Satu bagian ini saya khususkan untuk menjadi ruang bagimu, para pembaca, teman-temanku sekalian... untuk mengenang dan memberi ruang pada mereka yang telah pergi.
Mungkin pergi karena tak lagi tumbuh ke arah yang sama.
Mungkin juga pergi karena tak lagi saling cinta.
Apapun dan bagaimanapun keadaannya, dan kemanapun mereka pergi... ditinggal mereka yang kita sayang, yang berarti di hati... tak pernah nyaman bagi kita. Meski ada banyak sebab dan akibat dalam berbagai kemungkinan yang berbeda, ada satu hal yang bisa dibilang mirip—sebuah ruang di hati kita yang awalnya ada
untuk mereka, kini telah kosong. Sunyi. Hampa. Dan membuat kita rindu akan kehadiran. Membuat kita akhirnya paham kalau hidup adalah siklus yang bisa membuat kita berganti-ganti rasa. Yang mengharuskan kita untuk beradaptasi akan adanya rotasi dan ketidaknyamanan bergantinya keadaan.
Hidup adalah siklus yang bisa membuat kita berganti-ganti rasa.
Hanya sesederhana karena kita terus bertumbuh dan berevolusi. Membuat yang lama kita cintai tak lagi memahami. Atau yang sesungguhnya penuh rasa di hati telah mengasingkan diri. Atau sekali lagi, sesederhana Tuhan tak lagi mengizinkan eksistensi.
Apapun dan bagaimanapun keadaannya, adalah salah satu prinsip kehidupan yang perlu kita pahami dari hati. Hidup, tidak akan pernah pasti. Boleh jadi kita perencana ulung—tapi eksekusi, tak bergantung pada diri. Boleh jadi kita memberi hati dan perhatian tanpa peduli diri, namun apakah itu semua sudah pasti diterima? Apakah
sudah tentu itu semua yang dibutuhkan siapapun yang kita inginkan? Belum tentu.
Hidup, tidak akan pernah pasti. Boleh jadi kita perencana ulung—tapi eksekusi, tak bergantung pada diri.
Kebaikan hati kita, tak selalu diterima sepenuhnya sebagai bahasa yang nyata. Kadang kita menginginkan untuk memberi kata, namun bisa jadi yang dibutuhkan hanya rasa. Bisa jadi kita ingin hadiah yang kasat mata, namun ternyata yang diinginkannya hanya sandaran saja.
Kita boleh jadi menginginkan semua ada di sisi kita selamanya. Namun tidak ada satu pun yang abadi. Manusia sudah pada hakekatnya bertumbuh; menjadi sesuatu yang berproses dan lebih dari sebelumnya. Dari lajang menjadi istri atau suami. Dari sendiri, kemudian menjadi ‘kami’. Dari ‘kami’, bisa jadi sendiri lagi. Sama seperti
kita, mereka yang kita anggap miliki pun bisa jadi berproses dalam ketidaknyamanan. Ingin mengembangkan diri, namun dengan segala insekuritas dan ketidakmampuan.
Kita boleh jadi menginginkan semua ada di sisi kita selamanya. Namun tidak ada satu pun yang abadi.
Dan kita, cenderung nyambung dengan siapapun yang berada dalam satu wacana dengan kita. Sama-sama berkembang, atau sebaliknya... sama-sama tak tahu paham. Apapun dan bagaimanapun keadaannya, teman ataupun kawan, membutuhkan frekuensi yang sejalan. Tidak ada yang bisa dipaksakan. Apalagi dalam era sarat aliran informasi seperti sekarang; memilah... sudah menjadi kewajiban. Jangankan hubungan kerja atau pertemanan, rumah tangga pun kerap kali sulit bertahan.
Karena perbandingan terpampang di luar sana seperti telanjang. Membuat mereka yang tak sanggup mempertahankan rasa percaya diri, akan memilih untuk sembunyi dan menyalahkan.
Jadi, satu-satunya cara adalah percaya pada keadaan. Mereka yang pasti, akan tetap ada tanpa kenal kondisi. Dan mereka yang tak lagi mumpuni... akan pergi dan menemukan tempat terbaiknya tanpa rasa iri.
Satu-satunya cara adalah percaya pada keadaan.