Sempat memutuskan untuk memberikan waktu untuk masing-masing individu untuk punya ruang untuk mengeksplorasi hal baru, kini The Overtunes kembali memulai karir bermusik mereka sebagai satu kelompok sekaligus juga sebagai individu-individu yang sudah memiliki bekal akan pemahaman dirinya sendiri. Pada kesempatan ini The Overtunes berbincang bersama Greatmind tentang cerita-cerita yang mereka temui sepanjang proses pembuatan dan di dalam lagu terbaru mereka.
Reuben (RE): Hai Greatminders, aku Reuben, Mada, dan Mikha. Kita kakak beradik dan ada di satu band bernama The Overtunes.
Mikha (MI): Kita baru come back setelah dua tahun tidak merilis lagu baru. Mungkin kalau aku bisa bilang satu kata untuk menyimpulkan perasaan kita sekarang di The Overtunes sekarang adalah refreshed kali, ya. Segar kembali
RE: Lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Jadi, sangat baik.
MI: Kenapa sekarang kita balik, sebenernya ini satu hal yang kita tahun ini akan terjadi. Kita di dalam band ini tahu kalau mau berapa pun waktu kita break kita akan balik lagi nulis lagu bareng. Akan manggung lagi sebagai The Overtunes, bakal kembali ke studio lagI untuk rekaman. Sebenernya nggak ada alasan spesifik kenapa sekarang, tapi lebih kepada...
Mada (MA): Sudah waktunya? Mungkin Mikha sama Reuben yang tahun lalu sempet ngerjain project solo mungkin waktu kosongnya sekarang kali, ya.
RE: Cuman bagusnya kita nggak maksa juga, ya. Mungkin ada lah waktu-waktu yang kita harus nggak ngumpul dan nulis bareng, mau dipaksain juga kayaknya nggak akan keluar lagu bagus. Jadi, aku rasa cukup bersyukur juga kita nggak maksain come back-nya, sampai akhirnya semua ingin dan serius jadinya bikin lagunya seneng dan bagus.
MA: Untuk ngumpul lagi biasa aja sebenernya, karena kita biasanya di rumah. Studionya juga di lingkungan rumah, jadi tiap hari standar aja ketemu.
RE: Tapi nggak jamming, nggak nulis lagu bareng juga. Ketemu-ketemu aja.
MI: Selama dua tahun itu masa yang aneh aja, karena bahkan sebelum pandemi mulai yang adalah Maret 2020, ya. Di akhir tahun 2019 kita sudah menentukan tanggal untuk kita break. Dalam arti, kita keluar dari label kita dulu terus mungkin merasa ada kejenuhan di dunia musik, capek dengan rutinitas yang kita lakukan selama bertahun-tahun, kita memang sudah menentukan akan ada break. Walaupun nggak ada yang menduga akan dua tahun dan ada pandemi juga.
Jadi, persiapan untuk come back nggak berjalan dengan mulus. Seperti yang sudah Mada bilang, kita di rumah, studio pun di rumah tapi selama setahun pertama kita jarang bermusik bareng dan nulis lagu bareng.
RE: Banyak krisis identitas juga kali ya, sebagai musisi atau sebagai manusia juga pada saat itu. Kalau dipikir-pikir lagi pada saat itu di usia 23, 24 tapi merasa seperti musisi yang sudah kelewatan zaman banget. Aneh banget kalau dilihat sekarang.
MI: Melewati banyak banget hal secara personal, jadi pas kita nentuin tanggal mau balik rekaman lagi ternyata sulit banget, karena udah “karatan” dikit kali, ya? Pas mau nulis bareng ada sedikit ragu, masih bisa nulis nggak, ya? The Overtunes dulu beneran bagus, atau hoki atau terbantu banyak orang? Ada banyak pikiran di kita. Semakin berjalannya waktu lama-lama semakin nemu menyenangkannya nulis bareng, kepercayaan dirinya.
RE: Tapi itu juga karena kita ketemu banyak orang nggak, sih, Mik? Mereka justru meyakinkan kok Overtunes nggak nulis lagi? Banyak orang yang menyemangati dan menginspirasi untuk kembali nulis lagu, pertemuan dengan teman-teman dan seniman lain bikin kita terinspirasi untuk mulai kembali.
Banyak orang yang menyemangati dan menginspirasi untuk kembali nulis lagu, pertemuan dengan teman-teman dan seniman lain bikin kita terinspirasi untuk mulai kembali.
MI: "Write Me Another Song" mungkin adalah lagu yang penulisannya paling lama dari mulai nulis sampai rilis. Lagu ini pertama Reuben kasih tahu di Januai 2021, itu memang tanggal yang kita tentuin untuk workshop album ketiga The Overtunes, jadi kita masing-masing kasih PR masing-masing harus kasih ide. Baik itu voice note, atau chord melodi, dan Reuben yang pertama kali datang dengan ide yang sudah mateng. Sudah ada lirik.
