Banyak orang sering salah kaprah ketika membicarakan aktivitas seksual. Kurangnya informasi serta budaya dapat dipertimbangkan sebagai alasan yang membuat sebagian dari kita tidak berani mendiskusikan soal seks secara terbuka. Padahal menurut saya, informasi bisa jadi bekal untuk memiliki kehidupan seksual yang diinginkan. Terlebih dalam memahami tubuh kita sendiri. Jika kita bisa mendapatkan lebih banyak informasi sehubungan dengan seks, tentang apa yang tubuh kita senangi, apa yang kita inginkan dan harapkan dari pasangan, nantinya kita bisa berbagi dengan pasangan agar terjadi harmoni di dalam aktivitas seksual tersebut.
Banyak orang sering salah kaprah ketika membicarakan aktivitas seksual. Kurangnya informasi serta budaya dapat dipertimbangkan sebagai alasan yang membuat sebagian dari kita tidak berani mendiskusikan soal seks secara terbuka.
Salah satu contohnya adalah kurangnya pengetahuan tentang orgasme. Banyak orang yang tidak memahami tubuhnya sendiri, bagaimana ia bisa terangsang, zona-zona erotis di sekujur tubuhnya, dan apa tahapan seksualnya. Sehingga ia tidak bisa memahami arti orgasme itu sendiri. Kemudian karena kita tidak tahu rasanya seperti apa, akhirnya tidak tahu bagaimana bisa membuat pasangan puas dan hanya melakukan kegiatan seksual seakan kewajiban saja. Padahal jika kita mau mencoba memahami orgasme, kita dapat membina empati bersama pasangan. Dengan kita memahami di sebelah mana ingin disentuh dan memberitahu pasangan, kita bisa merasa disayang dan dipahami olehnya. Sehingga tidak hanya fisik saja yang terpuaskan tapi secara psikologis juga kita merasa bahagia. Kita jadi tahu bahwa pasangan tidak egois hanya memikirkan dirinya saja untuk merasa puas. Ia ingin kita merasakan yang sama. Jadi jika pasangan saling berbagi rasa empati satu sama lain, mereka bisa lebih mudah mencapai orgasme ketimbang mereka yang tidak berempati terhadap pasangannya.
Sayangnya, sebagian wanita masih merasa enggan untuk mencari informasi tersebut dan melakukan eksplorasi pada tubuhnya. Akhirnya mereka melakukan aktivitas seksual hanya karena merasa punya kewajiban saja, bukan kebutuhan. Mereka hanya akan menggantungkan harapan pada pria karena merasa itu tugas pasangannya untuk memuaskan. Perlu diakui memang, budaya patriarki amat memengaruhi pola pikir ini. Hadirnya budaya patriarki membuat kita percaya bahwa pria adalah makhluk seksual dan wanita tidak. Sehingga wanita tidak perlu banyak tahu. Jika banyak tahu ia akan dianggap wanita nakal. Padahal kenyataannya wanita juga makhluk seksual. Punya tanggung jawab menikmati seksualitas, mencari tahu apa yang bisa dirasakan, bagaimana merasakan apa yang dirasakan.
Sayangnya, sebagian wanita masih merasa enggan untuk mencari informasi tersebut dan melakukan eksplorasi pada tubuhnya. Akhirnya mereka melakukan aktivitas seksual hanya karena merasa punya kewajiban saja, bukan kebutuhan.
Mitos dari budaya patriarki inilah yang sering mempersulit wanita memahami tubuhnya sendiri hingga sulit mencapai orgasme. Biasanya karena ia merasa aktivitas seksual hanyalah sebuah kewajiban, ia jadi seolah merasa dituntut melakuan hubungan seks dan memiliki ketakutan-ketakutan tersendiri. Misalnya, ketakutan sang pria akan selingkuh jika ia tidak bersedia untuk melakukan aktivitas seksual. Intensi negatif yang berasal dari tekanan ini nantinya menentukan energi yang dihasilkan oleh aktivitas seksual tersebut. Faktanya, menurut Wendy Maltz, intensi seksual yang berdasarkan cinta untuk eksplorasi bisa meningkatkan keintiman hubungan. Semakin baik niatnya berhubungan seksual, semakin terbangun relasi yang membahagiakan pasangannya. Sedangkan kalau niatnya berdasarkan tuntutan apalagi ketakutan, tidak akan tercipta relasi yang baik dengan pasangan.
Semakin baik niatnya berhubungan seksual, semakin terbangun relasi yang membahagiakan pasangannya. Sedangkan kalau niatnya berdasarkan tuntutan apalagi ketakutan, tidak akan tercipta relasi yang baik dengan pasangan.
Seperti halnya ketika perempuan melakukan fake orgasme atau orgasme palsu. Mungkin banyak yang berpikir ini adalah bentuk empati wanita terhadap pria agar menjaga gengsinya. Kenyataannya tidaklah demikian. Seorang wanita yang melakukan orgasme palsu bukan hanya menipu pasangannya tapi juga dirinya sendiri sehingga semakin sulit mendapatkan orgasme. Dengan begitu, sebenarnya terdapat masalah komunikasi di antara mereka. Kalau mereka adalah pasangan yang terbuka, mengapa sang perempuan takut atau malah memberitahu pasangannya kalau ia belum mencapai orgasme? Kalau ia tidak berani bilang jujur tentang apa yang diinginkan itu berarti ia belum benar-benar membina relasi yang baik dengan pasangannya. Apabila pasangan mau sama-sama memahami empathic orgasme, mencapai orgasme bersama dengan menorehkan rasa empati satu sama lain dengan tujuan ingin saling mengerti dan membahagiakan, energi positif akan hadir dalam hubungan mereka.