Kalau sesuatu terjadi dalam hubungan entah perselingkuhan atau pernyataan kata-kata yang menyakitkan, akhirnya yang perlu diutamakan adalah kita sama-sama merasakan apa. Apa yang penting untuk berdua? Kalau kita terus tinggal di masa lalu, mau dibawa ke mana hubungannya? Sangat manusiawi kalau kita mengingat hal hal yang menyakitkan. Kita cenderung belajar dari hal yang sulit. Masa sulit lebih mengajarkan kita banyak hal ketimbang yang menyenangkan. Kata kata negatif lebih sering kita “dengar” dari pada pujian. Kejadian yang menyakitkan lebih gampang diingat. Tapi kita perlu memikirkan apa yang penting untuk hubungan kita. Apakah hubungan kita penting, apakah pasangan kita orang yang penting. Akhirnya kita perlu memberikan ruang untuk mereka berbuat kesalahan. Sejauh mereka benar-benar menyesali dan benar benar berusaha jadi orang yang lebih baik.
Masa sulit lebih mengajarkan kita banyak hal ketimbang yang menyenangkan.
Kita tidak selalu punya hari yang baik, kadang kita punya hari yang buruk. Terkadang pasangan kita ini juga tidak bisa selalu ada secara fisik maupun secara emosional. Akhirnya kita perlu memandang bahwa pasangan adalah manusia biasa. Kalau misalnya kita tidak bisa memaafkan, tidak bisa fokus ke masa depan, menyelesaikan masalah ini, akhirnya hubungan tidak bisa dibawa ke mana-mana. Akhirnya kita jadi punya resentment pada pasangan kita. Pada banyak kasus, sebenarnya kalau kita tidak memaafkan, akan lebih banyak rugi yang kita dapatkan. Kita bisa merasa tersiksa. Tapi ini tentu tidak berlaku untuk kasus kekerasan fisik atau mental. Memaafkan dan memberikan ruang saat terjadi ketidaksepahaman dan akhirnya berdiskusi berdua bagaimana ingin menyelesaikan masalah adalah hal-hal yang bisa dilatih dan dibiasakan bersama pasangan. Kita melakukan itu karena hubungan tersebut penting untuk kita dan orang yang berada di dalam hubungan tersebut penting untuk kita.
Memaafkan dan memberikan ruang saat terjadi ketidaksepahaman dan akhirnya berdiskusi berdua bagaimana ingin menyelesaikan masalah adalah hal-hal yang bisa dilatih dan dibiasakan bersama pasangan.
Kuncinya adalah self-awareness. Self-awareness menjadi penting untuk dihadirkan. Kita bertanggung jawab atas perasaan kita. Perasaan kita bukan tanggung jawab pasangan. Perasaan kita perlu untuk didengar dan dipentingkan oleh pasangan, tetapi yang bertanggung jawab terhadap perasaan kita adalah kita sendiri. Contohnya, saat kita terpancing untuk marah, yang harus sadar pertama kali adalah diri kita sendiri. Kita perlu tanya pada diri sendiri:
Kenapa ya aku nggak terima?
Kenapa aku masih sakit hati soal ini?
Jadi pertama harus memiliki self-awareness terlebih dahulu. Coba tanyakan ke diri sendiri, “Apakah aku projecting luka masa lalu ke hubungan ini tidak? Apakah ketika ada masalah di antara kita, aku diabaikan?”
Menurut saya, terkadang ada masalah yang tidak bisa selesai saat itu juga. It’s not always a bad thing. Masalahnya besar, perlu waktu untuk diproses. Satu masalah tidak harus langsung selesai. Tapi pada saat yang tepat kita bisa bilang: "Waktu kita punya masalah ini kita belum menyelesaikannya. Boleh nggak kita ngobrol? Kapan enaknya kita ngobrolin ini supaya ke depannya nggak terulang lagi?". Jadi buat saya mengungkit itu tidak apa-apa, tapi caranya mesti tepat. Misal dengan bilang, “Aku merasa ada perasaan yang ketinggalan yang waktu itu belum bisa aku ungkapkan, boleh nggak kita ngobrolin masalah yang kemarin?”. Jadi nada bicaranya tidak dengan cara yang tinggi, tidak memojokkan, tidak seakan-akan seperti ingin menyalahkan atau mengajak bertengkar. Harus dilihat juga tujuan ungkit apa, kalau untuk mencari solusi bersama tidak apa-apa.
