Dorongan seksual adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Semua orang sudah pasti memilikinya. Namun terkadang kita tidak mau memberitahu pasangan apa yang dirasakan atau dibutuhkan karena bagi sebagian wanita merasa malu, tabu, atau aneh membahas itu. Begitu juga dengan sebagian pria yang merasa isu seks adalah bagian dari ego dan pride sehingga tidak harus diberitahukan ke pasangan. Sayangnya, karena aktivitas seksual menjadi sebuah kebutuhan akhirnya ketidak-nyamanan terjadi terus-menerus ada solusi. Tanpa disadari dari permasalahan seksual yang tidak pernah dibicarakan nantinya akan merembet ke permasalahan lain di dalam hubungan.
Dorongan seksual adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Semua orang sudah pasti memilikinya.
Ketidakpuasan dalam pernikahan memang bisa memunculkan beragam masalah lain contohnya perselingkuhan. Meskipun datangnya ketidakpuasan bisa jadi bukan hanya karena masalah seksual yang tidak terpenuhi. Bisa jadi masalah ketidakpuasan seseorang datang dari tingginya self-esteem. Berbicara ini memang banyak pria yang lebih sering punya self-esteem yang tinggi di mana perempuan, uang, dan prestasi jadi faktor pembandingnya dengan pria lain. Mereka memenuhi kebanggaan mereka dari faktor-faktor tersebut. Sehingga dorongannya untuk punya hubungan seksual lebih dari satu wanita diakibatkan oleh kurangnya self-esteem yang dimiliki. Terkadang bukan semata-mata karena di rumah istri tidak memuaskan tapi memang karena secara psikologis dia masih haus. Kalau kasusnya seperti ini berarti dia perlu menyelesaikan masalah psikisnya terlebih dahulu.
Akan tetapi seringnya sumber permasalahan disebabkan oleh komunikasi yang tidak terbuka. Saya menerima banyak kasus di mana seseorang merasa tidak puas tapi tidak berani bilang. Contohnya dia sedang tidak ingin berhubungan seksual tapi karena pasangannya mau dia jadi tidak bisa menolak dengan alasan agama atau sebab takut bertengkar. Akhirnya dia mengikuti saja alurnya terus dipendam, diam saja walaupun merasa tidak nyaman. Sampai suatu hari emosinya meledak dan pasangannya kaget karena baru tahu ada masalah. Inilah yang akan tidak sehat. Sebaiknya kalau bisa sedini mungkin bisa terbuka, sama-sama tahu harapan masing-masing seperti apa akan lebih baik. Kalau misalnya di sebelum menikah pun sama-sama nyaman untuk membicarakan soal kebutuhan seksual, sebaiknya dibicarakan. Meskpun sebenarnya kita juga harus siap dengan adanya perubahan ketika sudah menikah. Dalam pernikahan proses penyesuaian dan perubahan itu akan terus terjadi untuk bisa melengkapi satu sama lain. Tidak mungkin selama pernikahan pemikiran dan sikap kita bisa sama terus.
Akan tetapi seringnya sumber permasalahan disebabkan oleh komunikasi yang tidak terbuka.
Faktanya, sebuah relasi seksual bisa merepresentasikan kepribadian dalam pernikahan. Orang yang bertutur, sangat normatif akan terlihat di hubungan seksualnya. Begitu juga dengan orang yang agresif atau kasar di keseharian. Saat berada di konseling pernikahan, biasanya saya akan bertanya hubungan seksual mereka seperti apa. Dari gambaran hubungan seksual mereka bisa menggambarkan kehidupan pernikahannya seperti apa. Dorongan seksual adalah hasrat yang tidak bisa ditahan. Tidak akan kepura-puraan dalam hubungan seksual tersebut. Beruntung kalau memang kita bertemu dengan seseorang yang kepribadian di hubungan seksualnya mirip. Jika tidak, itulah yang makanya harus dibicarakan dan dicari titik tengahnya. Misalnya salah satunya lebih dominan di kehidupan seksual sedangkan pasangannya tidaks suka didominasi. Sudah pasti ujungnya akan muncul ketidak-puasan. Ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Nantinya perbedaan pandangan ini akan muncul di hubungan sehari-hari karena seperti yang tadi saya utarakan, sikap yang ditunjukkan di dalam aktivitas seksual pasti akan tercermin di kehidupan sehari-hari.
Faktanya, sebuah relasi seksual bisa merepresentasikan kepribadian dalam pernikahan.
Lebih daripada itu, komunikasi dua arah yang terbuka saja tidak cukup. Penting sekali komunikasi silang didukung dengan rasa empati terhadap pasangan. Bisa mengutarakan apa keinginan dan kebutuhan kita pada pasangan bukan berarti harus dipenuhi semua. Kita juga harus bisa berempati dengan perasaan pasangan terhadap kebutuhan dan keinginan kita itu. Sehingga bisa mencari jalan tengah dan berkompromi. Tidak bisa selalu mengikuti hasrat tanpa berempati. Sebaliknya tidak bisa juga selalu berempati tapi tidak mengikuti hasrat. Kedua hal ini harus selaras dan seimbang.
Lebih daripada itu, komunikasi dua arah yang terbuka saja tidak cukup. Penting sekali komunikasi silang didukung dengan rasa empati terhadap pasangan.