Setiap manusia memiliki kesalahan, kelemahan, dan kekurangannya masing-masing. Ketika kita pernah disakiti seseorang, mengapa kita harus berupaya untuk memberikan maaf padanya? Jawabannya adalah “Mengapa tidak?”. Sebagai manusia, baiknya kita bisa mawas diri bahwa kita pasti pernah menyakiti orang lain juga. Tapi di luar itu semua, sebenarnya memberikan maaf pada orang yang pernah menyakiti kita adalah hadiah untuk diri sendiri.
Memberikan maaf pada orang yang pernah menyakiti kita adalah hadiah untuk diri sendiri.
Kita memberikan diri sendiri hadiah ketenangan dan kedamaian. Kita memberikan hadiah pada diri sendiri bahwa kita sudah bisa menjadi pribadi yang lebih besar, memahami diri sendiri tidaklah lebih baik dari orang lain. Bahkan lebih jauh lagi, memaafkan mengurangi kelelahan yang harusnya kita gunakan untuk membenci, menyesal, marah, dan sedih. Energi atas perasaan dan tindakan tersebut sangatlah besar. Oleh sebab itu, memaafkan sesungguhnya mengisi daya baterai diri kita.
Pada hakikatnya, seseorang yang paling mampu menyakiti diri kita adalah diri sendiri, ekspektasi yang kita taruh pada orang lain. Terlebih pada orang-orang yang paling kita cintai. Kita biasanya menaruh harapan paling besar pada orang-orang yang dicintai karena telah memberikan investasi waktu, tenaga, pikiran dan cinta paling besar pada mereka. Seolah mereka berpotensi memberikan rasa sakit yang sedemikian besar. Padahal kalau kita telaah lebih dalam, rasa sakit itu sesungguhnya berasal dari harapan-harapan yang tak sampai tentang keinginan yang tak tercapai tersebut. Kekecewaan atas keinginan tersebut karena hal-hal yang kita asosiasikan pada orang yang dicintai tersebut. Padahal jika kita mau melihat lebih dalam, seharusnya kita bisa menyeimbangkan keinginan-keinginan yang kita sematkan pada mereka dengan rasa kasih sayang yang dimiliki untuk mereka.
Pada hakikatnya, seseorang yang paling mampu menyakiti diri kita adalah diri sendiri, ekspektasi yang kita taruh pada orang lain.
Namun berkata begini, tentu saja saya juga amat memahami segala perjuangan dan pengalaman yang diderita banyak orang dalam prosesnya memaafkan orang lain. Saya tahu benar bahwa memaafkan orang yang kita cintai sangatlah sulit karena saya pernah mengalami itu. Memang terasa mudah ketika diucapkan ketimbang dilakukan. Tidaklah mudah memberi maaf tak harap kembali. Tapi di saat yang sama, saya ingin kita semua bersama-sama bisa mendidik diri sendiri, melihat bahwa setiap individu adalah makhluk yang berhak untuk memiliki harapannya sendiri. Misalnya, kita merasa gagal meraih yang kita impikan karena orang tua sibuk bekerja. Kalau kita refleksikan lagi, mengapa kita timpakan impian pada orang tua yang sibuk bekerja? Padahal kalau kita boleh punya impian bukankah orang tua sebagai individu juga berhak punya impian yang sama?
Itu adalah contoh yang paling sederhana, yang harusnya bisa kita refleksikan dengan welas asih. Tapi saya juga mengerti bahwa banyak sekali kondisi yang jauh lebih rumit. Kasus kekerasan dalam rumah tangga, misalnya. Lukanya membekas sekali dan tidak semudah itu untuk memaafkan dan melupakannya. Menurut saya, luka kekerasan itu membekas di darah kita karena ia memberikan trauma pada tubuh kita. Kekerasan menimbulkan reaksi tubuh tertentu yang sulit dilupakan. Dampak dari pengalaman kekerasan sangatlah panjang. Saya ingat pengalaman saya sendiri yang memberikan kesadaran yang lebih pada diri saya.