RE: Ya, belum mateng juga sih sebenernya. Sudah ada lirik, ada bagan lagunya tapi ini tipe lagu yang pas kita bangun pagi udah ada (bayangan) lagunya. Bukan mistis atau gimana, tapi tipe bangun pagi yang udah ada lagunya dan terpikir, oke ini harus ditulis. Aku dulu juga sempat sinis dengan momen-momen inspirasi seperti itu. Mada dulu juga sempet cerita kalau nulis lagu di mimpi. Tapi lucunya, seragu-ragunya aku nulis lagu masih ada momen itu, di mana bangun masih ada tema lagu yang harus di tulis dan direkam. Pada saat itu moto (hidup) gue adalah inspiration is perishable kalau nggak langsung ditangkap akan hilang. Jadi, dituangin ke notes pada 6 Januari dan kita workshop siangnya kebetulan, akhirnya di workshop langsung bawa itu ke Mikha sorenya dan kita bikin demonya.
Inspiration is perishable, kalau nggak langsung ditangkap akan hilang.
MI: Dari Januari kita sudah rekam sekedar voice note berdua, setelah itu kita lanjutin bulan Juli baru kita masuk ke studio untuk benar-benar rekaman. Karena di sela-sela waktu itu ada banyak proses, kapan kita mulai, banyak hal di luar musik yang harus kita pikiran.
MA: Online geeks-nya juga lumayan, jadi cukup tergeser.
RE: Kalau lo sebagai produser liatnya gimana Mik?
MI: Mungkin dari bulan Juli kita lanjut rekaman dari situ mulai balik lagi feeling addiction untuk balik ke studio dan balik rekaman. Tapi abis itu break dan lanjutin bulan Desember. Jadi, prosesnya nggak bisa dibilang lancar, tapi sangat menyenangkan pas banget untuk momentum The Overtunes sekarang.
RE: Makna lagu memang selalu bisa berubah-ubah, sih. Karena ini diskusi yang dulu sering aku omongin sama Mikha. Zaman dulu aku selalu mikir kalau lagu itu ada makna tetapnya, jadi orang bisa salah tafsir atau kualitas tafsiran seseorang terhadap lagu ada yang bagus ada yang jelek. Sekarang aku rasa sah-sah aja, bahwa perbedaan tafsiran terhadap lagu seperti kepastian. Dulu saat pertama kali aku nulis sebuah lagu sama sekarang bisa aja aku mengartikannya dalam diri sendiri beda.
Zaman dulu aku selalu mikir kalau lagu itu ada makna tetapnya, jadi orang bisa salah tafsir atau kualitas tafsiran seseorang terhadap lagu ada yang bagus ada yang jelek. Sekarang aku rasa sah-sah aja, bahwa perbedaan tafsiran terhadap lagu seperti kepastian.
Pemaknaan lagu "Write Me Another Song" pas pertama kali gue tulis itu sebenernya ditulis saat gue ragu banget, apakah gue masih bisa nulis lagu apa nggak, atau masih bisa nggak ya gue nulis lagu yang temanya nggak depresif? Karena yang keluar selama setahun ini yang gue tulis dan terasa otentik itu temanya sama semua. Gue berpikir gimana gue bisa hidup sebagai musisi kalau lagunya begini semua. Jadi di judulnya "Write Me Another Song" ini bahkan tadinya di task list bukan di lirik. Akhirnya nulis karena nggak bisa nulis dari perspektif sendiri jadi gue coba tulis dari perspektif orang lain yang akhirnya jadi lebih playful dan romantic. Di mana gue menjadi pasangan seorang penulis lagu atau seniman biasanya pikirannya kaya apa, sih? Karena stereotype-nya musisi lebih bagus menyampaikan pikirannya lewat karya-karyanya. Jadi gue coba lihat lewat seorang pasangannya ini yang ingin tahu isi hati musisi ini dengan meminta untuk menuliskan lagu lagi. Kode untuk tahu isi hatinya. Awalnya itu, tapi gimana sekarang memaknainya semakin seru karena akan banyak yang punya pendapat beda jadi makin seru.
MA: Kalau dari cerita lo (Reuben) ya menulis lagu cinta dari perspektif yang belum pernah kita ambil dan unik dan sangat dimengerti. Karena kita bertiga pada dasarnya adalah penulis lagu jadi bisa relate juga ke kehidupan kita, terkadang mengekspresikan sesuatu lewat kata-kata itu beda kalau lewat tulisan atau gambaran lo. Tapi kalau menurut gue menarik karena mengambil angle dari situ.
Terkadang, mengekspresikan sesuatu lewat kata-kata itu beda kalau lewat tulisan atau gambaran lo
RA: Kalau nggak pernah gue ceritain angle-nya, lo akan mikir apa?