Masalah itu jangan berusaha dilupakan karena artinya ada yang ditekan. Dalam hubungan, setiap masalah bisa dibicarakan. Meski tidak langsung. Kalau memang masih dalam suasana panas, ditunggu saja dulu, kalau sudah lebih tenang baru dicoba bicarakan lagi.
Dalam hubungan, setiap masalah bisa dibicarakan.
Dari pasangan-pasangan yang berkonsultasi ke saya, saya menemukan bahwa rasa menghargai jadi amat penting untuk dihadirkan dalam hubungan. Seringnya, pria jika merasa tidak dihargai, permasalahannya bisa jadi meluas. Kalau mau menyampaikan sesuatu tapi caranya dirasa tidak menghargai atau dengan rasa hormat, benar-benar tidak akan sampai. Tapi sebenarnya kita tidak bisa melihat itu sebagai kebutuhan laki-laki saja.
Saya rasa kita perempuan juga butuh dihargai. Tapi kalau perempuan lebih ingin merasa disayang. Maka, menyampaikan dengan baik ketidaksepahaman kita terhadap orang lain butuh rasa menghargai. Menghargai sesimpel dengan memikirkan, "Kalau aku bicara begini dia merasa apa ya?". Then, we are respecting their feeling, dignity. Karena kalau kita tidak melakukan itu, tidak akan sampai. Yang sampai adalah diserang, dikecilkan. Akhirnya hanya akan bertengkar. Tidak akan ada komunikasi yang sampai.
Biasanya kalau saya sedang menangani pasangan, saya akan bertanya dulu masalah apa yang paling sering muncul. Lalu, saya akan lihat dulu biasanya masing-masing masalahnya di mana. Apakah ucapan, atau mungkin ada rasa kurang dihormati atau yang lain, yang akhirnya ada luka, atau sebenarnya dua-duanya punya trauma masa lalu. Jadi yang satu bicara apa tapi yang lain terpicu marah. Padahal mungkin bukan masalah besar. Tapi teringat dengan perasaan yang pernah dirasakan di masa lalu.
Rapid Transformational Therapy berperan untuk mengulik trauma di dalam masa lalu yang bisa jadi terbawa dalam hubungan. RTT mencari akar masalahnya apa. Masa kecilnya apa. We do the inner child healing. Kami mencari tahu siapa yang menyakiti mereka. Ada fase kami mengajak mereka menghadapi luka-luka yang dialami. Setelah itu baru melakukan proses transformasi. Jadi dibersihkan pelan-pelan. Pertama dicari akar, disembuhkan inner child-nya, lalu dihadapi rasa sakitnya, kemudian luka yang sudah dibersihin ini akhirnya diganti dengan motivasi baru. Biasanya saya akan tanya, "Sekarang mau jadi orang yang seperti apa?". Di situ akhirnya kami melakukan hypnosis untuk ia semakin hari dapat mencapai keinginan transformasinya. Itu bukan afirmasi. Yang kami masukan adalah apa yang diinginkan oleh masing-masing orang.
Tapi tentunya ini butuh kemauan besar dari orang tersebut untuk menjadi apa yang dia mau yang semakin lama semakin mendekatkan pada jati dirinya. Jadi kalau pasangan sama sama menyembuhkan pemicu masa lalu. Akhirnya pada saat ada masalah bisa lebih bijak menyikapinya dan bisa menggunakan masalah yang ada sebagai kesempatan untuk menjadi orang-orang yang lebih baik bersama-sama.