Beberapa minggu setelah wafatnya abah, saya ada tugas keluar kota. Kemudian handphone abah dipegang oleh mama dan digunakannya untuk menelepon saya. Mendengar nada dering yang saya setel khusus untuk abah, sontak saya langsung terkesiap. Rasanya darah langsung terpompa cepat sekali ke jantung diikuti dengan tangan yang dingin luar biasa. Sensasi yang dirasakan saat itu adalah sensasi ketakutan. Dalam benak saya tiba-tiba ada pikiran bahwa abah akan memarahi, meneriaki, atau sebagainya. Sensasi itu berlangsung hingga beberapa menit setelah saya bisa berhasil menguasai diri. Sensasi ketakutan itu pun berubah menjadi rasa duka yang kembali menguasai saat menyadari bahwa abah sudah tidak lagi bersama saya.
Tidak berhenti di situ, saya menyadari bahwa ternyata pengalaman kekerasan membuat kita menyalahkan diri sendiri begitu dalam. Mulai dari merasa bersalah karena seakan menjadi pribadi yang tidak baik, yang tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua, hingga ada perasaan bersalah karena pada satu titik ada rasa kelegaan yang menyusup ketika orang yang menyakiti itu tak lagi ada bersama dengan saya. Saya sampai harus berkonsultasi pada banyak orang atas rasa kelegaan tersebut. Saya pikir: bagaimana saya bisa lega orang yang paling saya cintai telah pergi? Bagaimanapun juga, apapun yang telah abah lakukan pada saya, beliau tetaplah orang tua saya. Abah adalah orang yang mengajarkan saya kebahagiaan, mengajarkan untuk menjadi diri saya sendiri, menjadi versi diri yang terbaik.
Namun begitulah kekerasaan bisa berdampak amat besar pada berbagai aspek diri, mengganggu pikiran, hati, dan tubuh kita. Pengalaman kekerasaan bisa membuat kita menjadi seseorang yang berbeda sebab pengalaman tersebut bisa merusak kepercayaan diri, merusak fisik, memori, hati. Sampai sekarang, bisa dibilang pengalaman tersebut masih menjadi beban yang masih saya panggul. Oleh sebab itu, saya berusaha untuk tidak lari dari kenyataan dan sebaliknya berupaya untuk memaafkan. Kita tidak bisa membiarkan diri menanggung segala beban tersebut sehingga memaafkan sebenarnya bisa jadi jalan untuk mengisi kembali daya kita. Memaafkan memberikan kita oksigen yang kita butuhkan setelah segala beban dan derita yang mencekik.
Memaafkan memberikan kita oksigen yang kita butuhkan setelah segala beban dan derita yang mencekik.
Ketika kita meyakini bahwa memaafkan adalah udara segar yang memberikan napas kehidupan bagi kita. Itulah mengapa sebenarnya kita memberikan maaf sebenarnya untuk diri kita sendiri. Bukan untuk orang lain. Memaafkan membantu menyembuhkan segala luka atas pengalaman yang menyakitkan. Jika kita ingin melangkah lebih ringan, kita harus melepaskan segala beban yang dipanggul, segala rantai yang membelenggu diri. Ketika kita merasa begitu terpuruk, merasa tidak ada orang yang menyayangi, tidak ada yang peduli, atau membela, memaafkan bisa jadi cara kita untuk membela diri sendiri.
Ketika kita merasa begitu terpuruk, merasa tidak ada orang yang menyayangi, tidak ada yang peduli, atau membela, memaafkan bisa jadi cara kita untuk membela diri sendiri.
Saya pun menceritakan ini semua bukanlah untuk mencari keuntungan dari pengalaman saya sendiri. Tujuan saya membagikan ini pun agar bisa membawa ridho dan ampunan terhadap abah. Bagaimanapun kita tidak bisa berbicara hal-hal yang buruk tentang mereka yang sudah tiada. Terlebih lagi, sebenarnya saya menceritakan pengalaman ini agar bisa mengajak orang-orang untuk sama-sama berkaca dan berupaya untuk memberikan maaf sebesar-besarnya pada siapapun yang pernah menyakiti kita.