oleh-oleh /oléh-oléh/ n sesuatu yang dibawa dari bepergian; buah tangan: ini -- dari ayahku yang baru pulang dari Eropa
Pernahkah kamu merasa bersalah karena tidak membawa oleh-oleh sepulang dari perjalanan ke luar negeri atau ke luar kota? Jika pernah, itulah yang dulu sering saya rasakan. “Baru pulang dari luar negeri, ya? Oleh-olehnya mana?” Bila saat pertanyaan ini dilontarkan dan saya tidak membawa oleh-oleh apapun – biasanya karena perjalanannya terlalu singkat sehingga saya tidak ada waktu untuk membeli – saya pasti langsung merasa bersalah dan merasa tidak memenuhi “kewajiban” atau merasa sudah mengecewakan orang yang bertanya. Sedangkan kalau saya bisa memberi oleh-oleh kepada teman maupun saudara – meskipun oleh-olehnya hanya sesederhana cokelat yang saya beli di bandara – ada kepuasan tersendiri yang dirasakan. Lucunya (atau tidak lucunya), tidak masalah siapa yang melemparkan pertanyaan ini, dan apakah pertanyaan itu dilontarkan hanya basa basi atau serius. Seolah-olah di kamus saya, berangkat ke luar kota atau luar negeri sama dengan membawa oleh-oleh pulang.
Kalau saya telaah, kepuasan membawa oleh-oleh ini (dan sisi lain; rasa bersalah kalau tidak membawanya), cukup dipengaruhi oleh pengalaman saya ketika kecil. Dahulu setiap ayah dan ibu saya berpergian mereka selalu membawakan kami oleh-oleh. Kartu pos bergambar lucu, mainan, atau perangko dari negara tersebut (catatan: jangankan ke luar kota atau luar negeri, seringkali ayah membawa pulang nasi bungkus Padang atau besek yang dibagikan di suatu acara atau rapat. He chose to not have lunch so that he could see how happy we were when he brought it home! But now I am digressing) Kenangan positif inilah yang membuat saya selalu senang membawa oleh-oleh. It really brings me joy. Membawa oleh-oleh bagi saya adalah cara manis untuk menunjukkan kepada seseorang bahwa meskipun saat berpergian jauh, kita masih mengingat mereka. benar-benar sesuai istilah jauh di mata, dekat di hati. Membawa oleh-oleh pun bagi saya tidak terbatas hanya untuk membawa suatu ciri khas dari daerah yang saya kunjungi. Apabila ketika berada di luar kota atau di luar negeri saya melihat sesuatu yang mengingatkan saya kepada seseorang, biasanya saya akan membawakan barang tersebut sebagai oleh-oleh. Kebiasaan ini terus saya lakukan, sampai suatu saat saya dipaksa untuk menjadi lebih thoughtful ketika membawa oleh-oleh.
Semuanya dimulai ketika frekuensi perjalanan bisnis saya semakin meningkat. Ritual oleh-oleh yang selama ini mudah saya jalankan, menjadi ditantang. Pertama, dengan semakin seringnya saya ke luar negeri atau ke luar kota, anggaran pembelian oleh-oleh jadi semakin meningkat. Bayangkan kalau saya pergi ke luar kota setiap minggu. Berapa uang yang harus saya sisihkan untuk membeli oleh-oleh? Kedua, saya seringkali hanya membawa tas yang bisa masuk di dalam kabin pesawat. Ini artinya tempat untuk membawa oleh-oleh di tas saya semakin sempit, atau bahkan bisa membuat saya terpaksa untuk chek-in tas saya ke bagasi pesawat. This is actually a big deal for me, karena saya tidak pernah cukup sabar untuk menunggu sampai tas di bagasi pesawat keluar. Ketiga, saya mulai menyadari bahwa membeli oleh-oleh sudah menjadi suatu kebiasaan. Saya mulai seringkali membeli oleh-oleh hanya untuk sekadar membeli, bahkan tanpa tahu untuk siapa oleh-oleh tersebut. Membeli oleh-oleh menjadi sesuatu yang sering saya lakukan tanpa berpikir, “Yang penting beli dulu deh, nanti juga pasti ada yang mau.” Kenyataannya hingga sekarang ada beberapa barang yang dulu saya beli dari perjalanan saya ke kota A ataupun kota B, dan karena saya membelinya dengan pemikiran “mumpung”, sampai sekarang barang-barang tersebut masih duduk manis di lemari dan menyimpan debu. Keempat – dan ini cukup penting bagi saya – karena saya membeli gara-gara kebiasaan, saya memperhatikan bahwa terkadang apa yang saya belikan sebagai oleh-oleh (terutama untuk orang terdekat seperti anak-anak saya) mulai menjadi mubazir dan tidak lagi spesial dikarenakan frekuensinya yang tinggi.
