Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Kita pasti butuh kehadiran orang lain sehingga kita bukan hanya harus berteman tapi butuh berteman. Tanpa kita sadari, sebenarnya ada banyak sekali sisi positif dari berteman. Kita bisa merasa lebih bahagia karena merasa memiliki orang lain kala bersedih hati. Kita juga bisa melatih kemampuan sosial kita sehingga bisa lebih peka, berempati, dan bertoleransi. Bahkan, pertemanan bisa membuat kita sehat secara fisik dan mental. Faktanya perasaan bahagia saat berteman membuat tubuh mengeluarkan hormon-hormon bahagia yang dibutuhkan. Saat berteman, kita juga mungkin mendapatkan ketenangan saat menghadapi masalah sehingga pertemanan bisa dikatakan baik untuk kesehatan mental.
Kita pasti butuh kehadiran orang lain sehingga kita bukan hanya harus berteman tapi butuh berteman.
Namun, memang tidak semua orang bisa berteman dengan orang lain secara erat. Faktornya pun beragam. Salah satunya adalah pengalaman. Saat seseorang pernah mengalami kekecewaan dalam pertemanan, ini membuat dirinya tidak lagi mau memiliki hubungan yang erat dengan seorang teman. Tentu hal tersebut adalah wajar. Terutama jika kekecewaannya bersifat traumatis. Contohnya jika pacarnya ternyata berhubungan dengan sahabat sendiri, teman dekatnya meninggal, atau bila mengalami fitnah hingga ia merasa putus asa.
Kepribadian juga dapat jadi faktor lainnya. Orang-orang yang memiliki kepribadian introver cenderung canggung untuk memiliki hubungan pertemanan yang bersifat erat. Mereka biasanya lebih nyaman tidak terlalu terbuka dengan orang lain. Kita pun sebaiknya tidak menghakimi keputusan tersebut. Terminologi 'ansos' (anti sosial) yang banyak orang pakai kalau melihat ada orang lain yang tidak 'lepas' dan terbuka dalam berteman, juga sebenarnya kurang pas. Kalau dalam ilmu psikologi sendiri anti sosial adalah sebuah gangguan kepribadian yang tidak peduli dengan diri orang lain. Maka, mungkin saja orang tersebut melakukan tindakan agresif di dalamnya. Sangat jauh pengertiannya dengan makna 'ansos' yang dimaksudkan masyarakat dalam dunia pergaulan sekarang ini.
Ketika kecil, kita pasti sering sekali mendengar wejangan agar tidak pilih-pilih teman. Mungkin ini ada benarnya. Kita memang sebaiknya berteman dengan siapapun untuk tahu macam-macam kepribadian dan perspektif orang lain. Tapi seiring berjalannya waktu dan semakin bertumbuh dewasa, menurut saya ada perlunya juga untuk memilih. Memilih teman berarti mencari yang sesuai dengan diri kita. Misalnya, kita tidak suka dengan orang yang suka asal bicara atau teman yang mau menang sendiri. Semua tentu disesuaikan dengan batas-batas diri yang kita putuskan sendiri.
Kita memang sebaiknya berteman dengan siapapun untuk tahu macam-macam kepribadian dan perspektif orang lain.
Jadi, menurut saya semakin tumbuh dewasa memilih teman adalah hal yang wajar. Kita perlu merasa nyaman saat berteman. Jika tidak, buat apa berteman? Saya pernah membaca tentang manusia adalah gambaran dari lima orang yang paling intens berhubungan dengannya. Setelah membaca saya pun langsung berpikir bahwa berarti 5 orang yang paling intens berhubungan dengan saya semestinya adalah orang-orang yang punya kualitas diri baik agar apa yang mereka punya dalam diri mereka bisa terbentuk juga dalam diri saya. Oleh sebab itu, saya pun semakin meyakini kalau dalam berteman kita perlu memilah dan memilih.
Kita perlu merasa nyaman saat berteman. Jika tidak, buat apa berteman?
Kalau dipikirkan, sistem pertemanan bisa dikatakan cukup mirip dengan hubungan asmara. Misalnya dalam hal chemistry yang bisa berubah jika terjadi sesuatu hal besar seperti adanya kesibukan, dunia baru (baru masuk kerja, baru nikah, dst.), dan pastinya saat timbul masalah. Satu hal yang sama antara asmara dan pertemanan ini adalah kalau memang sudah tidak bisa bersama, percuma dipaksakan. Pertemanan bisa berpotensi jadi hambar yang akhirnya seiring berjalannya waktu akan renggang. Satu lagi, layaknya hubungan asmara, bisa jadi kita gagal berteman dengan si A tapi belum tentu gagal berteman dengan si B. Bisa jadi kita dengan si B lebih cocok. Ini bukan semata-mata karakter A yang tidak kita sukai lalu ia tidak akan punya teman. Mungkin memang kita jauh lebih cocok berteman dengan si B. Mungkin si C yang tipenya lebih penurut cocok berteman dengan si A. Jadi semua tergantung chemistry juga.
