Masih banyak manusia yang menempatkan dirinya sendiri di atas orang lain. Bisa jadi kita adalah salah satunya. Misalnya saja kita kerap kali selalu memikirkan bagaimana kita bisa mengambil keuntungan dari suatu situasi atau berpikir bagaimana caranya terhindar dari berbagai kesialan. Selalu yang pertama kali dipikirkan adalah diri sendiri. Sifat keakuan ini yang selalu menjadi problem dalam bermasyarakat. Saat kita terlalu banyak memberi perhatian pada keinginan dan kebutuhan diri sendiri, kita pun jadi abai dengan orang lain.
Menurut beberapa ahli, keakuan bukan saja menjadi sebuah perilaku yang amoral, namun juga buruk bagi kesehatan psikologis. Berangkat dari sebuah peribahasa Cina yang berbunyi “jika ingin bahagia selamanya, bahagiakanlah orang lain.” Menurut seorang psikolog Sonja Lyubomirsky, dalam esainya ia menjelaskan bahwa peribahasa itu bukanlah tanpa alasan jelas. Ia menjelaskan secara detil bahwa memang ada dukungan riset ilmiah yang bisa menjelaskan bahwa dengan membahagiakan orang lain, hidup kita akan jauh lebih bahagia.
Lho, tapi bukannya psikologi populer saat ini sering mendengungkan mengenai self-care? Pemahaman ini menjadi kontradiktif saat kita diminta untuk menanggalkan keakuan dalam diri karena self-care utamanya adalah mengurus dan mencintai diri sendiri. Tunggu dulu – yang perlu dipahami sebetulnya adalah dalam self-care selalu disebutkan bahwa dengan kita mengurus diri sendiri, kita akan bisa mengurus dan membantu orang lain.
Jadi pada akhirnya mungkin kita semua bertanya, “apakah memikirkan diri sendiri adalah hal yang baik atau buruk?” Jawabnya tergantung pada siapa yang mendapatkan keuntungan dari sana. Ada tiga jenis keakuan yang berlaku; buruk, netral, dan baik. Sifat keakuan yang buruk adalah yang berupa aksi win-lose di mana kita mendapatkan keuntungan sementara orang lain akan mendapatkan kesialan sebagai konsekuensi dari perilaku kita. Sementara sifat keakuan yang netral adalah saat kita berlaku egois demi diri sendiri namun tidak menimbulkan dampak apapun bagi orang lain. Lain lagi dengan keakuan yang baik. Jenis keakuan ini menyenangkan semua pihak di mana biasanya digambarkan sebagai transaksi dua sisi di mana kita dan orang lain melakukan sesuatu bersama yang memberikan sebuah nilai bagi setiap pihak.
Dengan berkaca pada ketiga jenis keakuan di atas, sudah jelas bahwa jika ingin memaksimalkan kebahagiaan kita harus menghindari keakuan yang buruk dan memilih keakuan yang netral atau yang baik. Kalau begini, kenapa selama ini seakan kita hanya dihadapi pada dua pilihan: mementingkan diri sendiri (selfish) atau mementingkan orang lain (selfless)? Padahal ternyata kita bisa juga mementingkan diri sendiri namun tetap berdampak positif bagi orang lain, kok