Ketika seseorang terdekat kita terserang virus Covid-19, pasti akan ada perasaan yang bergejolak dalam diri. Kita pasti berharap yang terbaik untuknya cepat pulih, tapi di sisi lain kita tidak bisa mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi padanya. Kita tahu bagaimana virus ini bisa dengan cepat menyebar dan kondisi pasien bisa sewaktu-waktu memburuk. Ketika istri saya, Vina, dinyatakan positif, tentu saja hati saya langsung berdegup kencang. Tapi saya tidak ingin memperlihatkan kecemasan di depannya karena dia pasti akan ikut cemas.
Setelah mendapatkan hasil istri positif sedangkan saya negatif, konstan saya langsung menyalahkan diri, “Ini pasti gara-gara saya”. Oleh sebab itu, saya pun merasa bertanggung jawab untuk bergegas melaporkan ke berbagai pihak dan mengurus isolasi mandiri untuknya. Pertama saya menghubungi saluran Covid-19, 119. Kemudian menghubungi puskesmas terdekat, lapor ketua RT dan memberitahu orang-orang lewat media sosial. Saya merasa bertanggung jawab untuk memberitahu orang-orang yang mungkin dalam 7 hari terakhir pernah bertemu dengan istri. Jadi mereka pun bisa melakukan antisipasi dengan cepat. Banyak orang merasa terserang virus ini adalah aib. Namun tidak dengan kami. Sebaliknya, aib adalah ketika seseorang tahu ia positif tapi tidak memberitahu siapa-siapa dan tetap pergi keluar rumah.
Banyak orang merasa terserang virus ini adalah aib. Namun tidak dengan kami. Sebaliknya, aib adalah ketika seseorang tahu ia positif tapi tidak memberitahu siapa-siapa dan tetap pergi keluar rumah.
Tidak hanya menghubungi ketua RT saat tahu kabar istri positif, saya juga mengabarinya ketika hendak menjemput Vina pulang. Saya bilang bahwa kami akan pulang tapi tidak akan keluar rumah. Kemudian meminta dukungannya. Dengan demikian, ia bisa menyampaikan kepada warga agar tetap siaga tapi tidak panik berlebihan. Saya rasa ini yang perlu kita ingat bersama. Ketika menghadapi isu seperti ini, panik berlebihan tidak menjadi solusi. Baiknya jangan bereaksi berlebihan ketika ada ambulans yang menjemput salah satu pasien di lingkungan rumah. Begitu juga saat ternyata kita sendiri yang menjadi pasien. Diantar ke rumah sakit atau ke tempat isolasi mandiri dengan ambulans nyatanya lebih aman dan terjamin.
“Ketika tahu aku ternyata positif, aku mencoba tidak panik dan memberikan jeda untuk diriku. Aku mencoba untuk berdialog dengan diri sendiri agar tidak panik dan meyakinkan diri bahwa akan baik-baik saja." - Fauzia Vina Soraya.
Saat Vina dalam isolasi, kami pun berkomunikasi hanya lewat virtual. Sesekali saat ia sedang Instagram Live, saya pun ikut menjadi penonton sambil sesekali memberikan komentar. Mungkin terlihat di media sosial kami senang-senang saja. Ini sebenarnya adalah upaya agar kami memberikan sugesti pada diri sendiri agar tidak stres. Saya juga tidak selalu menelepon dia. Biasanya sebelum menelepon saya pasti teks dulu. Saya akan bertanya apa yang Vina sedang lakukan, apa yang dibutuhkan atau apa yang ingin dikirimkan. Dia yang menentukan apakah sedang dalam situasi yang nyaman untuk bicara lewat telepon. Kalau dia ingin istirahat, saya langsung berhenti menghubungi. Jadi Vina bisa benar-benar fokus pada kesembuhannya. Saya tahu jika dia tidak membalas, pasti sedang istirahat. Jadi tidak terus-menerus menanyakan atau berkomunikasi.
