Visi hidup kita setiap masanya selalu berubah. Begitu juga setelah menikah. Tidak ada lagi visi masing-masing, yang ada hanyalah visi bersama pasangan. Apalagi ketika memutuskan punya anak. Visinya pasti untuk keluarga. Semakin kita bertambah usia kita akan menyadari bahwa semuanya pasti kembali ke keluarga. Sehingga kita harus berusaha selalu mencari jalan keluar untuk mencapai visi keluarga, visi bersama.
Meskipun pasti akan ada tantangan dan konsekuensi atas pilihan yang diambil. Kalau memang langkah tersebut adalah langkah yang efektif, kenapa tidak? Inilah yang kami pikirkan saat memutuskan untuk bekerja pada satu proyek yang sama. Prosesnya tidaklah sebentar. Bahkan saat baru menikah pun kami masih bekerja pada proyek sendiri-sendiri. Kami dulu adalah sutradara di proyek film masing-masing. Tidak ada pikiran untuk bekerja bersama karena memiliki perbedaan jenis film yang digarap. Akan tetapi lama kelamaan kami menyadari ternyata kami punya masalah waktu. Jadwal yang padat sampai membuat kami jarang bertemu menjadi tantangan besar. Keduanya punya komitmen yang berbeda pada pihak yang berbeda pula.
Saat sudah punya anak barulah banyak pertimbangan. Hingga bertanya pada satu sama lain kalau sama-sama punya proyek yang berbeda dan sibuk sendiri bagaimana mengurus anak? Akhirnya kami harus mencari solusi untuk anak-anak. Untungnya kami melihat kesempatan untuk saling mengisi dan saling membutuhkan. Dari sana kami memutuskan untuk bekerja bersama dalam satu proyek. Selain kami bisa tetap melakukan eksplorasi di posisi masing-masing yang sudah bukan sama-sama sutradara tapi produser (Ifa Isfansyah) dan sutradara (Kamila Andini), kami juga jadi bisa membagi waktu pada kedua anak yang permintaan waktunya cukup banyak. Langkah ini sungguh memudahkan kami untuk bisa mengatur waktu memenuhi segala kebutuhan dan kewajiban sebagai pasangan, orang tua, dan individu. Beruntungnya lagi karena posisi kami sebagai produser dan sutradara ini kami jadi bisa mengatur sendiri lingkungan kerja dan ekosistemnya. Bahkan bisa membawa anak-anak selagi bekerja. Di titik sekarang, inilah yang menurut kami jalan paling pas. Bisa mengurus anak-anak sambil tetap menggapai cita-cita.
Di titik sekarang, inilah yang menurut kami jalan paling pas. Bisa mengurus anak-anak sambil tetap menggapai cita-cita.
Tentu saja sampai sekarang kami masih berproses. Terdapat efek samping dari bekerja bersama pasangan. Salah satunya adalah kemungkinan membawa masalah pekerjaan ke dalam rumah. Awalnya cukup berat. Yang tadinya kami punya ruang masing-masing dalam profesi sekarang jadi harus berkompromi juga dalam pekerjaan. Tapi setelah dijalani beberapa tahun, kami sangat mensyukuri proses itu. Lucunya kami baru belajar bertengkar ketika sudah punya anak. Sebelumnya kami cukup menghindari pertengkaran. Begitu bekerja bersama, tidak lagi bisa menghindari lagi. Kalau tidak selesai urusannya bisa ke mana-mana. Ternyata kami malah menemukan sesuatu yang baru dari pasangan yang selama ini belum terlihat. Mengalami sesuatu yang baru dalam pernikahan kami. Pertengkaran-pertengkaran itu membuat kami tidak lagi memiliki jarak. Bisa berdiskusi apapun, mengeluarkan apapun, dan jadi diri sendiri di depan satu sama lain. Sebab kami tahu efek samping dari bekerja bersama pasangan hanyalah efek samping dari visi yang dimiliki bersama. Kami paham betul pertengkaran tersebut bukanlah untuk mencari masalah. Bukan untuk berpisah. Melainkan untuk mencari solusi agar dapat lebih baik.
Pertengkaran-pertengkaran itu membuat kami tidak lagi memiliki jarak. Bisa berdiskusi apapun, mengeluarkan apapun, dan jadi diri sendiri di depan satu sama lain.
Pertengkaran akan selalu ada. Namanya hubungan dilakukan oleh dua orang yang sudah pasti memiliki dua pikiran yang berbeda. Ketika hendak menyatukan pandangan pasti akan ada tantangannya. Fungsi pertengkaran itu sendiri adalah untuk menyatukan visi, untuk mengenal satu sama lain. Kami bertengkar pun tahu batas. Kalau memang tujuannya untuk sesuatu yang lebih baik pasti akan ada yang mengalah. Dalam pekerjaan kami sangat mengedepankan objektivitas. Kalau memang salah satu dari kami melakukan sesuatu yang pencapaiannya tidak lebih efektif tetap harus mengevaluasi satu sama lain. Di tahap sekarang ini kami tahu peran masing-masing sebagai produser dan sebagai sutradara. Kami juga tahu peran suami, istri, serta orang tua seperti apa. Tinggal menyesuaikan dengan karakter masing-masing. Pada dasarnya kami selalu menempatkan diri sebagai partner. Tidak pernah mengkotak-kotakan peran seperti stereotip yang ada di masyarakat pada umumnya. Di pekerjaan meskipun posisi kami berbeda, kami tetap bisa saling bertukar pandangan. Produser memberikan pandangan sutradara dan sebaliknya. Di rumah, kami membagi tugas sesuai potensi. Mengajarkan anak-anak, memasak, tidak hanya bisa dilakukan istri. Urusan rumah dibagi bersama sesuai dengan karakter dan potensi masing-masing. Sehingga kami bisa saling melengkapi kelebihan dan kekurangan.
Kalau memang tujuannya untuk sesuatu yang lebih baik pasti akan ada yang mengalah.