Budaya makan tidak makan asal kumpul memang menjadi budaya kebanyakan orang Indonesia. Waktu berkumpul dengan teman-teman di restoran atau kafe adalah waktu yang sering ditunggu-tunggu. Akan tetapi berapa banyak dari kita yang masih memertahankan budaya makan bersama keluarga? Rasanya sebagai masyarakat urban dengan mobilitas tinggi kita sering melupakan kebersamaan di meja makan. Kalau bukan perayaan besar seperti ulang tahun atau hari keagamaan sepertinya kita sulit mengatur waktu untuk makan bersama anggota keluarga. Padahal makan bersama keluarga dapat menjadi kesempatan baik untuk kita mengenal tiap anggota keluarga serta menghadirkan budaya musyawarah agar dapat ditanamkan di dalam keluarga dan masyarakat.
Makan bersama keluarga dapat menjadi kesempatan baik untuk kita mengenal tiap anggota keluarga serta menghadirkan budaya musyawarah agar dapat ditanamkan di dalam keluarga dan masyarakat.
Betapa tidak? Seorang aktivis asal Libya, Hajer Sharief, menemukan bahwa dari meja makan kita bisa menumbuhkan perilaku politis. Maksudnya bukan untuk mendorong kita berpartisipasi dalam partai politik atau pemerintahan. Akan tetapi berperilaku politis dalam rangka mengasah kemampuan kita dalam berpikir kritis dan berdiskusi yang nantinya dapat berujung pada pembuatan keputusan. Lalu kenapa harus dilakukan di meja makan? Memang tidak bisa dilakukan saat sedang nonton TV? Nyatanya saat sedang makan bersama kita berada dalam kondisi relaks dengan perut yang terisi dan situasi yang minim distraksi. Belum tentu saat melakukan kegiatan lain seperti nonton TV semua anggota keluarga berada dalam frekuensi yang sama.
Hajer Sharief mengalami sendiri bagaimana sesi makan bersama keluarga begitu memengaruhinya dalam berpikir, berpendapat, bernegosiasi, berkompromi, serta mengambil keputusan. Sedari kecil ia dan saudara-saudaranya diberikan ruang untuk berbicara secara terbuka ketika sedang makan di meja makan. Bahkan ia diperbolehkan melontarkan kritik kepada orang tua asal tetap dengan bahasa dan nada yang sopan. Topik yang dibicarakan pun bisa amat bervariasi. Mulai dari sekadar pekerjaan rumah tangga, sekolah, hingga masalah-masalah yang cukup sensitif seperti isu sosial, ras dan ketidaksetaraan gender. Dan karena semua anggota keluarga berhak bersuara maka sudah menjadi kewajiban semua anggota keluarga juga harus belajar mendengarkan. Sehingga setiap anggota keluarga merasa terlibat dalam percakapan dan dapat menghargai satu sama lain.
Jika budaya tersebut diteruskan dari kecil hingga dewasa, nantinya pun topik-topik yang terbilang cukup sulit untuk dibicarakan menjadi mudah diutarakan. Anak-anak dapat bertumbuh menjadi individu yang terbiasa untuk membicarakan masalah dan mencari solusi terbaik tidak hanya untuk dirinya tapi juga sekitar. Mereka akan terbiasa untuk berpikir kritis dan terbuka dalam menilai sebuah isu yang ada di masyarakat serta mau terlibat dalam percakapan sosial. Berani memberikan kritik yang membangun dan tidak enggan melontarkan apresiasi.
Jika budaya tersebut diteruskan dari kecil hingga dewasa nantinya pun topik-topik yang terbilang cukup sulit untuk dibicarakan menjadi mudah diutarakan.
Sayangnya di masyarakat kita masih banyak orang tua yang masih sering memutuskan segala hal untuk keluarga dari perspektifnya sendiri. Tidak menanyakan apa yang benar-benar diinginkan oleh anak, memberikan mereka ruang untuk berpendapat dan mengajak diskusi untuk membuat satu keputusan terbaik untuk semua. Tidak jarang mereka justru menumbuhkan budaya silencing atau membiasakan anak untuk diam dan cukup menuruti kehendak orang tua saja dengan alasan orang tua tahu yang terbaik bagi anaknya. Tak heran banyak anak tumbuh menjadi people pleaser. Seseorang yang enggan menyatakan pemikirannya dan hanya menuruti apa yang orang lain suruh atau putuskan. Lebih parahnya lagi, bukannya tidak mungkin orang tersebut bisa menjadi seseorang yang antipati. Tidak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya, tidak mau tahu, tidak mau mengubah keadaan dan hanya menunggu orang lain yang berbuat sesuatu lebih dulu.
Sayangnya di masyarakat kita masih banyak orang tua yang masih sering memutuskan segala hal untuk keluarga dari perspektifnya sendiri. Tidak menanyakan apa yang benar-benar diinginkan oleh anak, memberikan mereka ruang untuk berpendapat dan mengajak diskusi untuk membuat satu keputusan terbaik untuk semua.
Perlu kita sadari bahwa setiap hari kita selalu membuat keputusan politik. Baju yang digunakan, makanan yang dikonsumsi, hingga perusahaan tempat kita bekerja saat ini. Kalau sejak dini kita tidak menanamkan perilaku politis —seperti yang sudah disinggung di atas, bagaimana kita bisa bertahan hidup? Bagaimana kita memperoleh kehidupan yang layak jika kita saja tidak memperjuangkan hak untuk berpendapat dan mengambil keputusan? Jadi sebenarnya makan bersama keluarga sesering yang kita bisa adalah cara termudah untuk mengasah kemampuan dalam berpikir dan berperilaku politis. Sekaligus menjadi kesempatan untuk terus menjalin komunikasi yang baik dan terbuka demi terciptanya keluarga nan harmonis.