.
Setelah sampai di garis akhir, lelah yang luar biasa tentu akan dirasakan. Namun semua itu seperti hilang karena saya merasa puas bisa mengalahkan sang iblis yang menggoda untuk berhenti. Memang, ada masa saya tidak sepenuhnya berlari hingga garis akhir tapi berjalan kaki. Tapi bagi saya yang penting bukan soal secepat apa saya sampai karena kecepatan itu hanyalah bonus. Yang terpenting adalah misi saya untuk menyelesaikan maraton dan di akhir saya tahu ini bisa membuat tubuh sehat juga memberikan rasa syukur yang besar.
Dulu kami berlima berpikir mami adalah seseorang yang galak karena keras pada kami. Kami harus disiplin dan ikut aturan orang tua. Sampai-sampai kami menjulukinya dragon mom. Meskipun begitu, ia tidak selalu hanya memberitahu apa yang harus kami lakukan. Ia juga sering menanyakan apa yang kami harapkan sebagai anak. Kami juga selalu diajarkan untuk saling akur satu sama lain dan terbuka para orang tua. Jadi kami bisa berani untuk mengakui jika berbuat salah. Sebagai orang tua, mami pun tidak malu untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf pada kami. Dengan begitu tidak ada dendam antara orang tua dan anak.
Setelah dewasa kami menyadari sebenarnya kedisplinan mami pada kami adalah untuk membangun karakter anak-anaknya. Sekarang setelah menjadi orang tua, kami memahami ia keras pada kami karena ingin kami jadi wanita yang tangguh dan tidak bergantung pada orang lain. Jadi kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kami sebagai wanita bisa tetap berjuang. Rasa syukur juga salah satu yang saya pelajari darinya. Kekayaan materi hanyalah titipan. Kita tidak akan membawa apa-apa saat sudah tiada. Yang lebih penting dalam hidup adalah ketika memiliki kekayaan hati. Menurut saya, orang yang lebih banyak bersyukur adalah orang kaya. Seseorang yang bisa menerima, tidak selalu melihat ke atas tapi juga ke bawah. Bisa bersyukur meski yang diterima sedikit dan masih bisa melihat diri sebagai orang kaya karena lebih beruntung dari orang-orang yang kurang mampu.
Kekayaan materi hanyalah titipan. Kita tidak akan membawa apa-apa saat sudah tiada. Yang lebih penting dalam hidup adalah ketika memiliki kekayaan hati.
Kita bisa menyadari betapa kayanya kita dalam segi materi saat melihat betapa banyak orang yang kurang beruntung di luar sana. Betapa kayanya saya memiliki keluarga yang mencintai saya. Sedangkan banyak orang di luar sana hidupnya sendirian, kesepian. Jadi sebenarnya bagi saya kaya maknanya luas sekali. Saya merasa jadi orang yang kaya sekali meski bukan soal materi. Saya kaya masih punya mami, masih banyak orang yang menyayangi, memiliki suami yang baik juga bertanggung jawab, masih banyak orang yang percaya memberikan saya pekerjaan, dan masih dipercaya Tuhan untuk menjaga seorang anak. Itulah makna kaya bagi saya.
Kita bisa menyadari betapa kayanya kita dalam segi materi saat melihat betapa banyak orang yang kurang beruntung di luar sana. Betapa kayanya saya memiliki keluarga yang mencintai saya.