Kehadiran teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari semakin terasa dampaknya. Mungkin saking ketergantungannya kita dengan teknologi, kita tak dapat lagi membayangkan bagaimana manusia bisa hidup di era sebelumnya di mana teknologi secanggih saat ini belum terealisasikan. Kita pun mungkin akan enggan bila diajak hidup dengan cara lama seperti itu.
Teknologi seakan dapat menyusutkan dunia yang seluas 6,371 km menjadi seukuran saku. Lewat teknologi kita dapat berhubungan dengan siapa pun yang ada nun jauh di belahan dunia lainnya – secepat kita dapat menekan tombol gadget. Namun sayangnya, kita seakan selalu terkesima dengan apa yang teknologi dapat lakukan sampai-sampai terus menerus larut dalam teknologi. Pikirkan saja, berapa kali kamu menidakacuhkan lawan bicaramu dengan mengecek apa yang sedang terjadi di luar sana lewat jendela eksplorasi Instagram, Twitter, atau portal-portal berita? Atau, seberapa sering kamu menghabiskan waktu untuk benar-benar bicara dengan pasangan saat sedang berdua dibanding saling berdiam dan asik dengan Whatsapp Group masing-masing?
We are well connected and yet quite disconnected.
Mungkin terdengar terlalu naif jika kita menginginkan untuk dapat tinggal dalam dunia tanpa teknologi agar bisa kembali terhubung secara personal dengan orang-orang di sekitar kita. Tapi, kenapa juga kita ingin untuk kembali ke era lampau? Toh, teknologi telah banyak membantu hidup kita selama ini.
Yang terpenting sebenarnya bukan menyalahkan teknologi atas ketidakmampuan kita untuk kembali terhubung dengan manusia lainnya. Namun menetapkan sebuah pemikiran dalam diri untuk dapat membangun keseimbangan. Sementara kita memaksimalkan fungsi dari teknologi janganlah lupa juga bahwa ada tingkat hubungan yang harus tetap dijaga hubungannya secara ‘manual’, yakni hubungan antarmanusia yang personal yang butuh lebih dari sekedar ikon ‘love’ atau ‘like’.