Perjalananku bertemu dengan jodoh mungkin tidaklah sama dengan kebanyakan orang. Aku melalui pengalaman spiritual terlebih dahulu sebelum akhirnya semua terjadi cukup cepat dan kami menikah. Suatu saat, aku berniat untuk melakukan shalat tahajud selama 40 hari dengan doa untuk bertemu jodoh. Aku merasa usiaku sudah cukup matang tapi belum dipertemukan dengan jodoh. Sebenarnya, aku juga cukup pasrah. Hanya waktu itu situasinya sedang tidak dekat dengan siapa-siapa sehingga merasa tidak ada salahnya mencoba memanjatkan doa. Ternyata sebelum berakhir 40 hari, datanglah dia yang menjadi suamiku sekarang.
Sebelum dipertemukan kembali, kami sudah mengenal satu sama lain. Akan tetapi, di kesempatan bertemu kembali barulah dia mengajak aku banyak bicara dan jalan-jalan. Di awal aku juga tidak memikirkan soal pernikahan walaupun selama masa pendekatan aku selalu berdoa: Jika dia memang baik untukku, dekatkanlah. Ternyata doaku tersebut seakan didengar. Di bulan kedua kami pacaran, dia mengajakku menikah. Setelah memikirkan matang-matang, menimbang kecocokan kami, menelisik niat shalat tahajud yang aku lakukan, akhirnya aku menjadi semakin yakin bahwa dialah orangnya. Banyak doa-doa yang aku panjatkan ternyata jawabannya tersimpan dalam dirinya.
Menceritakan ini, bukan berarti semua orang pasti akan langsung mendapatkan jodoh seketika melakukan shalat tahajud. Tentu niat dan doa yang baik harus diselipkan dengan kepercayaan. Di samping berdoa secara agama, aku juga melakukan banyak perenungan diri lewat meditasi, merenungkan visi misi diriku ke depan termasuk hubungannya dengan percintaan, serta menerapkan law of attraction (hukum tarik menarik) dalam keseharian. Jadi, menurutku banyak faktor yang akhirnya terlihat seperti sesuatu yang magis. Mungkin memang saat itu ada waktu yang tepat bertemu dengan jodohku saja.
Sedari di masa penjajakan, kami juga sudah sangat terbuka akan visi misi hidup dan hubungan ke depannya. Kami sangat terbuka tentang hubungan seperti apa yang diinginkan. Kebetulan dia juga sudah punya anak yang berumur 7 tahun. Jadi sejak awal aku sudah tahu apa yang akan aku hadapi. Aku sudah sering dipertemukan dengan anaknya sebelum menikah. Bahkan anaknya sering dititipkan di rumahku untuk sekolah di rumah. Bisa dibilang momen-momen itu yang membuat kami menjalin hubungan lebih dekat.
Meskipun begitu, buatku yang belum pernah punya anak tentu butuh penyesuaian. Setelah menikah langsung memiliki anak yang sudah besar butuh persiapan mental. Kebetulan aku diberikan waktu kurang lebih 2 minggu untuk sendirian dan mempersiapkan itu. Faktanya, aku terserang virus Covid-19 tepat setelah acara pernikahan. Jadi selagi isolasi mandiri, menjaga kesehatan, aku sekaligus menyiapkan mental untuk hidup bertiga setiap hari nantinya. Walau sebenarnya sebelum menikah aku sudah sempat bertanya pada teman dekatku, Dominique Diyose, yang punya pengalaman tersebut. Aku dapat banyak saran darinya untuk beradaptasi dengan anak suamiku. Anaknya juga sangat baik. Jadi sejauh ini aku tidak merasa ada kendala menjalani hari-hari bersama mereka.
Sekarang aku merasa seperti masih pacaran karena mungkin kami memutuskan menikah cepat. Hanya bedanya sekarang kami satu rumah dan langsung punya anak. Terkadang, aku juga masih suka tidak menyangka kami sudah jadi suami istri. Tapi aku terus beradaptasi dengan perubahan status menikah ini. Seperti ketika dia mau pergi ke kantor, aku akan tetap menemaninya di meja makan meski tidak sarapan. Begitu juga dengan kebiasan-kebiasaan tak terduga yang aku temukan setelah menikah. Salah satunya adalah kebiasaan suami makan berbunyi. Aku juga tidak segan untuk memberitahunya. Bukan untuk mengoreksi tapi agar komunikasi kami terjalin dua arah. Buatku kalau ada kebiasaan atau sifat buruk yang bisa diubah kenapa tidak? Selama itu untuk menjadi lebih baik. Sedari awal berhubungan, aku tidak pernah menutupi diriku. Tidak pernah menjaga image di depannya. Selalu menampilkan diriku yang apa adanya. Kalau ada sifatnya yang aku rasa kurang berkenan, aku akan utarakan. Begitu juga sebaliknya. Aku akan membuka diri untuk mengoreksi jika ada sifat atau kebiasaan yang kurang berkenan baginya.
Buatku kalau ada kebiasaan atau sifat buruk yang bisa diubah kenapa tidak? Selama itu untuk menjadi lebih baik.
Pernikahan buatku artinya mengikat dua orang menjadi satu. Sekalipun sudah punya satu visi misi yang sama, pasti akan tetap ada yang berbeda. Dua manusia sudah pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Tidak bisa terus sama. Kalau ada sesuatu yang tidak bisa diubah dari pasangan, kita harus belajar menerima dan beradaptasi. Inilah yang aku belajar dari orang tuaku. Mereka sudah menikah selama 40 tahun. Setiap hari mereka memang sering sekali bertengkar. Tapi aku tahu mereka mencintai satu sama lain. Dari mereka, aku memahami makna pernikahan sebenarnya bahwa ikatan pernikahan memberikan kita tanggung jawab untuk mempertahankannya. Apapun ujian yang sedang dihadapi atau yang akan terjadi nanti, apapun kondisinya, kita bertanggung jawab untuk bisa menyelesaikan dan bertahan.
Dari mereka (orang tua), aku memahami makna pernikahan sebenarnya bahwa ikatan pernikahan memberikan kita tanggung jawab untuk mempertahankannya.