Kedekatan saya dengan adik, Aqsa Aswar, mungkin terlihat tidak sama dengan kakak-beradik lainnya. Sedari kecil orang tua kami mungkin tidak secara sengaja membuat kami dekat layaknya teman. Tapi saat Papa memperkenalkan olahraga air sedari kecil, kami jadi banyak kegiatan bersama. Awalnya saya sebagai anak pertama disuruh mencoba jetski. Waktu itu saya masih umur 4 tahun. Aqsa yang lebih muda 2 tahun saat itu belum mencoba dan lebih suka main playstation. Lalu ketika kami bersama-sama menapaki jalur olahraga dan berkompetisi, lingkungan kami pun hampir selalu sama. Membuat kami banyak menghabiskan waktu bersama.
Walaupun sering dikaitkan satu sama lain, tapi kami adalah dua pribadi yang amat berbeda. Kami masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Saya selalu berpikir kita tidak mungkin bisa dan mau melakukan segalanya, kan? Meskipun misalnya saya bisa melakukan apa yang Aqsa lakukan, tapi belum tentu saya mau melakukannya. Misalnya tentang dance. Saya bukan tipe orang yang suka dance. Sedangkan Aqsa sangat. I’ll do my own thing with my computer. Sedangkan sebaliknya Aqsa bukan orang yang suka otak-atik komputer. Dan bukan karena saya yang lebih tua lalu bisa mendikte dia untuk melakukan sesuatu seperti yang saya pikirkan. Seperti contohnya ketika sekarang dia sedang menjalankan bisnis kopi. Saya tetap bantu dia di beberapa aspek sampai beberapa kali berdebat karena pendapat yang berbeda. Tapi saya tidak menyuruh dia untuk mengikuti apa yang saya pikirkan. Saya seringnya bilang, “Lo tahu mana yang bener atau nggak. Lo pikirin aja sendiri yang paling baik buat lo gimana.”
Walaupun sering dikaitkan satu sama lain, tapi kami adalah dua pribadi yang amat berbeda. Kami masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Begitu juga soal perasaan. Kami hampir tidak pernah ngobrol tentang perasaan. Saya tidak tahu jelas alasan Aqsa kenapa tidak pernah cerita soal perasaan. Tapi kalau saya pribadi merasa semua orang punya masalah mereka sendiri. Dan untuk cerita pada orang lain seperti menambahkan masalah mereka saja. Belum tentu mereka jadinya tulus mendengarkan curhatan kita. Apalagi saya dan Aqsa sangat dekat. Kami tumbuh bersama dalam satu lingkungan yang bisa dibilang membuat kami sering satu pikiran dalam memandang suatu masalah. Sehingga takutnya cerita saya justru berada dalam satu perspektif saja dan tidak berkembang. Sedangkan menurut saya untuk menyelesaikan satu masalah butuh masukan dari perspektif yang berbeda. Jadi biasanya kalau ada masalah saya berusaha menyelesaikan sendiri atau mencari teman dengan pandangan yang berbeda. Dengan begini juga sebenarnya membuat kami punya batasan juga. Bersaudara bukan berarti harus selalu terlibat dalam hidup satu sama lain.
Menurut saya untuk menyelesaikan satu masalah butuh masukan dari perspektif yang berbeda. Jadi biasanya kalau ada masalah saya berusaha menyelesaikan sendiri atau mencari teman dengan pandangan yang berbeda. Dengan begini juga sebenarnya membuat kami punya batasan juga. Bersaudara bukan berarti harus selalu terlibat dalam hidup satu sama lain.
Dari Aqsa, sedikit banyak, saya terpengaruh akan sikapnya yang fleksibel di kehidupan sosial. Jujur, saya adalah orang yang cukup strict dengan aturan diri sendiri. Dulu saya bukan orang yang gampang berteman dengan banyak orang. Sedangkan Aqsa dulu gampang sekali. Memang bisa dibilang faktor saya menjadi lebih bersosial juga bukan hanya dari dia saja tapi dari pengalaman pribadi tinggal sendiri di negara orang. Tinggal sendirian di Amerika membuat saya harus berani buka mulut dengan banyak orang untuk bisa survive. Tapi sedikit banyak sikap fleksibel dari Aqsa memengaruhi cara saya berteman. Sebelum mendapat medali emas di Asian Games, dia selalu enggan bicara dengan media dan selalu menyuruh saya yang mewakili kami berdua. Sampai pada akhirnya dia harus menghadapi sendiri karena medali emas yang didapatkan. Saya bilang, “Berhadapan sama media lo harus tahu apa jawaban lo. Jawaban yang nggak menyinggung orang tapi semua orang “kena”. Lo harus bisa dapet momentum di interview.”
Memang sedekat apapun kami sebagai teman tapi peran dia sebagai anak bungsu dan saya anak sulung di keluarga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Saya merasa dia masih sering ada sisi main-main. Sedangkan saya jarang terpikir untuk main-main. Sebagai anak bungsu, dia bisa menolak kalau orang tua kami meminta sesuatu. Misalnya saat Papa mengajak ke undangan. Sering sekali Aqsa bisa menolak dan bilang malas ikut. Tapi saya tidak bisa. Pasti saya jadi yang harus menemani Papa. Bukan berarti saya terpaksa ikut. Saya tahu benar datang ke acara-acara bisa membangun relasi dengan lebih banyak orang.
Akan tetapi dari segala perbedaan kepribadian dan perilaku di sosial dan keluarga, kami tetap punya kesamaan yaitu cara kami memandang prestasi. Bisa dibilang cara pandang ini berasal dari Papa yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap karier. Baginya prestasi itu harus dibuat seperti gaya hidup. Sehingga kami tidak lagi memandang prestasi sebagai sebuah gol tapi seperti gaya hidup yang mana kami sudah terbiasa menjalaninya. Selain itu tentu saja di arena balap kami juga punya kesamaan yaitu bekerja sama dalam tim. Kami memang sangat kompetitif satu sama lain namun kami tahu betul apa yang kami perjuangkan di arena balap jetski. Rasanya berkarier bersama saudara jauh lebih gampang. Lebih lega kalau misalnya tahu yang menang adalah saudara sendiri bukan lawan. Sebab kami adalah satu tim dan tidak pernah menjadi bayang-bayang salah satunya. Ketika di Asian Games, kami saling back up satu sama lain dan tidak memikirkan kepentingan sendiri. Kalau waktu itu saya lebih mementingkan eksposur dan kemenangan sendiri, mungkin kita (Indonesia) tidak akan dapat medali emas di cabang olahraga jetski. And I don’t mind at all. Saya tahu kami sama-sama sedang memperjuangkan negara kami. Bukan hanya tentang saya atau dia saja.
Rasanya berkarier bersama saudara jauh lebih gampang. Lebih lega kalau misalnya tahu yang menang adalah saudara sendiri bukan lawan. Sebab kami adalah satu tim dan tidak pernah menjadi bayang-bayang salah satunya.