Hal ini membuat saya akhirnya berupaya untuk membawa oleh-oleh secara lebih mindful. Berikut ini adalah beberapa hal yang membantu saya untuk memberi oleh-oleh secara lebih mindful:
Menyadari bahwa oleh-oleh bukanlah merupakan kewajiban. Hal ini akan membantu kamu untuk tidak merasa bersalah apabila tidak sempat membawa oleh-oleh. Sebagian besar teman dan kerabat hanya ingin kamu bersenang-senang dan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya kok selama berpergian, bukan munnar-mandir di toko suvenir untuk membelikan oleh-oleh.
Beli lah dengan sebuah alasan dan/atau beli lah jika itu membawa kebahagiaan bagimu dan orang lain. Misalnya, membawakan oleh-oleh untuk kolega yang menggantikan kamu di saat cuti, atau membelikan sahabat kamu yang mengoleksi pin dari berbagai tempat yang kamu kunjungi. Oleh-oleh yang seperti ini ada alasan dan peruntukan yang jelas, dan tidak dibeli hanya karena kebetulan kamu sedang mengunjungi suatu tempat. Terkadang, kamu melihat suatu barang yang kamu tahu sangat disukai oleh sahabat kamu dan kamu memutuskan untuk membawanya sebagai oleh-oleh. Membawa oleh-oleh hanya ketika kamu menemukan sesuatu yang mengingatkan kamu akan orang tertentu, akan mengurangi risiko oleh-oleh yang akhirnya hanya mubazir dan menjadi “beban” bagi yang menerima. Kenapa beban? Misalnya, yang menerima merasa harus membalas oleh-oleh kamu dengan oleh-oleh lain saat dia ke luar kota atau negeri.
Sanggupkah kamu membelinya? Apakah kamu punya cukup resources untuk membeli oleh-oleh tersebut? Dalam hal ini yang saya maksud bukan hanya apakah kamu punya cukup uang, tapi kamu punya waktu untuk membeli oleh-oleh tersebut, apakah oleh-oleh tersebut bisa dengan mudah kamu masukkan di koper yang kamu bawa, dan lain sebagainya.
Apakah ada cara lain untuk mengatakan “jauh di mata, dekat di hati” tidak melalui oleh-oleh? Misalnya, salah satu hal yang sering kali dilakukan oleh kakak perempuan saya yang sangat sering berpergian untuk bisnis adalah dengan mengajak timnya untuk makan siang sekembalinya dia dari perjalanan. Selama makan siang, mereka bisa saling bercerita mengenai apa yang terjadi selama perjalanan, dan apa yang terjadi di kantor dalam periode yang sama. Uang yang akan kakak saya gunakan untuk membeli oleh-oleh, dia gunakan untuk membayar makan siang hari itu.
Sejak menerapkan prinsip ini ke oleh-oleh, saya mulai menyadari bahwa prinsip yang sama bisa diterapkan juga ke area lain seperti kado ulang tahun, kado hari raya, dan sebagainya. itulah awalnya cerita saya memulai mindful giving. Tentunya ini masih berproses, dan saya masih terus belajar. Bagaimana dengan kamu?