Seiring berjalannya waktu, manusia bisa berubah. Teman yang tadinya dekat sekali bisa menjauh. Pernah saya punya sahabat yang mendadak berubah setelah menikah. Awalnya kami hanya sekadar sulit bertemu. Tapi lama-kelamaan saya merasa kepribadiannya berubah. Jujur, saya cukup merasa stres menghadapi perubahannya. Kemudian keadaan pun bertambah buruk. Kian hari, perilakunya kian berubah. Tidak ada juga keinginan darinya untuk memperbaiki pertemanan. Hubungan asmara atau hubungan pernikahan nyatanya bisa jadi gerbang perubahan perilaku seseorang. Walaupun sebenarnya, menurut saya semua kembali lagi ke diri kita masing-masing. Keluarga jelas jadi prioritas utama. Namun, untuk urusan pertemanan sebenarnya bisa disiasati dengan cara yang baik. Kuncinya adalah pintar-pintar mengatur waktu antara keluarga dan teman. Banyak orang-orang yang masih bisa berteman bahkan setelah menikah. Saya percaya bahwa teman sejati adalah orang yang menemani kita berproses melewati banyaknya tahapan yang terjadi dalam hidup. Kalau dengan menikah bisa mengubah pertemanan, rasanya itu bukanlah pertemanan sejati.
Seiring berjalannya waktu, manusia bisa berubah. Teman yang tadinya dekat sekali bisa menjauh.
Dalam pertemanan, ada lima hal yang dapat menjadi pertimbangan di kala kita harus tetap berteman atau melepaskannya:
-
Sumber kesenangan atau kenyamanan. Kalau sudah tidak senang dan nyaman dan tidak bisa diperbaiki, buat apa?
-
Adanya timbal balik. Ketika kita merasa sudah 1000% baik pada seorang teman tapi dia suka seenaknya, lalu buat apa?
-
Komitmen untuk saling berbuat baik dan memberi dukungan. Teman yang baik adalah yang mampu menyadarkan kamu, dengan cara yang baik.
-
Berteman tanpa paksaan. Jangan sampai karena sudah terlanjur satu geng dari SMP jadi harus memaksakan diri berteman dengannya. Padahal sudah saling menyakiti satu sama lain. Kita berhak memilih jika sudah merasa tidak nyaman.
-
Saling menghargai dan memahami satu sama lain. Ini adalah poin paling penting. Meskipun sudah berteman lama, kalau teman sebenarnya tidak nyaman dengan kritik kita yang seenak hati, kita tetap harus terus berupaya memahaminya. Tidak bisa bilang, "Yah baper banget lo. Gue kan cuma bercanda." Ini bisa jadi cikal bakal runtuhnya pertemanan. Mungkin sekali dua kali masih bisa ditoleransi tapi kalau terus-terusan?
Entah mau diperbaiki atau dilepaskan, itu pilihan masing-masing. Kalau diperbaiki berarti perlu bicara empat mata dengan teman yang bersangkutan. Namun kalau sudah terlalu banyak bolongnya dan merasa lebih baik dilepaskan, maka fokuslah pada diri kita sendiri. Dari kecil memang kita sering diberikan nasihat untuk jangan egois. Tapi untuk hal ini menurut saya kita perlu untuk pertimbangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Dari pada bergumul dengan pikiran “Apa salah pada diri kita sampai teman berubah?”, lebih baik gali potensi terbaik yang dimiliki. Lalu, perlahan mulai buka diri untuk kenal orang-orang baru. Ikut komunitas baru, misalnya? Tidak juga perlu terlalu sering berpikir, “Dia sedih nggak ya?". Kita juga berhak memprioritaskan diri dalam situasi seperti ini.
Perubahan yang disebabkan oleh kesibukan, dunia baru, atau adanya masalah pasti akan selalu ada dan akan terjadi. Tapi akhirnya, dari sana kita belajar apa arti pertemanan sebenarnya. Kadang hal yang bisa kita lakukan hanya melepaskan karena mau dipaksa seperti apapun akan tetap lepas pada waktunya. Itu pun tidak apa-apa.
Kadang hal yang bisa kita lakukan hanya melepaskan karena mau dipaksa seperti apapun akan tetap lepas pada waktunya.