Siapa sih yang tidak pernah berbohong atau mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya? Mencari kata “bohong” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun dapat dipahami sebagai sebuah sifat atau sikap yang tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya. Meski sepertinya semua orang sudah mengetahui pengertian kata bohong itu sendiri namun ternyata masih ada persepsi yang salah akan perbuatan berbohong.
Perlu diketahui bahwa bohong adalah bentuk pertahanan diri. Seseorang mempertahankan diri saat merasa terancam di mana dalam konteks ini ego dalam diri sedang membaca situasi untuk kita keluar dari masalah. Kala kita berpikir terdapat konsekuensi yang merugikan dari suatu masalah itulah masa kita menciptakan sebuah mekanisme. Mengaburkan fakta, mengurangi atau melebihkan informasi atau memilih untuk bersikap sebaliknya dari yang seharusnya menjadi pertahanan diri yang kita kenal sebagai aksi berbohong.
Perlu diketahui bahwa bohong adalah bentuk pertahanan diri.
Melakukan tindak kebohongan menjadi bagian dari tahap perkembangan setiap individu. Dari waktu ke waktu kita mempelajari teknik berbohong yang lebih lihai karena pengalaman-pengalaman yang terjadi sepanjang hidup. Dari umur 3-4 tahun saja kita sebenarnya sudah bisa berbohong atau halusnya memanipulasi. Contohnya jika seorang anak berkata tidak sebenarnya ketika ditanya sudah makan atau belum karena takut tidak boleh bermain. Inilah contoh bagaimana anak tersebut membuat kreasi pada sebuah situasi untuk memenuhi keinginannya. Bukan sengaja berbohong tetapi menciptakan kondisi untuk mendapat apa yang diinginkan.
Bertambahnya usia pun kita akan mengembangkan bentuk manipulasi karena banyaknya referensi lain yang kita pelajari. Jika dikaji lebih dalam setiap kebohongan itu memiliki motif. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, motif untuk merasa aman dari ancaman adalah salah satunya. Ketika kita beranjak dewasa kita akan punya lebih banyak motif seperti motif pencapaian. Motif ini secara tidak sadar kita miliki untuk mendapatkan apresiasi secara personal sebagai seorang individu. Pencapaian di mana kita tidak perlu berkompetisi dengan orang lain. Dalam pencapaian tersebut tentu saja akan terdapat banyak hal yang menghalangi. Di situlah sifat manipulatif kita bermain untuk membuat sebuah kreativitas demi mendapatkan apresiasi. Misalnya saja melebih-lebihkan suatu produk yang kita jual untuk seseorang tertarik membeli. Dalam hal ini tentu saja konsekuensi dari berbohong itu sendiri belum tentu berakibat negatif.
Ada pula motif bersosialisasi di mana mengharuskan kita untuk beradaptasi dan menyesuaikan karakter dengan berbagai pribadi yang ada di lingkungan tersebut. Ada kalanya kita tidak memiliki ciri yang ada di lingkaran itu sehingga mengharuskan kita memanipulasi keadaan. Contohnya saat sedang berada di lingkungan sosialita dan ditanya apakah tas yang kita beli asli atau tidak, kita menjawab asli padahal tidak. Demi mendapatkan pengakuan sosial atau menjalin afiliasi. Lain lagi dengan motif berkuasa yaitu situasi di mana kita melakukan tindak manipulasi untuk dapat mengarahkan banyak pihak, mengambil alih kekuasaan atau situasi secara mandiri. Dalam hal ini orang tersebut akan menciptakan situasi atau fenomena yang tidak ada di mana membuat seseorang takut dan tunduk terhadapnya.