Ma: Gue nggak akan mungkin kebayang bahwa motivasinya adalah (meminta orang) untuk menulis lagu lagi, dong. Nggak mungkin kepikiran, sih.
MI: Kalau aku, sih, waktu pertama kali denger lagu ini dan di-present sama Reuben langsung kepikirannya kayak film. Dua karakter yang sangat jelas, ada satu orang yang berperan sebagai orang yang berharap pasangannya bisa diberi tahu dengan lebih jelas. Susah dijelasin tapi ini sebuah perasaan yang aku sangat bisa relate. Sering ngerasa gitu, sih. Ada stereotype bahwa seniman baik penulis, pelukis, atau penulis lagu memang lebih fasih ngasih tahu perasaan lewat lagu. Lewat metafora-metafora, lewat perumpamaan, ekspresinya lebih tercurah lewat karyanya, dan aku pun bisa merasa gitu terkadang lebih mudah bicara sama orang lewat sebuah lagu. Lewat banyak kalimat yang sudah diramu sedemikian rupa dibandingkan harus ngomong langsung dan disampaikan secara jelas. Jadi, aku bisa relate ke karakter si penulis lagu yang ada di "Write Me Another Song". Aku seneng banget ngerjain ini, dari dulu aku bilang ke Reuben kalo kita mau present lagu ini orang harus tahu ceritanya, tentang dua karakter ini seperti apa dan konfliknya apa. Bener sih lagunya sangat romantis tapi aku juga greget “Ah nggak enak banget ya kalau ada di sisi pasangan penulis lagu ini” Masa harus nulis lagu dulu baru dia ngerti perasaannya gimana. Terus jadi ngeliat ke diri sendiri juga sih, jangan sampai aku pun guilty of doing that.
Ada stereotype bahwa seniman baik penulis, pelukis, atau penulis lagu memang lebih fasih ngasih tahu perasaan lewat lagu. Lewat metafora-metafora, lewat perumpamaan, ekspresinya lebih tercurah lewat karyanya dan aku pun bisa merasa gitu terkadang lebih mudah bicara sama orang lewat sebuah lagu. Lewat banyak kalimat yang sudah diramu sedemikian rupa dibandingkan harus ngomong langsung dan disampaikan secara jelas.
RE: Tapi gue bersyukur juga sih karena lo sangat visual thinker, cara berpikirnya sangat visual. Saat kita kolaborasi, pas orang denger kita ngobrol mungkin akan bingung ini mereka musisi atau pembuat film tapi selalu bisa diterjemahkan dengan baik ke musik juga, sih.
MI: Dari dulu aku selalu yakin reward terbesar saat menulis lagu adalah antara pesannya sampai ke orang yang memang dituju atau saat lagu itu dinyanyikan kembali ke kita. Selama aku menjadi penulis lagu selalu merasa bangga dan seneng banget kalau kita manggung, nyanyi, dan orang nyanyiin balik. Tapi kayaknya agak beda kasusnya untuk sekarang ini karena lagu come back setelah sekian lama. Jadi, aku belum tahu apa yang akan jadi paling rewarding dari segala respon para pendengar.
RE: Atau melihat inspirasinya akan bergerak ke mana lagi. Lo suka bilang bahwa art inpires art. Pengennya ini misalnya lagu kita didengar kemudian mungkin jadi tulisan lain atau mungkin di-cover tapi bunyinya lain banget, mungkin nambahin bait atau chorus. Di zaman sekarang apalagi (era) internet justru mau lihat lagu ini akan jadi apa, mungkin bisa menghasilkan karya seni lain lagi. Aku rasa inspirasi nggak berhenti karena kita juga dapet inspirasi dari yang lain.
MA: Kalau di lihat dari responnya, sih, setelah kita mengerjakannya semoga idenya memberikan experience kepada para pendengar dengan itu kita bisa mengesampingkan lirik. Di luar lirik orang mendengarkan musik, latar belakangnya seperti apa, apakah mereka bisa menikmati atau nggak. Sejauh ini, responnya mereka bisa sangat menikmati experience itu. Mungkin itu yang bisa kita harapin dari dulu. Mungkin gue orangnya lebih cenderung pemerhati musik detail dibandingkan lirik pada saat pertama kali dengar lagu, jadi itu sebuah harapan. Responnya juga positif, jadi kalau mungkin mereka mau mengolah liriknya jadi bentuk art lain, kita tunggu aja.
RE: Kemarin juga banyak yang ngomongin soal Valentine's day, kalau spesifik couple lucu juga kali ya lagu ini jadi soundtrack mereka, itu sering terjadi kan?
MA: Sering terjadi tapi jangan salah kaprah.
MI: Tapi happy sih, kalau ada pasangan di luar sana mau pake lagu ini, ya ini cocok, sih.