Bagi saya pribadi, ketidakpastian yang hadir di masa pandemi adalah tantangan terbesar. Ada hari-hari Vina terlihat senang saat sedang video call tapi esok harinya dia bilang badannya terasa lelah sekali. Ketidakpastian inilah yang sangat mengganggu saya. Kami mungkin termasuk yang beruntung karena masih mendapatkan ruangan isolasi mandiri waktu itu. Apalagi karena kami langsung menghubungi puskesmas. Semua biaya penginapan ditanggung pemerintah. Jadi dana yang seharusnya untuk penginapan bisa kami gunakan untuk membeli obat-obatan dan vitamin. Namun sayangnya, sekarang ini kondisinya mungkin berbeda. Kasus yang semakin tinggi membuat ketersediaan ruangan terbatas. Tapi tidak ada salahnya untuk langsung menghubungi puskesmas terdekat sesegera mungkin setelah tahu ada gejala atau sudah terdeteksi lewat tes.
“Saat berada di tempat isolasi mandiri, aku merasa tidak boleh sedih. Aku hanya tahu bahwa aku harus makan banyak dan terus berpikir positif. Tidak boleh menangisi keadaan. Anehnya, aku justru menangis ketika hendak pulang. Aku menyadari betapa banyak petugas di sana yang sudah tidak pulang berbulan-bulan karena menjaga para pasien. Mereka jugalah yang jadi motivasiku untuk sembuh. Aku merasa harus sehat karena sedih melihat ada orang-orang yang terpaksa tidak bisa bertemu keluarganya karena pekerjaan ini." -Fauzia Vina Soraya
Setelah Vina pulang, saya pun cukup bisa bernapas lega. Untuk beberapa waktu kami tetap harus pisah kamar untuk berjaga-jaga. Saya tidur di sofa sedangkan Vina di kamar. Kami bertemu ketika saya mengantar makanan ke lantai atas. Sambil menggunakan masker, saya biasanya akan ngobrol dengan Vina sebentar setelah menaruh makanan. Selama kurang lebih satu bulan kami melakukan rutinitas tersebut, kami pun menyadari bahwa ternyata ada pola komunikasi yang cukup nyaman untuk diteruskan. Kami jadi punya waktu produktif untuk diri masing-masing tapi juga memiliki waktu bersama setiap harinya. Rasanya seperti kembali dalam masa pacaran.
Sepertinya ini menjadi salah satu pelajaran berharga dalam pernikahan kami. Kami jadi semakin menyadari betapa penting punya waktu untuk diri sendiri. Sejauh pengamatan saya, banyak orang lebih sering bertengkar ketika menikah ketimbang saat pacaran. Mungkin karena ketika pacaran, mereka masih punya waktu untuk sendiri. Sementara saat satu rumah mereka tidak lagi membagi waktu untuk sendiri dan berdua. Sebelum Vina positif, kami pun sempat mengalami masa-masa penyesuaian di mana kami harus bertemu satu sama lain setiap hari. Ternyata memang kuncinya adalah membagi waktu. Sekarang, kami sudah terbiasa punya kegiatan masing-masing walaupun satu rumah dan tidak ke mana-mana. Kalau semua kegiatan sudah selesai, di akhir hari barulah kami saling menceritakan apa yang dilakukan atau melakukan aktivitas bersama. Kami jadi sadar bahwa tidak semua hal harus dilakukan bersama. Tapi tetap ada hal-hal yang harus dilakukan bersama. Menurut saya, kalau kita punya me time, nantinya kita bisa meningkatkan kualitas diri sehingga memiliki nilai lebih ke pasangan juga.
Sejauh pengamatan saya, banyak orang lebih sering bertengkar ketika menikah ketimbang saat pacaran. Mungkin karena ketika pacaran, mereka masih punya waktu untuk sendiri. Sementara saat satu rumah mereka tidak lagi membagi waktu untuk sendiri dan berdua.
“Dari pengalaman ini kami pun lebih banyak belajar bekerja sama dan saling mengisi. Dulu biasanya kami sudah membagi tugas rumah tangga dan kalau salah satu tidak melakukan tugasnya, terkadang bisa jadi saling menyalahkan. Tapi sekarang, kami jadi paham untuk saling mengisi. Misalnya Dennis sedang tidak bisa mengerjakan, aku yang akan mengerjakan.” -Fauzia Vina Soraya
Tidak semua hal harus dilakukan bersama. Tapi tetap ada hal-hal yang harus dilakukan bersama. Menurut saya, kalau kita punya me time, nantinya kita bisa meningkatkan kualitas diri sehingga memiliki nilai lebih ke pasangan juga.