Dampak dari sebuah kebohongan bisa jadi negatif dan positif. Meski bisa jadi berbohong dapat bertujuan positif tapi kita harus memahami kebohongan sebagai sebuah nilai yang berkenaan erat dengan integritas. Sehingga jika kita hendak mengucapkan kebohongan kita mengembalikan pada pertimbangan untuk merusak nilai integritas dalam diri sendiri. Lebih jauh lagi, jika mekanisme memanipulasi keadaan sering dilakukan seseorang akan hidup dalam realitas yang tidak sesungguhnya. Artinya adalah orang tersebut menjauhkan dirinya dari kapasitas, kemampuan dan potensi yang sebenarnya dimiliki. Apabila terus terjadi di mana secara spontan orang tersebut dapat berbohong secara spontan karena kebiasaan maka sifat berbohong akan melekat dalam dirinya. Menjadi sifat aslinya yang berdampak pada penolakan diri dan lingkungan yang sebenarnya. Semakin sering dia memanipulasi diri semakin sulit dia menerima diri sendiri. Efek jangka panjangnya adalah halusinasi dan delusi sehingga dia akan sulit memisahkan realita yang dihadapi dengan harapan yang ingin dipenuhi.
Kebohongan adalah sebuah nilai yang berkenaan erat dengan integritas. Sehingga jika kita hendak mengucapkan kebohongan, kita mengembalikan pada pertimbangan untuk merusak nilai integritas dalam diri sendiri.
Mendeteksi seseorang berkata bohong atau tidak sebenarnya sangatlah sulit karena kejujuran itu adalah nilai. Tidak ada satupun alat ukur yang bisa memastikan untuk menentukan apakah seseorang jujur atau tidak. Kalaupun ada biasanya hanya memberikan prediksi kecenderungan. Contohnya pada ilmu grafologi di mana dari tulisan seseorang dapat dianalisa kecenderungan apa yang dimiliki orang tersebut. Apakah dia melakukan tindakan manipulatif? Tidak mudah ditemukan. Melalui tes kepribadian melalui gambar pun sama. Kita dapat menemukan indikasi nilai kejujuran yang dimiliki begitupun saat kita melihat bahasa tubuh seseorang seperti dari ekspresi dan gestur tubuh. Saat seseorang berkeringat, pupil mata membesar, bola mata tidak konsisten dan mata mengerling, bisa saja gejala tersebut adalah gejala kebohongan.
Mendeteksi seseorang berkata bohong atau tidak sebenarnya sangatlah sulit karena kejujuran itu adalah nilai. Tidak ada satupun alat ukur yang bisa memastikan untuk menentukan apakah seseorang jujur atau tidak.
Pada dasarnya manusia digerakan oleh motif. Jadi yang sebenarnya bisa kita baca adalah motif. Saat kita sudah dapat membaca motif kita bisa mengarahkan seseorang untuk berkata yang sebenarnya. Akan tetapi kita sendiri harus melatih kemampuan komunikasi sehingga dapat secara persuasif mengalihkan ungkapannya ke arah yang lebih jujur. Kita pun harus mencari tahu strategi apa yang paling tepat untuk dapat mengarahkan seseorang dalam berkata jujur. Seseorang yang memiliki intelegensi tinggi, pengalaman sosial yang luas yang memungkinkan dia bertemu dengan banyak orang dan mengasah kemampuan manipulasinya sudah pasti tidak mudah untuk dibaca motifnya apalagi dialihkan.
Secara sederhana untuk dapat membaca orang-orang yang berada dalam tingkat tersebut kita pun harus memperkaya diri seperti banyak bergaul dan bersosialisasi. Sehingga memungkinkan kita memiliki peluang untuk membaca kecenderungan dan karakter orang lain. Ingatlah bahwa kita tidak bisa asal “menghakimi” karena kita hanya bisa membaca seseorang dari perilaku sehingga kita bisa membuat perbandingan antara perilaku satu orang dengan orang lain. Misalnya bagaimana tiga orang memberikan reaksi yang berbeda pada satu permasalahan yang sama. Selain itu banyak membaca buku-buku tentang bahasa tubuh serta pengetahuan budaya juga penting untuk mengasah kemampuan kita membaca perilaku seseorang. Mengetahui apakah budaya seseorang dalam keluarga atau lingkungannya terdapat kasus-kasus yang berkaitan dengan kebohongan atau manipulasi dapat membantu mendukung observasi kita pada orang tersebut.